Jakarta: Dalam komitmen Paris Agreement 2016, Presiden Joko Widodo berkomitmen mencapai target 23% bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2025. Hal itu yang mendorong kuat lahirnya Perpres Nomor 112 Tahun 2022 dan RUU EBT.
Bersamaan dengan itu juga Kementerian BUMN juga mendorong kepada lintas perusahaan untuk mulai berbasis energi hijau.
Sebagaimana juga diketahui publik pada 18 Oktober lalu, terjadi kesepahaman delapan BUMN untuk menandatangani Net Zero Emission 2060. Dengan adanya kesepakatan ini diharapkan juga mempercepat target 23% bauran energi campuran EBT.
Menteri BUMN Erick Thohir pada kesempatan yang sama, mendorong agar BUMN memiliki komitmen kuat menuju energi hijau. “Kami berharap para BUMN dapat menjalani prinsip ekonomi hijau dalam bertransformasi dan menjadi contoh baik bagi masyarakat Indonesia.” Papar Menteri Erick Thohir pada acara tersebut.
Said Aqil Siroj Institute sebagai salah satu lembaga yang memperjuangkan masyarakat pesantren menilai sikap pemerintah sebagai momentum positif bagi masyarakat pesantren.
Baca: 2060, Pertamina Bidik Pengurangan CO2 hingga 81,4 Juta Ton
Abi Rekso selaku Deputi Kajian SAS Institute, melalui kajiannya mendorong masyarakat pesantren agar terlibat transformasi energi nasional. Dirinya menegaskan, menjelang Hari Santri Nasional masyarakat pesantren perlu agresif agar terlibat atau dilibatkan dalam transformasi energi nasional.
Dalam kajiannya Abi Rekso mengambil contoh Tiongkok, sebagai salah satu kekuatan baru energi. Pertama, arah politik energi yang disiplin dan asertif. Kebijakan dijalankan hingga roda pemerintah paling bawah.
Kedua, mega proyek EBT sebesar 450 GW, yang terpusat di 5 provinsi prioritas. Mereka membangun PLTA dan PLTS di atas tambang batubara yang sudah dimoratorium.
"Ketiga, hingga 2022 pemerintah Tiongkok tercatat mensubsidi dan membiayai proyek EBT sebesar 60 Miliar USD (setara dengan 852 Triliun Rupiah). Tentu dana konsorsium itu juga bagian dari investasi dalam maupun luar negeri. Inilah tiga pilar kesuksesan Tiongkok dalam transformasi energi hijau.” Jelas Abi Rekso.
Abi menekankan jika belajar dari Tiongkok, bukan tidak mungkin Indonesia juga mampu melakukan lompatan. Lebih-lebih pemerintah secara maksimal melibatkan masyarakat pesantren. Menurutnya, kedepan pengembagan EBT bukan saja bergantung pada modal dan teknologi. Namun juga kesediaan lahan yang luas dan partisipasi masyarakat. Teorinya, semakin luas partisipasi publik makan akan semakin cepat tercapai target 23% bauran energi.
“Dalam draft terakhir RUU EBT termaktub BAB XIII Partisipasi Masyarakat Pasal 38, pasal ini bisa kita maknai sebagai jalan masuknya masyarakat pesantren dalam transformasi EBT. Insya Allah SAS Institute akan menjadi lembaga yang terus mendorong keterlibatan masyarakat pesantren dalam transformasi energi nasional.” kat Abi Rekso.
Jakarta: Dalam komitmen Paris Agreement 2016, Presiden Joko Widodo berkomitmen mencapai target 23% bauran Energi Baru Terbarukan (
EBT) pada 2025. Hal itu yang mendorong kuat lahirnya Perpres Nomor 112 Tahun 2022 dan RUU EBT.
Bersamaan dengan itu juga Kementerian BUMN juga mendorong kepada lintas perusahaan untuk mulai berbasis energi hijau.
Sebagaimana juga diketahui publik pada 18 Oktober lalu, terjadi kesepahaman delapan BUMN untuk menandatangani Net Zero Emission 2060. Dengan adanya kesepakatan ini diharapkan juga mempercepat target 23% bauran energi campuran EBT.
Menteri BUMN Erick Thohir pada kesempatan yang sama, mendorong agar BUMN memiliki komitmen kuat menuju energi hijau. “Kami berharap para BUMN dapat menjalani prinsip ekonomi hijau dalam bertransformasi dan menjadi contoh baik bagi masyarakat Indonesia.” Papar Menteri Erick Thohir pada acara tersebut.
Said Aqil Siroj Institute sebagai salah satu lembaga yang memperjuangkan masyarakat pesantren menilai sikap pemerintah sebagai momentum positif bagi masyarakat pesantren.
Baca:
2060, Pertamina Bidik Pengurangan CO2 hingga 81,4 Juta Ton
Abi Rekso selaku Deputi Kajian SAS Institute, melalui kajiannya mendorong masyarakat pesantren agar terlibat transformasi energi nasional. Dirinya menegaskan, menjelang Hari Santri Nasional masyarakat pesantren perlu agresif agar terlibat atau dilibatkan dalam transformasi energi nasional.
Dalam kajiannya Abi Rekso mengambil contoh Tiongkok, sebagai salah satu kekuatan baru energi. Pertama, arah politik energi yang disiplin dan asertif. Kebijakan dijalankan hingga roda pemerintah paling bawah.
Kedua, mega proyek EBT sebesar 450 GW, yang terpusat di 5 provinsi prioritas. Mereka membangun PLTA dan PLTS di atas tambang batubara yang sudah dimoratorium.
"Ketiga, hingga 2022 pemerintah Tiongkok tercatat mensubsidi dan membiayai proyek EBT sebesar 60 Miliar USD (setara dengan 852 Triliun Rupiah). Tentu dana konsorsium itu juga bagian dari investasi dalam maupun luar negeri. Inilah tiga pilar kesuksesan Tiongkok dalam transformasi energi hijau.” Jelas Abi Rekso.
Abi menekankan jika belajar dari Tiongkok, bukan tidak mungkin Indonesia juga mampu melakukan lompatan. Lebih-lebih pemerintah secara maksimal melibatkan masyarakat pesantren. Menurutnya, kedepan pengembagan EBT bukan saja bergantung pada modal dan teknologi. Namun juga kesediaan lahan yang luas dan partisipasi masyarakat. Teorinya, semakin luas partisipasi publik makan akan semakin cepat tercapai target 23% bauran energi.
“Dalam draft terakhir RUU EBT termaktub BAB XIII Partisipasi Masyarakat Pasal 38, pasal ini bisa kita maknai sebagai jalan masuknya masyarakat pesantren dalam transformasi EBT. Insya Allah SAS Institute akan menjadi lembaga yang terus mendorong keterlibatan masyarakat pesantren dalam transformasi energi nasional.” kat Abi Rekso.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)