Jakarta: Selama dua bulan terakhir di awal 2018 sedikitnya 55 laporan terkait kasus kekerasan anak dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengungkap berdasarkan data tersebut mayoritas korban kekerasan baik fisik maupun seksual didominasi oleh anak laki-laki.
"Kita agak terkejut karena trennya kebanyakan korban laki-laki. Kasus di Tangerang 41 orang, di Jakarta 16 orang, sampai di Surabaya 65 orang semuanya laki-laki dan dilakukan dalam jangka waktu berdekatan," ujar Retno, dalam Selamat Pagi Indonesia, Senin, 21 Maret 2018.
Selain didominasi oleh anak laki-laki, fakta lain yang juga terungkap adalah rata-rata kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan. Dari kasus tersebut mayoritas pelaku merupakan oknum guru.
Retno mengatakan kasus kekerasan terutama yang terjadi di lingkungan pendidikan tak boleh lagi terulang. Ia menilai perlu ada evaluasi terkait rekrutmen guru untuk mencegah anak-anak menjadi sasaran kekerasan.
"Guru seperti ini tentu sudah tidak laik dan tidak bisa lagi menjadi guru. Screening awal, tes psikologis secara mendalam harus dilakukan untuk mengetahui bagaimana kepribadian para pendidik," katanya.
Menurut Retno, seorang pendidik paling tidak harus menguasai empat kompetensi; pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Sayangnya, pemerintah selama ini hanya fokus pada kompetensi profesional dan pedagogik guru saja.
Padahal kasus kekerasan seksual yang menimpa anak didik tak lepas dari latar belakang kepribadian guru dan bagaimana pendidik melakukan interaksi sosial.
"Saya harap ke depan guru-guru bisa dites psikologisnya lebih mendalam atau yang mau jadi guru harus menjalani tes dulu, ini sebagai upaya pencegahan," katanya.
Dalam kasus semacam ini, kata Retno, KPAI tidak hanya mendatangi sekolah namun juga berkoordinasi dengan pemerintah setempat termasuk dinas terkait seperti Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (PPA) dan Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk pemulihan dan rehabilitasi.
Koordinasi ini menurut Retno sangat perlu untuk menekan potensi anak yang menjadi korban menjelma sebagai pelaku di kemudian hari.
Selain itu dinas pendidikan termasuk inspektorat juga perlu dilibatkan dalam proses penegakan hukum terhadap oknum guru yang melakukan kekerasan. Jika merujuk PP Nomor 53 Tahun 2010 oknum guru yang terbukti melakukan kekerasan selain dijatuhi hukuman pidana juga dipecat secara tidak hormat.
"Terakhir kami koordinasi dengan rumah sakit dan kepolisian. Kami ingin memastikan para pelaku bisa dikenakan Undang-undang Perlindungan Anak sehingga hukumannya jauh lebih berat dibandingkan KUHP," jelasnya.
Jakarta: Selama dua bulan terakhir di awal 2018 sedikitnya 55 laporan terkait kasus kekerasan anak dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengungkap berdasarkan data tersebut mayoritas korban kekerasan baik fisik maupun seksual didominasi oleh anak laki-laki.
"Kita agak terkejut karena trennya kebanyakan korban laki-laki. Kasus di Tangerang 41 orang, di Jakarta 16 orang, sampai di Surabaya 65 orang semuanya laki-laki dan dilakukan dalam jangka waktu berdekatan," ujar Retno, dalam
Selamat Pagi Indonesia, Senin, 21 Maret 2018.
Selain didominasi oleh anak laki-laki, fakta lain yang juga terungkap adalah rata-rata kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan. Dari kasus tersebut mayoritas pelaku merupakan oknum guru.
Retno mengatakan kasus kekerasan terutama yang terjadi di lingkungan pendidikan tak boleh lagi terulang. Ia menilai perlu ada evaluasi terkait rekrutmen guru untuk mencegah anak-anak menjadi sasaran kekerasan.
"Guru seperti ini tentu sudah tidak laik dan tidak bisa lagi menjadi guru. Screening awal, tes psikologis secara mendalam harus dilakukan untuk mengetahui bagaimana kepribadian para pendidik," katanya.
Menurut Retno, seorang pendidik paling tidak harus menguasai empat kompetensi; pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Sayangnya, pemerintah selama ini hanya fokus pada kompetensi profesional dan pedagogik guru saja.
Padahal kasus kekerasan seksual yang menimpa anak didik tak lepas dari latar belakang kepribadian guru dan bagaimana pendidik melakukan interaksi sosial.
"Saya harap ke depan guru-guru bisa dites psikologisnya lebih mendalam atau yang mau jadi guru harus menjalani tes dulu, ini sebagai upaya pencegahan," katanya.
Dalam kasus semacam ini, kata Retno, KPAI tidak hanya mendatangi sekolah namun juga berkoordinasi dengan pemerintah setempat termasuk dinas terkait seperti Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (PPA) dan Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk pemulihan dan rehabilitasi.
Koordinasi ini menurut Retno sangat perlu untuk menekan potensi anak yang menjadi korban menjelma sebagai pelaku di kemudian hari.
Selain itu dinas pendidikan termasuk inspektorat juga perlu dilibatkan dalam proses penegakan hukum terhadap oknum guru yang melakukan kekerasan. Jika merujuk PP Nomor 53 Tahun 2010 oknum guru yang terbukti melakukan kekerasan selain dijatuhi hukuman pidana juga dipecat secara tidak hormat.
"Terakhir kami koordinasi dengan rumah sakit dan kepolisian. Kami ingin memastikan para pelaku bisa dikenakan Undang-undang Perlindungan Anak sehingga hukumannya jauh lebih berat dibandingkan KUHP," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)