Jakarta: Di tengah ketegangan di Nduga, Papua menyimpan risiko rasial saat menjelang dan setelah pemilihan umum (pemilu). Peran penyelenggara pemilu yang independen dinilai menjadi kunci untuk meredam potensi kerusuhan di Papua.
“Papua itu punya ancaman politik praktis, itu adalah banyak orang yang ingin jadi anggota DPR baik kabupaten, provinsi, pusat. Jadi potensi gesekanya kencang di sana, khususunya pada saat perhitungan perolehan suara,” ujar Senator Papua Barat Filep Wamafma, Kamis, 20 April 2023.
Menurut dia, salah satu pemicu kericuhan saat tahun politik, yakni masyarakat asli Papua yang dinilai terdiskiriminasi dalam persaingan. Penduduk asli papua daripada pendatang, jumlahnya lebih kecil. Sehingga, praktik keterwakilan di DPRD kabupaten, provinsi, dan pusat masih didominasi masyarakat non-Papua.
“Ini akan menjadi semacam pemicu kebencian kenapa kalian (pendatang) mau jadi anggota DPR orang Papua, kenapa tidak. Ini akan jadi ancaman baru. Ketika orang tidak percaya seperti itu dan KPU tidak bekerja secara independen tentu muncul pandangan diskriminasi terhadap negara, maka dampaknya melampiaskannya dalam bentuk kerusuhan atau tidak kekerasan dan itu menganggu stabilitas,” papar dia.
Terkait konflik yang terus terjadi di Papua, menurut dia, itu juga disebabkan dinamika politik yang tak pernah tuntas. Padahal, pemerintah memiliki banyak hasil riset dan kajian dari berbagai ahli dalam upaya menyelesaikan konflik di Papua.
“Kita memiliki orang pandai tapi tidak pernah selesai konflik di Papua. Padahal kita punya referensi yang sangat banyak dalam penyelesaiaan konflik. Seperti di Aceh, pemerintah bisa melibatkan negara lain yang terlibat dalam menyelesaikan konflik dan sebagai mediator dan sekarang selesai,” ujar Ketua Pansus Papua itu.
Dia menilai upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Tanah Cendrawasih seharusnya tidak lagi menggunakan pendekatan militer. Pendekatan infrastruktur yang dilakukan secara masif oleh Presiden Joko Widodo tidak boleh melupakan persoalan lain yang sudah bertahun-tahun mengakar. Salah satunya terkait hak asasi manusia dan dikriminasi.
“Sekarang harus evaluasi, jangan karena sudah bangun jalan dan jembatan kemudian jadi tujuan utama. Jangan membedakan, warga negara Papua ini membutuhkan komitmen, niat karena Papua punya pengalaman sejarah yang panjang,” papar dia.
Filep mencontohkan langkah Presiden keempat RI Abdurahman Wahid mengembalikan identitas masyarakat Papua yang hilang sejak era orde baru. Identitas warga Papua dikembalikan dari sebelumnya disebut Irian Jaya.
“Hal ini yang sebetulnya tidak dipahami oleh Presiden lain, pada era Susilo Bambang Yudhoyono membangun nilai keagamaan saat itu, hanya saja tidak terekspose tapi dia memiliki tempat yang baik di Papua. Jokowi sekarang lebih kepada infrastruktur tapi nilai kemanusian tidak, tetap saja pasukan militer datang,” ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Di tengah ketegangan di Nduga,
Papua menyimpan risiko rasial saat menjelang dan setelah
pemilihan umum (pemilu). Peran
penyelenggara pemilu yang independen dinilai menjadi kunci untuk meredam potensi kerusuhan di Papua.
“Papua itu punya ancaman politik praktis, itu adalah banyak orang yang ingin jadi anggota DPR baik kabupaten, provinsi, pusat. Jadi potensi gesekanya kencang di sana, khususunya pada saat perhitungan perolehan suara,” ujar Senator Papua Barat Filep Wamafma, Kamis, 20 April 2023.
Menurut dia, salah satu pemicu kericuhan saat tahun politik, yakni masyarakat asli Papua yang dinilai terdiskiriminasi dalam persaingan. Penduduk asli papua daripada pendatang, jumlahnya lebih kecil. Sehingga, praktik keterwakilan di DPRD kabupaten, provinsi, dan pusat masih didominasi masyarakat non-Papua.
“Ini akan menjadi semacam pemicu kebencian kenapa kalian (pendatang) mau jadi anggota DPR orang Papua, kenapa tidak. Ini akan jadi ancaman baru. Ketika orang tidak percaya seperti itu dan KPU tidak bekerja secara independen tentu muncul pandangan diskriminasi terhadap negara, maka dampaknya melampiaskannya dalam bentuk kerusuhan atau tidak kekerasan dan itu menganggu stabilitas,” papar dia.
Terkait konflik yang terus terjadi di Papua, menurut dia, itu juga disebabkan dinamika politik yang tak pernah tuntas. Padahal, pemerintah memiliki banyak hasil riset dan kajian dari berbagai ahli dalam upaya menyelesaikan konflik di Papua.
“Kita memiliki orang pandai tapi tidak pernah selesai konflik di Papua. Padahal kita punya referensi yang sangat banyak dalam penyelesaiaan konflik. Seperti di Aceh, pemerintah bisa melibatkan negara lain yang terlibat dalam menyelesaikan konflik dan sebagai mediator dan sekarang selesai,” ujar Ketua Pansus Papua itu.
Dia menilai upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Tanah Cendrawasih seharusnya tidak lagi menggunakan pendekatan militer. Pendekatan infrastruktur yang dilakukan secara masif oleh Presiden Joko Widodo tidak boleh melupakan persoalan lain yang sudah bertahun-tahun mengakar. Salah satunya terkait hak asasi manusia dan dikriminasi.
“Sekarang harus evaluasi, jangan karena sudah bangun jalan dan jembatan kemudian jadi tujuan utama. Jangan membedakan, warga negara Papua ini membutuhkan komitmen, niat karena Papua punya pengalaman sejarah yang panjang,” papar dia.
Filep mencontohkan langkah Presiden keempat RI Abdurahman Wahid mengembalikan identitas masyarakat Papua yang hilang sejak era orde baru. Identitas warga Papua dikembalikan dari sebelumnya disebut Irian Jaya.
“Hal ini yang sebetulnya tidak dipahami oleh Presiden lain, pada era Susilo Bambang Yudhoyono membangun nilai keagamaan saat itu, hanya saja tidak terekspose tapi dia memiliki tempat yang baik di Papua. Jokowi sekarang lebih kepada infrastruktur tapi nilai kemanusian tidak, tetap saja pasukan militer datang,” ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)