medcom.id, Jakarta: Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun meminta Presiden Joko Widodo untuk mengambil keputusan secepatnya terkait masalah pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri. Bahkan, Presiden diminta jangan ragu untuk membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan.
"Kalau bisa sekarang ya sekarang (keputusan)," ujar Refly usai acara talkshow dengan topik Simalakama Jokowi di Jakarta, Sabtu (14/2).
Refly menegaskan, keputusan terbaik yang mesti diambil presiden ialah membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan. Sebab, jika Jokowi tetap melanjutkan pelantikan maka akan nampak lebih buruk dibandingkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyikapi pemberantasan korupsi. Menurutnya, SBY meminta kepada menterinya ketika mendapat status tersangka untuk mengundurkan diri.
"Segera calonkan kapolri baru dengan segala resiko politik apapun. Dari sisi kalkukalsi politik sudah beda, mood publik tidak ingin melantik," katanya.
Refly menambahkan hal tersebut tidak akan berujung pada pemakzulan. Sebab impeachment hanya bisa dilakukan jika melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan kepada negara, melakukan perbuatan tercela, menerima suap, atau melakukan tindak pidana korupsi lainnya. Meski begitu, ia mengakui masih terbuka ruang untuk pengajuan hak angket maupun interpelasi dari sisi hukum. Namun, hal tersebut mesti ada sokongan insentif politiknya.
"Kalau ada yang mengatakan tercela, sekarang tercela mana melantik seorang tersangka atau tidak melantik orang tersangka," tuturnya.
Refly menegaskan, dalam proses undang-undang yang tidak boleh dilakukan ialah melantik orang yang tidak disetujui. Sementara tidak melantik orang yang sudah disetujui masih diperbolehkan selama mempunyai alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
"Saya kira masih justified (dibenarkan) karena user dari Kapolri ini presiden. Bagaimana misalnya setelah disetujui tiba-tiba calon kapolrinya misalnya mengalami suatu hal, cacat dan lain sebagainya, apakah akan dipaksa pelantikan, kan tidak," ucapnya.
Selanjutnya, Refly mengatakan setelah kapolri baru terpilih, baru presiden bisa meminta kepada kapolri untuk melakukan audit internal di tubuh kepolisian, termasuk terkait penegakan hukum terhadap pemimpin KPK. Baik yang sudah menjadi tersangka ataupun belum.
"Kalau hasil audit internal memang menyatakan kepolisian melakukan kesewenangan kemudian kriminalisasi maka tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan SP3, tentu dengan prosedur hukum yang benar," katanya.
Selain itu, presiden bisa meminta kapolri untuk merestorasi hubungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kejaksaan Agung untuk bersinergi lebih baik dalam upaya pemberantasan korupsi. Terakhir, Presiden harus mendorong penegaan kode etik di KPK untuk mengaudit pelaporan masyarakat terkait pemimpin KPK.
Anggota DPR dari Partai Gerindra Martin Hutabarat mengatakan Presiden mesti mengambil keputusan secepatnya. Jika semakin lama hal tersebut justru akan merugikan KPK, Polri, masyarakat, dan Presiden sendiri. Pun, menurutnya, masih ada persoalan lain yang menanti untuk diselesaikan. Meski begitu, ia menyerahkan sepenuhnya keputusan untuk melantik atau tidak melantik kepada presiden.
"Salah satu kesuksesan pemimpin ialah bagimana menegakkan hukum secara benar dan salah satunya pemberantasan korupsi. Jadi siapa yang betul-betul komit akan didukung rakyat. Apapun yang diputuskan untuk rakyat dan kepastian hukum, saya rasa Gerindra akan mendukung," tuturnya.
Sementara itu anggota DPR dari PDIP Dwi Ria Latifa menegaskan dukungannya terhadap calon Kapolri Komjen Budi Gunawan. Pun, ia berharap Presiden dalam mengambil keputusan berpijak pada konstitusi dan hukum yang berlaku di Indonesia.
"Keputusan terbaik ialah tidak meninggalkan landasan konstitusi dan hukum. Risiko akan dikomplen pasti, tapi satu hal bahwa keputusan tidak diambil berdasarkan konstitusi dampak hukum ke depan akan riskan. Sistem yang ada jangan ditabrak-tabrak," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News