Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan ketahanan Siber (Kamtansiber) dianggap muncul tiba-tiba dan tidak melibatkan pihak terkait. Hal tersebut bisa berdampak pada perubahan RUU itu sendiri.
Menurut Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, isu RUU Kamtansiber baru muncul Desember 2018 tetapi dalam kurun singkat sudah jadi. Menurut Ardi, banyak pihak yang belum benar-benar tahu dan mempertanyakan tentang RUU tersebut, seperti industri atau praktisi.
"Kok bisa produk hukum keluar tapi industri tak diajak bicara. Padahal pertahanan siber tak cuma pemerintah, tapi hajat orang banyak," kata dia dalam diskusi siber di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2019.
Ia merasa kondisi ini seperti 3-4 tahun yang lalu (tak melibatkan pihak lain), sehingga RUU yang telah dibuat tak seperti keadaan saat ini (real). Akibatnya, bisa terjadi perubahan UU ketika sudah disahkan.
"Jangan sampai produk UU tak mengacu pada real, nanti berubah lagi. Jangan berulang (berubahnya) sehingga (masyarakat) bingung," tegas dia.
Ardi juga merasa bahwa RUU Kamtansiber juga hanya untuk kepentingan satu sisi yaitu pemerintah. Sementara ekosistem internet (publik) justru diabaikan.
Di satu sisi, Ardi tak melihat adanya urgensi dari RUU tersebut. Menurutnya ada masalah lain yang lebih krusial untuk dibahas karena menyangkut orang banyak, seperti UU Perlindungan Data Pribadi.
Sementara itu, Pakar IT Richardus Eko Indrajit berpendapat bahwa diperlukan koordinasi dalam membuat aturan seputar dunia siber. Ia juga optimis RUU Kamtansiber akan berdampak positif.
Menurutnya, dunia siber memiliki kultur egaliter, inklusif, dan non-birokratif. Oleh karena itu, dalam membuat aturan harus ada koordinasi antar stakeholder.
"Di Indonesia ini yang mahal koordinasi. Stakeholder harus bisa bagi peran dan koordinasi dengan sama-sama konsensus," ungkapnya.
Ia mencontohkan, stakeholder bisa saling bagi peran dalam hal sertifikasi, kompetensi, infrastruktur, dan edukasi.
Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan ketahanan Siber (Kamtansiber) dianggap muncul tiba-tiba dan tidak melibatkan pihak terkait. Hal tersebut bisa berdampak pada perubahan RUU itu sendiri.
Menurut Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, isu RUU Kamtansiber baru muncul Desember 2018 tetapi dalam kurun singkat sudah jadi. Menurut Ardi, banyak pihak yang belum benar-benar tahu dan mempertanyakan tentang RUU tersebut, seperti industri atau praktisi.
"Kok bisa produk hukum keluar tapi industri tak diajak bicara. Padahal pertahanan siber tak cuma pemerintah, tapi hajat orang banyak," kata dia dalam diskusi siber di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2019.
Ia merasa kondisi ini seperti 3-4 tahun yang lalu (tak melibatkan pihak lain), sehingga RUU yang telah dibuat tak seperti keadaan saat ini (real). Akibatnya, bisa terjadi perubahan UU ketika sudah disahkan.
"Jangan sampai produk UU tak mengacu pada real, nanti berubah lagi. Jangan berulang (berubahnya) sehingga (masyarakat) bingung," tegas dia.
Ardi juga merasa bahwa RUU Kamtansiber juga hanya untuk kepentingan satu sisi yaitu pemerintah. Sementara ekosistem internet (publik) justru diabaikan.
Di satu sisi, Ardi tak melihat adanya urgensi dari RUU tersebut. Menurutnya ada masalah lain yang lebih krusial untuk dibahas karena menyangkut orang banyak, seperti UU Perlindungan Data Pribadi.
Sementara itu, Pakar IT Richardus Eko Indrajit berpendapat bahwa diperlukan koordinasi dalam membuat aturan seputar dunia siber. Ia juga optimis RUU Kamtansiber akan berdampak positif.
Menurutnya, dunia siber memiliki kultur egaliter, inklusif, dan non-birokratif. Oleh karena itu, dalam membuat aturan harus ada koordinasi antar stakeholder.
"Di Indonesia ini yang mahal koordinasi. Stakeholder harus bisa bagi peran dan koordinasi dengan sama-sama konsensus," ungkapnya.
Ia mencontohkan, stakeholder bisa saling bagi peran dalam hal sertifikasi, kompetensi, infrastruktur, dan edukasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(EKO)