medcom.id, Jakarta: Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) lahir dalam suasana persaingan politik yang panas pada 2014.
Saat itu, kekuatan dominan di parlemen, yakni, koalisi oposisi pemerintah, yang dikenal dengan sebutan Koalisi Merah Putih (KMP), mengunci seluruh posisi vital sekaligus peluang koalisi pendukung pemerintah atau Koalisi Indonesia Hebat (KIH) masuk di dalamnya.
DPR menyepakati mekanisme pemilihan pimpinan dilakukan secara sistem paket. Bukan pada sistem proporsional yang diberikan kepada pemenang Pemilu legislatif.
Kini, ketika politik mencair dan peta politik berubah, parlemen pun sepakat merevisi kembali UU MD3. Padahal, sebelumnya UU MD3 sudah sempat direvisi untuk mengakomodir kelompok pendukung pemerintah dalam unsur pimpinan.
Fraksi utama yang mengusulkan revisi UU MD3 adalah Fraksi PDI Perjuangan. Partai Politik pemenang Pemilu 2014 ini mengusulkan, revisi yang dilakukan cukup revisi terbatas, bukan keseluruhan, salah-satunya persoalan porsi pimpinan DPR. Usulnya, kursi pimpinan DPR RI ditambahkan satu lagi, menjadi enam.
DPR pun sepakat bahwa revisi UU MD3 ini segera dilakukan, meski jatuh pada masa reses. Targetnya, saat pembukaan masa sidang 2017, perubahan ini langsung disahkan.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyayangkan ketergesaan ini. "Sebaiknya mengubah UU itu harus ada alasan yang cukup, ada naskah akademik, dll," ucapnya kepada Metro TV, Kamis (15/12/2016).
Lantas, apa yang dikejar dari revisi UU MD3 saat ini? Betulkah soal keadilan politik, atau kekuasaan politik semata?
Dagang sapi
Refli memahami bahwa kondisi saat ini membuat politisi sulit berdiri di ruang ideal. Contohnya, melangkahi prosedur demi kejar tayang revisi UU.
Pada sisi lain, revisi UU yang sebaiknya komprehensif, ternyata hanya diusulkan revisi terbatas, alias sebagian kecil saja, pada persoalan porsi pimpinan DPR.
Menurut Refli, hal ini terjadi karena fakta politik sudah berbicara. Perubahan hanya untuk kepentingan politik sesaat saja.
Refli juga mengisyaratkan adanya kemungkinan keterkaitan antara dukungan untuk Setya Novanto menjadi ketua DPR lagi, dengan penambahan kursi pimpinan DPR untuk PDI Perjuangan.
"Ini trade-off saja. Maaf, politik dagang sapi," kata Refli.
Anggapan ini dibantah Arif Wibowo, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan. Menurutnya, bila pendukung penambahan kursi pimpinan DPR RI itu hanya Partai Golkar, boleh dibilang trade-off.
"Tapi kan banyak fraksi yang mengusulkan juga," ucap Arif menimpali Refli, Kamis (16/12/2016).
Arif menegaskan, pada dasarnya PDI Perjuangan sepakat merevisi UU MD3 secara komprehensif. Hanya saja situasi dan kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan sekarang.
Utak-atik
Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua DPR secara otomatis diberikan kepada partai pemenang Pemilu. Pasca pilpres 2014, ketentuan itu diubah dengan sistem paket.
Kesalahannya, menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, perubahan itu dibuat dalam nuansa ketergesaan.
"Seolah-olah koreksi, perlu diperbaiki, revisi, dan sebagainya. Jadinya, seperti tambal sulam. Padahal utak-atik undang-undang untuk kepentingan sumbu pendek," ucap Zuhro saat dihubungi metrotvnews.com, Jumat (16/12/2016).
Ia melanjutkan, sebenarnya yang dibutuhkan saat ini adalah perbaikan-perbaikan sistem dan payung hukum yang paten, tidak tambal sulam dan jauh dari aroma kepentingan politik.
Bila seperti ini, wajar bila masyarakat melihat DPR tak kunjung profesional. Apalagi di tengah semangat membenahi paket UU Politik dalam rangka menyambut pelaksanaan pemilu serentak pada 2019.
"Jangan ditarik sedemikan rupa untuk memenuhi syahwat politik," ujar Zuhro.
Menurut Zuhro, pelabelan tambal sulam terhadap kinerja anggota parlemen akan selalu melekat apabila dinamikanya terus dipelihara dengan paradigma politik pragmatis. "Bagi saya jelas ini merugikan negara," kata dia.
Sebaiknya, sejak awal DPR sudah menyatukan persepsi. Buatlah UU yang saling mendukung.
"Jangan sampai nantinya antar UU saling menghukum, saling menginterupsi, karena overlap, tidak berkaitan," ucap Zuhro.
medcom.id, Jakarta: Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) lahir dalam suasana persaingan politik yang panas pada 2014.
