medcom.id, Jakarta: Terbatasnya ruang gerak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dianggap menjadi penghambat kinerja lembaga tersebut. Revisi akan hak dan kewajiban termasuk yang di dalamnya berbenturan dengan institusi lain dianggap mendesak untuk dilakukan. Salah satunya melalui peraturan atau keputusan presiden.
"Memang kita melihat perlu untuk dilakukan upaya tersebut. Karena kalau misalnya melihat kasus vaksin saja, rasanya sudah saatnya BPOM diberi kewenangan lebih," kata Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, kemarin.
Dede mengatakan, selama ini ruang gerak lembaga yang tersebut sangat terbatas. Begitu pula dalam hal anggaran. Padahal, sudah seharusnya BPOM menjadi ujung tombak pengawas keamanan obat dan makanan di Indonesia.
"Harus ditingkatkan kewenangannya. Tidak hanya pengawas tapi juga agar punya hak untuk melakukan penindakan, penangkapan, serta memberikan sanksi misalnya penutupan. Serta tidak hanya kapasitasnya menyidak di tempat seperti pasar, tetapi juga sumber ilegal," ungkap Dede.
Dijelaskan Dede, untuk mencapai hal tersebut perlu segera diciptakan aturan baru. Ke depan, telah diwacanakan untuk membuat UU tentang pengawasan obat dan farmasi. Namun, hal tersebut dianggapnya merupakan rencana jangka panjang yang tidak bisa langsung dilakukan dan aplikasikan.
"Seperti yang kita tahu butuh beberapa tahun untuk dapat mensahkan suatu undang-undang. Sementara kalau melihat kondisi sekarang rasanya sudah mendesak aturan tersebut dibuat. Untuk itu, saya harap untuk dapat dikeluarkan Keppres atau Perpres akan masalah ini. Kita dorong presiden untuk menuju ke sana," tutur Dede.
Sebelumnya, Ketua Badan POM Penny Lukito mengatakan keterbatasan kewenangan BPOM membuat kinerja menjadi tidak maksimal. Di antaranya ialah adanya Permenkes No. 38, 58, dan 60 yang membuat BPOM tidak dapat sepenuhnya masuk dalam pengaturan obat, termasuk vaksin.
"Selama ini kami masih berdasar pada UU Kesehatan. Masih butuh penguatan," ungkap Penny.
Diungkapkannya, hal tersebut dibutuhkan sebagai legal basis dalam setiap tindakan yang akan dilakukan BPOM. Dengan tidak adanya hal tersebut selama ini, upaya pengawasan sulit untuk dapat ditindaklanjuti dengan cepat. Akibatnya, tidak jarang kasus penemuan makanan dan obat ilegal kemudian tidak terselesaikan dengan baik.
medcom.id, Jakarta: Terbatasnya ruang gerak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dianggap menjadi penghambat kinerja lembaga tersebut. Revisi akan hak dan kewajiban termasuk yang di dalamnya berbenturan dengan institusi lain dianggap mendesak untuk dilakukan. Salah satunya melalui peraturan atau keputusan presiden.
"Memang kita melihat perlu untuk dilakukan upaya tersebut. Karena kalau misalnya melihat kasus vaksin saja, rasanya sudah saatnya BPOM diberi kewenangan lebih," kata Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, kemarin.
Dede mengatakan, selama ini ruang gerak lembaga yang tersebut sangat terbatas. Begitu pula dalam hal anggaran. Padahal, sudah seharusnya BPOM menjadi ujung tombak pengawas keamanan obat dan makanan di Indonesia.
"Harus ditingkatkan kewenangannya. Tidak hanya pengawas tapi juga agar punya hak untuk melakukan penindakan, penangkapan, serta memberikan sanksi misalnya penutupan. Serta tidak hanya kapasitasnya menyidak di tempat seperti pasar, tetapi juga sumber ilegal," ungkap Dede.
Dijelaskan Dede, untuk mencapai hal tersebut perlu segera diciptakan aturan baru. Ke depan, telah diwacanakan untuk membuat UU tentang pengawasan obat dan farmasi. Namun, hal tersebut dianggapnya merupakan rencana jangka panjang yang tidak bisa langsung dilakukan dan aplikasikan.
"Seperti yang kita tahu butuh beberapa tahun untuk dapat mensahkan suatu undang-undang. Sementara kalau melihat kondisi sekarang rasanya sudah mendesak aturan tersebut dibuat. Untuk itu, saya harap untuk dapat dikeluarkan Keppres atau Perpres akan masalah ini. Kita dorong presiden untuk menuju ke sana," tutur Dede.
Sebelumnya, Ketua Badan POM Penny Lukito mengatakan keterbatasan kewenangan BPOM membuat kinerja menjadi tidak maksimal. Di antaranya ialah adanya Permenkes No. 38, 58, dan 60 yang membuat BPOM tidak dapat sepenuhnya masuk dalam pengaturan obat, termasuk vaksin.
"Selama ini kami masih berdasar pada UU Kesehatan. Masih butuh penguatan," ungkap Penny.
Diungkapkannya, hal tersebut dibutuhkan sebagai legal basis dalam setiap tindakan yang akan dilakukan BPOM. Dengan tidak adanya hal tersebut selama ini, upaya pengawasan sulit untuk dapat ditindaklanjuti dengan cepat. Akibatnya, tidak jarang kasus penemuan makanan dan obat ilegal kemudian tidak terselesaikan dengan baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)