medcom.id, Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut sebanyak 450 konflik agraria terjadi sepanjang 2016. Konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia itu melibatkan 7.756 hektare lahan dengan luas wilayah 1.265.027 hektare dan melibatkan 86.745 kepala keluarga.
Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan konflik-konflik itu mayoritas terjadi karena kebijakan agraria di sektor pemerintahan lebih diprioritaskan untuk perusahaan, terutama yang skalanya besar. Bukan untuk kesejahteraan warga.
"Dari banyak kasus konflik agraria yang kami tangani, erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi dan perilaku koruptif dalam setiap konsesi izin yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan," kata Kartika, dalam Mata Najwa bertajuk Demi Tanah Kami, Rabu 15 Maret 2017.
Kartika menyebut perilaku koruptif inilah yang kemudian menjadi legitimasi resmi untuk melakukan perampasan lahan warga dan memicu terjadinya konflik.
Kartika pun mengamini jika konflik agraria kerap menimbulkan korban. Sebutlah Salim Kancil, warga Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian, yang meregang nyawa hanya untuk mempertahankan tanahnya dari tambang pasir ilegal yang sudah dilegitimasi oleh pemerintah setempat.
Bahkan tak segan-segan perusahaan yang telah memiliki konsesi atau izin yang dikeluarkan pemerintah memanfaatkan aparat kepolisian untuk ikut mengamankan perusahaan dalam merampas tanah warga.
"Kebijakan yang dikeluarkan pejabat publik, misal izin tambang ini menjadi legitimasi perusahaan dan pemerintah bisa memanggil aparat untuk mengamankan konsesi tersebut,' jelasnya.
medcom.id, Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut sebanyak 450 konflik agraria terjadi sepanjang 2016. Konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia itu melibatkan 7.756 hektare lahan dengan luas wilayah 1.265.027 hektare dan melibatkan 86.745 kepala keluarga.
Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan konflik-konflik itu mayoritas terjadi karena kebijakan agraria di sektor pemerintahan lebih diprioritaskan untuk perusahaan, terutama yang skalanya besar. Bukan untuk kesejahteraan warga.
"Dari banyak kasus konflik agraria yang kami tangani, erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi dan perilaku koruptif dalam setiap konsesi izin yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan," kata Kartika, dalam Mata Najwa bertajuk Demi Tanah Kami, Rabu 15 Maret 2017.
Kartika menyebut perilaku koruptif inilah yang kemudian menjadi legitimasi resmi untuk melakukan perampasan lahan warga dan memicu terjadinya konflik.
Kartika pun mengamini jika konflik agraria kerap menimbulkan korban. Sebutlah Salim Kancil, warga Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian, yang meregang nyawa hanya untuk mempertahankan tanahnya dari tambang pasir ilegal yang sudah dilegitimasi oleh pemerintah setempat.
Bahkan tak segan-segan perusahaan yang telah memiliki konsesi atau izin yang dikeluarkan pemerintah memanfaatkan aparat kepolisian untuk ikut mengamankan perusahaan dalam merampas tanah warga.
"Kebijakan yang dikeluarkan pejabat publik, misal izin tambang ini menjadi legitimasi perusahaan dan pemerintah bisa memanggil aparat untuk mengamankan konsesi tersebut,' jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)