Jakarta: Lapor Covid-19 mengungkapkan masih banyak ditemukan praktik jual beli vaksin booster untuk masyarakat umum. Sepanjang 2021, Lapor Covid-19 menerima sedikitnya 71 laporan warga terkait penyimpangan maupun penyalahgunaan program vaksinasi covid-19.
"Salah satu temuan lain dari audit BPKP juga mengindikasikan adanya penyalahgunaan persediaan vaksin, di antaranya pemberian vaksin booster kepada kelompok nonnakes," kata Tim Lapor Covid-19 Firdaus Ferdiansyah dalam keterangan resmi, Sabtu, 8 Januari 2022.
Sebagian besar laporan diduga melibatkan petugas hingga pejabat atau kepala daerah yang memiliki akses secara langsung terhadap distribusi vaksin. Firdaus menyatakan penyimpangan atau penyalahgunaan program vaksinasi berpotensi menghambat publik mendapatkan hak atas kesehatan, termasuk layanan vaksinasi dan semakin memperlebar ketimpangan mendapatkan layanan kesehatan yang setara.
Dia menuturkan pemerintah mesti bertanggung jawab mengatur dan melindungi hak atas kesehatan masyarakat secara optimal. Antara lain melalui penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang layak, serta mudah diakses masyarakat.
"Klausul ini pun sudah tertera di dalam konstitusi, UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan sejumlah peraturan lainnya," beber Firdaus.
Dia menyatakan seharusnya mekanisme distribusi vaksin ke daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, yang juga menetapkan kebutuhan vaksin sesuai jenis, jumlah yang akan dibutuhkan, hingga harga satuan vaksin.
"Sementara, pemerintah daerah bertugas untuk meneruskan vaksin ke fasilitas kesehatan sehingga dapat menyelenggarakan program vaksinasi covid-19," ucap dia.
Namun, hingga saat ini publik masih kesulitan mengakses informasi terkait kuantitas, masa berlaku, hingga jenis vaksin yang digunakan. Baik mulai dari proses pengadaan, distribusi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, hingga pencatatan vaksinasi kepada kelompok penerima.
Baca: Sumut Antisipasi Penggunaan Vaksin Booster Ilegal
"Ketersediaan informasi tersebut diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah, guna memastikan agar tidak terjadi penyimpangan maupun penyalahgunaan dalam distribusi vaksin," kata Firdaus.
Firdaus menegaskan minimnya informasi serta transparansi distribusi vaksin menyebabkan publik kesulitan mendapatkan informasi secara real time terkait jumlah vaksin yang sudah tiba di wilayahnya.
"Implikasi lainnya adalah banyaknya vaksin yang kedaluwarsa. Berdasarkan catatan Koalisi, terdapat sekitar 6.100 vaksin jenis AstraZeneca yang telah kedaluwarsa," ucap dia.
Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian negara. Adapun kegagalan pendataan penerima vaksin yang solid dapat diatribusikan terhadap kegagalan negara mendistribusikan vaksin covid-19 sesuai jumlah penerima.
Ketersediaan informasi tersebut juga diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah. Hal itu guna memastikan tidak ada lagi masyarakat yang kesulitan mengakses vaksin atau adanya vaksin yang kedaluwarsa.
Firdaus menegaskan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mendorong pemerintah menginvestigasi dan menindak tegas petugas, pejabat, kelompok lainnya yang terbukti melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan program vaksinasi covid-19. Selain itu, membuka informasi terkait distribusi vaksin yang dilakukan ke setiap daerah.
"Baik vaksin yang didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan maupun TNI dan Polri serta organisasi masyarakat lain," ucap dia.
Firdaus menyebut Kementerian kesehatan juga wajib membuka informasi rinci vaksin yang telah terdistribusi ke daerah. Mulai dari jenis vaksin hingga tanggal kedaluwarsa vaksin.
"Kementerian Kesehatan berkewajiban membuka hasil audit pemeriksaan vaksinasi covid-19 yang telah dilakukan bersama BPKP," ujar Firdaus.
