Jakarta: Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura menyerahkan proses politik ratifikasi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura ke DPR RI. Dubes RI untuk Singapura Suryopratomo menjelaskan isi perjanjian yang ditandatangi pada Selasa, 25 Januari 222, sebenarnya sama dengan 2007. Bedanya, asas retroaktif atau berlaku surut dari yang sebelumnya 15 tahun disesuaikan menjadi 18 tahun.
"Bagaimana kemudian prosesnya? Seperti biasa, kembali lagi ke DPR, sejauh mana DPR mau kemudian kali ini meratifikasi," katanya saat dihubungi Media Indonesia dari Jakarta, Sabtu, 29 Januari 2022.
Menurut pria yang akrab disapa Tommy itu, tidak diratifikasinya perjanjian ekstradisi pada 2007 dikarenakan lemahnya dukungan parlemen terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Parlemen saat itu menolak meratifikasinya.
"Kalau kali ini, seharusnya karena pemerintah didukung sama parlemen yang kuat, seharusnya, logikanya, parlemennya akan mendukung," ujar Tommy.
Sebelum adanya perjanjian ekstradisi, Indonesia telah memiliki perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) in criminal matters dengan Singapura. Melalui perjanjian itu, persoalan hukum antarkedua negara bisa terselesaikan.
Baca: Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura Sudah Ada Sejak 2007
Dalam beberapa waktu terakhir, Tommy menilai Singapura sangat akomodatif dalam memenuhi kebutuhan Indonesia terkait pemulangan buronan. Pada Juni 2021, misalnya, terpidana kasus korupsi dan pembalakan liar Adelin Lis berhasil direpatriasi ke Indonesia untuk menjalani eksekusi.
"Sekarang dengan extradition treaty ini kan kita punya payung hukum di antara kedua negaranya lebih kuat," ucap Tommy.
Kendati demikian, ia mejelaskan bahwa proses ekstradisi hanya bisa dilaksanakan jika perkara buronan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Basisnya adalah untuk melakukan ekstradisi pada orang-orang yang terbukti melakukan korupsi, pencucian uang, dan terorisme. Kalau itu sudah terpenuhi dan ada kekuatan hukum yang tetap, maka penegak hukum kita tinggal berkirim surat ke Singapura," jelas Tommy.
Jakarta: Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura menyerahkan proses politik ratifikasi
perjanjian ekstradisi antara
Indonesia dan Singapura ke DPR RI. Dubes RI untuk Singapura
Suryopratomo menjelaskan isi perjanjian yang ditandatangi pada Selasa, 25 Januari 222, sebenarnya sama dengan 2007. Bedanya, asas retroaktif atau berlaku surut dari yang sebelumnya 15 tahun disesuaikan menjadi 18 tahun.
"Bagaimana kemudian prosesnya? Seperti biasa, kembali lagi ke
DPR, sejauh mana DPR mau kemudian kali ini meratifikasi," katanya saat dihubungi
Media Indonesia dari Jakarta, Sabtu, 29 Januari 2022.
Menurut pria yang akrab disapa Tommy itu, tidak diratifikasinya perjanjian ekstradisi pada 2007 dikarenakan lemahnya dukungan parlemen terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Parlemen saat itu menolak meratifikasinya.
"Kalau kali ini, seharusnya karena pemerintah didukung sama parlemen yang kuat, seharusnya, logikanya, parlemennya akan mendukung," ujar Tommy.
Sebelum adanya perjanjian ekstradisi, Indonesia telah memiliki perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau
mutual legal assistance (MLA)
in criminal matters dengan Singapura. Melalui perjanjian itu, persoalan hukum antarkedua negara bisa terselesaikan.
Baca:
Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura Sudah Ada Sejak 2007
Dalam beberapa waktu terakhir, Tommy menilai Singapura sangat akomodatif dalam memenuhi kebutuhan Indonesia terkait pemulangan buronan. Pada Juni 2021, misalnya, terpidana kasus korupsi dan pembalakan liar Adelin Lis berhasil direpatriasi ke Indonesia untuk menjalani eksekusi.
"Sekarang dengan
extradition treaty ini kan kita punya payung hukum di antara kedua negaranya lebih kuat," ucap Tommy.
Kendati demikian, ia mejelaskan bahwa proses ekstradisi hanya bisa dilaksanakan jika perkara buronan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Basisnya adalah untuk melakukan ekstradisi pada orang-orang yang terbukti melakukan korupsi, pencucian uang, dan terorisme. Kalau itu sudah terpenuhi dan ada kekuatan hukum yang tetap, maka penegak hukum kita tinggal berkirim surat ke Singapura," jelas Tommy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)