Eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Dok Crosscheck
URL Berhasil di Salin
Indonesia Disebut Perlu Mencermati Teknik Pinjaman Utang Tiongkok
Theofilus Ifan Sucipto • 30 Juli 2023 11:11
Jakarta: Pemerintah Indonesia perlu mencermati teknik pinjaman utang dari Tiongkok. Jangan sampai bantuan tersebut membawa masalah bagi Indonesia di masa depan.
"Ada teknik yang disebut lending to own. Anda meminjam (uang), dengan harapan (Tiongkok) menguasai aset," kata eks Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli dalam diskusi virtual Crosscheck Metrotvnews.com bertajuk '10 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia-China,' Minggu, 30 Juli 2023.
Rizal mengatakan Tiongkok kerap meminjamkan uang ke negara-negara yang membutuhkan. Namun jumlah pinjamannya sangat besar dan Tiongkok disebut sudah mengetahui negara itu tidak akan sanggup membayar.
"Sehingga mereka memberi pinjaman supaya bisa memiliki asetnya," papar dia.
Rizal mencontohkan pinjaman utang Tiongkok pada Sri Lanka untuk membangun pelabuhan yang sangat besar. Tiongkok sejak awal tahu pembangunan itu tidak memungkinkan antara volume lalu lintas dengan jumlah kontainer.
"Sri Lanka tidak bisa bayar, diubah kontraknya konsesi China bisa menaruh pasukan dari 90 tahun bertambah 60 tahun," ujar dia.
Rizal mengelaborasi situasi itu di Indonesia lewat proyek kereta api (KA) cepat. Proyek itu terlambat dua tahun.
"China melakukan unfair business practice karen awalnya bilang murah tapi praktiknya naik terus, mark up besar, cost besar," tutur dia.
Kondisi itu membuat porsi kepemilikan saham proyek Tiongkok semakin besar. Rizal menyebut pemerintah seharusnya mengambil tindakan tegas setelah proyek molor.
"Harusnya (Tiongkok) bayar penalti, kenakan sanksi administratif dan finansial ke partnernya. Apakah hubungan baik ini dimanfaatkan untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari Indonesia?" ucap dia.
Rizal menuturkan ada dua kemungkinan alasan pemerintah Indonesia bersikap relatif santai. Kemungkinan pertama ialah naif atau kemungkinan kedua bagian patgulipat pemerintah dengan Tiongkok.
"Karena China motifnya tidak hanya bisnis tapi juga politik dan strategis," kata dia.
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/8DuOeTjxUKc" title="YouTube video player" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture; web-share" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Pemerintah Indonesia perlu mencermati teknik pinjaman utang dari Tiongkok. Jangan sampai bantuan tersebut membawa masalah bagi Indonesia di masa depan.
"Ada teknik yang disebut lending to own. Anda meminjam (uang), dengan harapan (Tiongkok) menguasai aset," kata eks Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli dalam diskusi virtual Crosscheck Metrotvnews.com bertajuk '10 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia-China,' Minggu, 30 Juli 2023.
Rizal mengatakan Tiongkok kerap meminjamkan uang ke negara-negara yang membutuhkan. Namun jumlah pinjamannya sangat besar dan Tiongkok disebut sudah mengetahui negara itu tidak akan sanggup membayar.
"Sehingga mereka memberi pinjaman supaya bisa memiliki asetnya," papar dia.
Rizal mencontohkan pinjaman utang Tiongkok pada Sri Lanka untuk membangun pelabuhan yang sangat besar. Tiongkok sejak awal tahu pembangunan itu tidak memungkinkan antara volume lalu lintas dengan jumlah kontainer.
"Sri Lanka tidak bisa bayar, diubah kontraknya konsesi China bisa menaruh pasukan dari 90 tahun bertambah 60 tahun," ujar dia.
Rizal mengelaborasi situasi itu di Indonesia lewat proyek kereta api (KA) cepat. Proyek itu terlambat dua tahun.
"China melakukan unfair business practice karen awalnya bilang murah tapi praktiknya naik terus, mark up besar, cost besar," tutur dia.
Kondisi itu membuat porsi kepemilikan saham proyek Tiongkok semakin besar. Rizal menyebut pemerintah seharusnya mengambil tindakan tegas setelah proyek molor.
"Harusnya (Tiongkok) bayar penalti, kenakan sanksi administratif dan finansial ke partnernya. Apakah hubungan baik ini dimanfaatkan untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari Indonesia?" ucap dia.
Rizal menuturkan ada dua kemungkinan alasan pemerintah Indonesia bersikap relatif santai. Kemungkinan pertama ialah naif atau kemungkinan kedua bagian patgulipat pemerintah dengan Tiongkok.
"Karena China motifnya tidak hanya bisnis tapi juga politik dan strategis," kata dia.