Jakarta: Lapor Covid-19 mengungkapkan masih banyak ditemukan praktik jual beli
vaksin booster untuk masyarakat umum. Sepanjang 2021, Lapor Covid-19 menerima sedikitnya 71 laporan warga terkait penyimpangan maupun penyalahgunaan program
vaksinasi covid-19.
"Salah satu temuan lain dari audit BPKP juga mengindikasikan adanya penyalahgunaan persediaan vaksin, di antaranya pemberian vaksin
booster kepada kelompok nonnakes," kata Tim Lapor Covid-19 Firdaus Ferdiansyah dalam keterangan resmi, Sabtu, 8 Januari 2022.
Sebagian besar laporan diduga melibatkan petugas hingga pejabat atau kepala daerah yang memiliki akses secara langsung terhadap distribusi vaksin. Firdaus menyatakan penyimpangan atau penyalahgunaan program vaksinasi berpotensi menghambat publik mendapatkan hak atas kesehatan, termasuk layanan vaksinasi dan semakin memperlebar ketimpangan mendapatkan layanan kesehatan yang setara.
Dia menuturkan pemerintah mesti bertanggung jawab mengatur dan melindungi hak atas kesehatan masyarakat secara optimal. Antara lain melalui penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang layak, serta mudah diakses masyarakat.
"Klausul ini pun sudah tertera di dalam konstitusi, UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan sejumlah peraturan lainnya," beber Firdaus.
Dia menyatakan seharusnya mekanisme distribusi vaksin ke daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, yang juga menetapkan kebutuhan vaksin sesuai jenis, jumlah yang akan dibutuhkan, hingga harga satuan vaksin.
"Sementara, pemerintah daerah bertugas untuk meneruskan vaksin ke fasilitas kesehatan sehingga dapat menyelenggarakan program vaksinasi covid-19," ucap dia.
Namun, hingga saat ini publik masih kesulitan mengakses informasi terkait kuantitas, masa berlaku, hingga jenis vaksin yang digunakan. Baik mulai dari proses pengadaan, distribusi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, hingga pencatatan vaksinasi kepada kelompok penerima.
Baca:
Sumut Antisipasi Penggunaan Vaksin Booster Ilegal
"Ketersediaan informasi tersebut diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah, guna memastikan agar tidak terjadi penyimpangan maupun penyalahgunaan dalam distribusi vaksin," kata Firdaus.
Firdaus menegaskan minimnya informasi serta transparansi distribusi vaksin menyebabkan publik kesulitan mendapatkan informasi secara real time terkait jumlah vaksin yang sudah tiba di wilayahnya.
"Implikasi lainnya adalah banyaknya vaksin yang kedaluwarsa. Berdasarkan catatan Koalisi, terdapat sekitar 6.100 vaksin jenis AstraZeneca yang telah kedaluwarsa," ucap dia.
Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian negara. Adapun kegagalan pendataan penerima vaksin yang solid dapat diatribusikan terhadap kegagalan negara mendistribusikan vaksin covid-19 sesuai jumlah penerima.
Ketersediaan informasi tersebut juga diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah. Hal itu guna memastikan tidak ada lagi masyarakat yang kesulitan mengakses vaksin atau adanya vaksin yang kedaluwarsa.
Firdaus menegaskan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mendorong pemerintah menginvestigasi dan menindak tegas petugas, pejabat, kelompok lainnya yang terbukti melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan program vaksinasi covid-19. Selain itu, membuka informasi terkait distribusi vaksin yang dilakukan ke setiap daerah.
"Baik vaksin yang didistribusikan oleh
Kementerian Kesehatan maupun TNI dan Polri serta organisasi masyarakat lain," ucap dia.
Firdaus menyebut Kementerian kesehatan juga wajib membuka informasi rinci vaksin yang telah terdistribusi ke daerah. Mulai dari jenis vaksin hingga tanggal kedaluwarsa vaksin.
"Kementerian Kesehatan berkewajiban membuka hasil audit pemeriksaan vaksinasi covid-19 yang telah dilakukan bersama BPKP," ujar Firdaus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)