Jakarta: Rumitnya regulasi disebut menjadi pemicu banyaknya pekerja migran ilegal dari Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) meminta pemerintah segera membenahi persoalan regulasi ini.
"Rumitnya regulasi dikhawatirkan bisa mendorong para calon pekerja migran untuk menempuh cara ilegal untuk bekerja di luar negeri,” kata Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi, melalui siaran pers di Jakarta, kemarin.
Jumlah pekerja migran asal Indonesia terbesar kedua di ASEAN setelah Myanmar. Indonesia menyumbang 18 persen atau setara 1,2 juta tenaga kerja dari 6,5 juta imigran yang tersebar di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Jika regulasi sulit, Hizkia khawatir pekerja migran ilegal membeludak.
Selain itu, menurut Hizkia, melihat besarnya nilai remitansi yang dihasilkan para pekerja migran, pemerintah sebaiknya terus membuka kesempatan pekerja migran yang ingin mencoba peruntungan di negara lain. Proses terkait persyaratan untuk pekerja migran juga harus sederhana, cepat, dan mudah dipahami.
Baca: Indonesia-Hongkong Kerja Sama Perkuatan Perlindungan Buruh Migran
Peran para pahlawan devisa ini tak bisa dipandang sebelah mata. Tranfer uang yang dilakukan pekerja migran mencapai Rp37 triliun saban tahun. Remitansi ini berdampak signifikan dalam mengurangi kemiskinan dan mendukung adanya investasi di bidang pendidikan, infrastruktur, hingga kewirausahaan di daerah terpencil.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Wilayah Asia Timur dan Pasifik, Sudhi Shetty, mengatakan Indonesia masih terbelit sistem birokrasi yang rumit. Untuk mengurangi rumitnya regulasi, menurut Setty, Indonesia dapat meningkatkan koordinasi antarinstansi terkait dan merampingkan prosedur.
Baca: Serikat Buruh Malaysia Janji Berikan Perhatian untuk Buruh Indonesia
Menurutnya, diperlukan lebih banyak pengawasan terhadap agen perekrutan untuk mengurangi pekerja migran ilegal. Sistem pendukung yang sangat maju di Filipina bisa dijadikan contoh.
Setty mengatakan penyederhanaan proses formal dapat mengurangi biaya migrasi keluar, terutama di negara-negara dengan penghasilan lebih rendah seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/zNAG6Dzk" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Rumitnya regulasi disebut menjadi pemicu banyaknya pekerja migran ilegal dari Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) meminta pemerintah segera membenahi persoalan regulasi ini.
"Rumitnya regulasi dikhawatirkan bisa mendorong para calon pekerja migran untuk menempuh cara ilegal untuk bekerja di luar negeri,” kata Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi, melalui siaran pers di Jakarta, kemarin.
Jumlah pekerja migran asal Indonesia terbesar kedua di ASEAN setelah Myanmar. Indonesia menyumbang 18 persen atau setara 1,2 juta tenaga kerja dari 6,5 juta imigran yang tersebar di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Jika regulasi sulit, Hizkia khawatir pekerja migran ilegal membeludak.
Selain itu, menurut Hizkia, melihat besarnya nilai remitansi yang dihasilkan para pekerja migran, pemerintah sebaiknya terus membuka kesempatan pekerja migran yang ingin mencoba peruntungan di negara lain. Proses terkait persyaratan untuk pekerja migran juga harus sederhana, cepat, dan mudah dipahami.
Baca: Indonesia-Hongkong Kerja Sama Perkuatan Perlindungan Buruh Migran
Peran para pahlawan devisa ini tak bisa dipandang sebelah mata. Tranfer uang yang dilakukan pekerja migran mencapai Rp37 triliun saban tahun. Remitansi ini berdampak signifikan dalam mengurangi kemiskinan dan mendukung adanya investasi di bidang pendidikan, infrastruktur, hingga kewirausahaan di daerah terpencil.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Wilayah Asia Timur dan Pasifik, Sudhi Shetty, mengatakan Indonesia masih terbelit sistem birokrasi yang rumit. Untuk mengurangi rumitnya regulasi, menurut Setty, Indonesia dapat meningkatkan koordinasi antarinstansi terkait dan merampingkan prosedur.
Baca: Serikat Buruh Malaysia Janji Berikan Perhatian untuk Buruh Indonesia
Menurutnya, diperlukan lebih banyak pengawasan terhadap agen perekrutan untuk mengurangi pekerja migran ilegal. Sistem pendukung yang sangat maju di Filipina bisa dijadikan contoh.
Setty mengatakan penyederhanaan proses formal dapat mengurangi biaya migrasi keluar, terutama di negara-negara dengan penghasilan lebih rendah seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)