medcom.id, Jakarta: Ideologi tidak lagi menjadi alasan kelompok Abu Sayyaf menggelar aksi-aksi kriminal semisal penyanderaan dan perompakan. Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, persoalan ekonomi menjadi alasan utama kelompok militan yang berbasis di Filipina Selatan itu kerap menyandera warga negara asing, termasuk sejumlah warga negara Indonesia.
"Jadi, memang di Filipina Selatan ini (penyanderaan) sudah jadi bisnis. Solusinya tidak bisa hanya dengan membayar ransom (tebusan), tetapi memang harus lebih tegas," ujar Kalla saat memberikan kuliah umum di hadapan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) Lemhannas di Istana Wapres, Jakarta, Selasa, 30 Agustus 2016.
Ditambahkan Kalla, Filipina perlu mengambil tindakan lebih tegas untuk menghancurkan kelompok Abu Sayyaf. Pasalnya, aksi-aksi kriminal yang dilakukan kelompok tersebut berdampak terhadap perekonomian Filipina.
Indonesia, lanjut Kalla, akan sulit mengirimkan batu bara ke Filipina karena jalur perdagangan rawan perompakan. "Filipina juga susah, listrik bisa masalah karena Indonesia sulit untuk kirim batu bara ke sana," imbuhnya.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal (kedua kiri) bersama Dian Megawati Ahmad (tengah) yang merupakan istri mualim I Kapal Charles, Ismail, anggota Komisi I DPR Irine Yusiana Roba Putri (kedua kanan) dan Charles Honoris (kanan) memberikan keterangan pers terkait penyanderaan tujuh kru Kapal Charles oleh kelompok bersenjata di selatan Filipina sejak 22 Juni 2016, Jakarta, Senin (1/8/2016). Foto: MI/Atet Dwi Pramadia
Saat ini, masih ada 20 sandera yang disekap Abu Sayyaf dan nyawa mereka terancam jika uang tebusan tak dibayarkan. Di antaranya 9 WNI, 5 warga Malaysia, 1 warga Norwegia, dan 1 warga Belanda. Sebelumnya, dua WNI yang disandera, yakni M Sofyan dan Ismail, berhasil meloloskan diri dari kelompok bersenjata tersebut.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan pihaknya masih terus melakukan komunikasi intensif dengan pemerintah Filipina untuk membebaskan WNI yang hingga kini masih disandera kelompok Abu Sayyaf. "Upaya (pembebasan) akan terus ditingkatkan tanpa mengenal tenggat tertentu," ujarnya di Yogyakarta, Selasa, 30 Agustus 2016 seperti dilaporkan Metro TV.
Sementara itu, kemarin, militer Filipina menambah kekuatan pasukan mereka untuk menumpas kelompok militan Abu Sayyaf, setelah 15 prajurit Filipina tewas dalam kontak senjata, Senin (29/8). Penambahan 2.500 personel pasukan ke wilayah Jolo dan pulau sekitarnya tersebut diungkapkan Juru Bicara Presiden Ernesto Abella. "Presiden ingin memastikan Abu Sayyaf bisa ditumpas secepat mungkin," kata Abella.
Operasi militer itu dilancarkan menyusul perintah Presiden Rodrigo Duterte untuk menghancurkan kelompok Abu Sayyaf. Duterte yang baru dua bulan menjabat pada awalnya meminta Abu Sayyaf untuk meletakkan senjata dan baru akan bertindak tegas apabila tawarannya ditolak. "Hancurkan mereka semua," ungkap Duterte pekan lalu.
medcom.id, Jakarta: Ideologi tidak lagi menjadi alasan kelompok Abu Sayyaf menggelar aksi-aksi kriminal semisal penyanderaan dan perompakan. Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, persoalan ekonomi menjadi alasan utama kelompok militan yang berbasis di Filipina Selatan itu kerap menyandera warga negara asing, termasuk sejumlah warga negara Indonesia.
"Jadi, memang di Filipina Selatan ini (penyanderaan) sudah jadi bisnis. Solusinya tidak bisa hanya dengan membayar ransom (tebusan), tetapi memang harus lebih tegas," ujar Kalla saat memberikan kuliah umum di hadapan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) Lemhannas di Istana Wapres, Jakarta, Selasa, 30 Agustus 2016.
Ditambahkan Kalla, Filipina perlu mengambil tindakan lebih tegas untuk menghancurkan kelompok Abu Sayyaf. Pasalnya, aksi-aksi kriminal yang dilakukan kelompok tersebut berdampak terhadap perekonomian Filipina.
Indonesia, lanjut Kalla, akan sulit mengirimkan batu bara ke Filipina karena jalur perdagangan rawan perompakan. "Filipina juga susah, listrik bisa masalah karena Indonesia sulit untuk kirim batu bara ke sana," imbuhnya.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal (kedua kiri) bersama Dian Megawati Ahmad (tengah) yang merupakan istri mualim I Kapal Charles, Ismail, anggota Komisi I DPR Irine Yusiana Roba Putri (kedua kanan) dan Charles Honoris (kanan) memberikan keterangan pers terkait penyanderaan tujuh kru Kapal Charles oleh kelompok bersenjata di selatan Filipina sejak 22 Juni 2016, Jakarta, Senin (1/8/2016). Foto: MI/Atet Dwi Pramadia
Saat ini, masih ada 20 sandera yang disekap Abu Sayyaf dan nyawa mereka terancam jika uang tebusan tak dibayarkan. Di antaranya 9 WNI, 5 warga Malaysia, 1 warga Norwegia, dan 1 warga Belanda. Sebelumnya, dua WNI yang disandera, yakni M Sofyan dan Ismail, berhasil meloloskan diri dari kelompok bersenjata tersebut.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan pihaknya masih terus melakukan komunikasi intensif dengan pemerintah Filipina untuk membebaskan WNI yang hingga kini masih disandera kelompok Abu Sayyaf. "Upaya (pembebasan) akan terus ditingkatkan tanpa mengenal tenggat tertentu," ujarnya di Yogyakarta, Selasa, 30 Agustus 2016 seperti dilaporkan Metro TV.
Sementara itu, kemarin, militer Filipina menambah kekuatan pasukan mereka untuk menumpas kelompok militan Abu Sayyaf, setelah 15 prajurit Filipina tewas dalam kontak senjata, Senin (29/8). Penambahan 2.500 personel pasukan ke wilayah Jolo dan pulau sekitarnya tersebut diungkapkan Juru Bicara Presiden Ernesto Abella. "Presiden ingin memastikan Abu Sayyaf bisa ditumpas secepat mungkin," kata Abella.
Operasi militer itu dilancarkan menyusul perintah Presiden Rodrigo Duterte untuk menghancurkan kelompok Abu Sayyaf. Duterte yang baru dua bulan menjabat pada awalnya meminta Abu Sayyaf untuk meletakkan senjata dan baru akan bertindak tegas apabila tawarannya ditolak. "Hancurkan mereka semua," ungkap Duterte pekan lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)