Saat itu, kekuatan dominan di parlemen, yakni, koalisi oposisi pemerintah, yang dikenal dengan sebutan Koalisi Merah Putih (KMP), mengunci seluruh posisi vital sekaligus peluang koalisi pendukung pemerintah atau Koalisi Indonesia Hebat (KIH) masuk di dalamnya.
DPR menyepakati mekanisme pemilihan pimpinan dilakukan secara sistem paket. Bukan pada sistem proporsional yang diberikan kepada pemenang Pemilu legislatif.
Kini, ketika politik mencair dan peta politik berubah, parlemen pun sepakat merevisi kembali UU MD3. Padahal, sebelumnya UU MD3 sudah sempat direvisi untuk mengakomodir kelompok pendukung pemerintah dalam unsur pimpinan.
Fraksi utama yang mengusulkan revisi UU MD3 adalah Fraksi PDI Perjuangan. Partai Politik pemenang Pemilu 2014 ini mengusulkan, revisi yang dilakukan cukup revisi terbatas, bukan keseluruhan, salah-satunya persoalan porsi pimpinan DPR. Usulnya, kursi pimpinan DPR RI ditambahkan satu lagi, menjadi enam.
DPR pun sepakat bahwa revisi UU MD3 ini segera dilakukan, meski jatuh pada masa reses. Targetnya, saat pembukaan masa sidang 2017, perubahan ini langsung disahkan.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyayangkan ketergesaan ini. "Sebaiknya mengubah UU itu harus ada alasan yang cukup, ada naskah akademik, dll," ucapnya kepada Metro TV, Kamis (15/12/2016).
Lantas, apa yang dikejar dari revisi UU MD3 saat ini? Betulkah soal keadilan politik, atau kekuasaan politik semata?
Dagang sapi
Refli memahami bahwa kondisi saat ini membuat politisi sulit berdiri di ruang ideal. Contohnya, melangkahi prosedur demi kejar tayang revisi UU.
Pada sisi lain, revisi UU yang sebaiknya komprehensif, ternyata hanya diusulkan revisi terbatas, alias sebagian kecil saja, pada persoalan porsi pimpinan DPR.
Menurut Refli, hal ini terjadi karena fakta politik sudah berbicara. Perubahan hanya untuk kepentingan politik sesaat saja.
Refli juga mengisyaratkan adanya kemungkinan keterkaitan antara dukungan untuk Setya Novanto menjadi ketua DPR lagi, dengan penambahan kursi pimpinan DPR untuk PDI Perjuangan.
"Ini
trade-off saja. Maaf, politik dagang sapi," kata Refli.
Anggapan ini dibantah Arif Wibowo, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan. Menurutnya, bila pendukung penambahan kursi pimpinan DPR RI itu hanya Partai Golkar, boleh dibilang
trade-off.
"Tapi kan banyak fraksi yang mengusulkan juga," ucap Arif menimpali Refli, Kamis (16/12/2016).
Arif menegaskan, pada dasarnya PDI Perjuangan sepakat merevisi UU MD3 secara komprehensif. Hanya saja situasi dan kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan sekarang.
Utak-atik
Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua DPR secara otomatis diberikan kepada partai pemenang Pemilu. Pasca pilpres 2014, ketentuan itu diubah dengan sistem paket.
Kesalahannya, menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, perubahan itu dibuat dalam nuansa ketergesaan.
"Seolah-olah koreksi, perlu diperbaiki, revisi, dan sebagainya. Jadinya, seperti tambal sulam. Padahal utak-atik undang-undang untuk kepentingan sumbu pendek," ucap Zuhro saat dihubungi metrotvnews.com, Jumat (16/12/2016).
Ia melanjutkan, sebenarnya yang dibutuhkan saat ini adalah perbaikan-perbaikan sistem dan payung hukum yang paten, tidak tambal sulam dan jauh dari aroma kepentingan politik.
Bila seperti ini, wajar bila masyarakat melihat DPR tak kunjung profesional. Apalagi di tengah semangat membenahi paket UU Politik dalam rangka menyambut pelaksanaan pemilu serentak pada 2019.
"Jangan ditarik sedemikan rupa untuk memenuhi syahwat politik," ujar Zuhro.
Menurut Zuhro, pelabelan tambal sulam terhadap kinerja anggota parlemen akan selalu melekat apabila dinamikanya terus dipelihara dengan paradigma politik pragmatis. "Bagi saya jelas ini merugikan negara," kata dia.
Sebaiknya, sejak awal DPR sudah menyatukan persepsi. Buatlah UU yang saling mendukung.
"Jangan sampai nantinya antar UU saling menghukum, saling menginterupsi, karena overlap, tidak berkaitan," ucap Zuhro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(COK)