medcom.id Jakarta: Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia menilai Marius Widjajayarta menilai, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus diaudit kinerjanya dalam kasus peredaran obat palsu dan obat kedaluwarsa di Indonesia.
"Kalau negara masih ada melindungi rakyat, BPOM dan Kemenkes, menurut saya kinerjanya harus diaudit. Mereka inilah yang wajib," ujar Marius kepada Metrotvnews.com, Kamis (8/9/2016)
Dulu, BPOM bisa melakukan pengawasan obat-obatan dari hulu ke hilir. Tetapi sejak terbitnya Permenkes, kewenangan itu dihilangkan. Dalam Permenkes itu hanya disebutkan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan.
"Aneh kementerian ini dilakukan oleh menteri pasti institusinya kan dirjen bina pelayanan farmasi yang ada di kemenkes, ini satu hal yang aneh karena sebagai regulator pembuat peraturan tapi dia juga sebagai pelaksana. Mana ada peraturan seperti ini," tuturnya
BPOM dianggapnya lebih ideal dan kompeten untuk mengawasi peredaran obat-obatan di masyarakat karena memiliki balai-balai dan orang-orang yang bergulat dibidang kesehatan. Meski bukan lembaga pemeritah non departemen (LPND) dan bukan kementerian, tetapi pemerintah dapat berkoordinasi untuk mengawasi peredaran obat.
Lanjut lagi menurutnya, maraknya obat palsu, vaksin palsu, mulai beredar sekitar tahun 2014 dan puncaknya tahun 2016. Dasarnya kenapa terjadi karena kekosongan barang, kebutuhan meningkat, dan banyak soal medikasi, karena lebih banyak menggunakan obat tanpa resep dokter.
Selain itu, Marius tidak setuju dengan BPOM yang meminta pemerintah untuk membuat undang-undang peraturan baru. Menurutnya seharusnya peraturan yang lamalah yang harus diperbaiki terlebih dahulu.
"Sekarangkan BPOM meminta pembuatan undang-undang peraturan baru tapi menurut saya yang lama dulu dikerjakan dulu, kenapa saya katakan begitu, bahwa selama ini bpom kan kerjanya dipabrik murni, di BPOM itu ada namanya dinamika produksi obat, dinamika distribusi obat, itu laporannya pertiga bulan, di appotik juga tiga bulan sekali namun hasil pantauan saya banayak formulir tidak disinikan atau kosong," jelasnya
Ia menambahkan, kasus obat palsu dan kedaluwarsa bukan kasus yang baru, ia berharap kasus ini harus diusut sampai akar-akarnya. Tidak hanya BPOM, Kemenkes juga harus diusut.
"Kalau semua itu sudah dilakukan baru dibuat peraturan perundang uangan yang baru, dan dijadikan tanpa resep dokter, soal medikasi tanpa resep dokter, dan satu lagi soal medikasi dengan resep dokter," tutupnya
medcom.id Jakarta: Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia menilai Marius Widjajayarta menilai, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus diaudit kinerjanya dalam kasus peredaran obat palsu dan obat kedaluwarsa di Indonesia.
"Kalau negara masih ada melindungi rakyat, BPOM dan Kemenkes, menurut saya kinerjanya harus diaudit. Mereka inilah yang wajib," ujar Marius kepada
Metrotvnews.com, Kamis (8/9/2016)
Dulu, BPOM bisa melakukan pengawasan obat-obatan dari hulu ke hilir. Tetapi sejak terbitnya Permenkes, kewenangan itu dihilangkan. Dalam Permenkes itu hanya disebutkan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan.
"Aneh kementerian ini dilakukan oleh menteri pasti institusinya kan dirjen bina pelayanan farmasi yang ada di kemenkes, ini satu hal yang aneh karena sebagai regulator pembuat peraturan tapi dia juga sebagai pelaksana. Mana ada peraturan seperti ini," tuturnya
BPOM dianggapnya lebih ideal dan kompeten untuk mengawasi peredaran obat-obatan di masyarakat karena memiliki balai-balai dan orang-orang yang bergulat dibidang kesehatan. Meski bukan lembaga pemeritah non departemen (LPND) dan bukan kementerian, tetapi pemerintah dapat berkoordinasi untuk mengawasi peredaran obat.
Lanjut lagi menurutnya, maraknya obat palsu, vaksin palsu, mulai beredar sekitar tahun 2014 dan puncaknya tahun 2016. Dasarnya kenapa terjadi karena kekosongan barang, kebutuhan meningkat, dan banyak soal medikasi, karena lebih banyak menggunakan obat tanpa resep dokter.
Selain itu, Marius tidak setuju dengan BPOM yang meminta pemerintah untuk membuat undang-undang peraturan baru. Menurutnya seharusnya peraturan yang lamalah yang harus diperbaiki terlebih dahulu.
"Sekarangkan BPOM meminta pembuatan undang-undang peraturan baru tapi menurut saya yang lama dulu dikerjakan dulu, kenapa saya katakan begitu, bahwa selama ini bpom kan kerjanya dipabrik murni, di BPOM itu ada namanya dinamika produksi obat, dinamika distribusi obat, itu laporannya pertiga bulan, di appotik juga tiga bulan sekali namun hasil pantauan saya banayak formulir tidak disinikan atau kosong," jelasnya
Ia menambahkan, kasus obat palsu dan kedaluwarsa bukan kasus yang baru, ia berharap kasus ini harus diusut sampai akar-akarnya. Tidak hanya BPOM, Kemenkes juga harus diusut.
"Kalau semua itu sudah dilakukan baru dibuat peraturan perundang uangan yang baru, dan dijadikan tanpa resep dokter, soal medikasi tanpa resep dokter, dan satu lagi soal medikasi dengan resep dokter," tutupnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)