Jakarta: Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Chaerul Nidom Anwar memiliki pandangan berbeda terhadap vaksin Nusantara. Vaksin yang menggunakan teknologi dendrintik sel itu dinilai mampu melawan covid-19.
"Saya lihat dentrintik sel ini inilah jawaban mengatasi corona," kata Nidom di rapat kerja (Raker) Komisi IX DPR di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 10 Maret 2021.
Dia menyebut metode vaksin dendrintik sel memiliki keunggulan. Salah satunya, mengkombinasikan sel dendritik seseorang dengan antigen yang kemudian disuntikkan ke tubuh.
Metode dentrintik sel dinilai mampu mengatasi mutasi covid-19. Termasuk, varian baru yang telah masuk di Indonesia, yaitu B117.
"Vaksin Nusantara itu bisa segera melakukan (perlawanan mutasi covid-19)," ungkap dia.
Dia memaparkan vaksin berbasis virus tidak mampu mengatasi mutasi covid-19. Sebab, pembentuk antibodi hanya berdasarkan jenis virus yang berkembang pada saat itu.
(Baca: Badan POM: Penelitian Vaksin Nusantara Tak Ikuti Kaidah Klinis)
"Beda dengan industri vaksin untuk mengatasi mutasi itu. Dia harus melakukan penelitian di hulu, di tengah. Keburu mutasi lagi," tutur dia.
Nidom menyampaikan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization sudah memberikan restu pengembangan vaksin berbasis dendrintik sel. Baru dua negara melakukan penelitian ini, yakni Tiongkok dan Indonesia.
"China (Tiongkok) sudah uji klinis I dan akan masuk uji klinis II," ujar dia.
Dia menyebut Indonesia perlu penyesuaian protokol atau metodelogi pengujian bila ingin mengembangkan metode itu. Sebab, tidak bisa disamakan dengan vaksin berbasis virus.
Nidom menyebut metode dendrintik sel tidak lazim digunakan untuk mengatasi penyakit bersifat infeksi, seperti covid-19. Metode ini biasa digunakan untuk mengobati kanker.
"Ini perbedaan dari metodologi, tidak ketemu filosofinya antara vaksin Nusantara dan (protokol pengujian) Merah Putih," kata dia.
Dia mengusulkan dibuat kesepakatan protokol penelitian antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan peneliti. Sehingga, ditemukan jalan tengah yang bisa menjadi patokan dalam pengujian.
"Oleh karena itu perlu ada pendekatan. Tidak boleh kukuh dari sisinya sendiri-sendiri," ujar dia.
Jakarta: Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Chaerul Nidom Anwar memiliki pandangan berbeda terhadap
vaksin Nusantara. Vaksin yang menggunakan teknologi dendrintik sel itu dinilai mampu melawan covid-19.
"Saya lihat dentrintik sel ini inilah jawaban mengatasi corona," kata Nidom di rapat kerja (Raker) Komisi IX DPR di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 10 Maret 2021.
Dia menyebut metode vaksin dendrintik sel memiliki keunggulan. Salah satunya, mengkombinasikan sel dendritik seseorang dengan antigen yang kemudian disuntikkan ke tubuh.
Metode dentrintik sel dinilai mampu mengatasi
mutasi covid-19. Termasuk, varian baru yang telah masuk di Indonesia, yaitu B117.
"Vaksin Nusantara itu bisa segera melakukan (perlawanan mutasi covid-19)," ungkap dia.
Dia memaparkan vaksin berbasis virus tidak mampu mengatasi mutasi covid-19. Sebab, pembentuk antibodi hanya berdasarkan jenis virus yang berkembang pada saat itu.
(Baca:
Badan POM: Penelitian Vaksin Nusantara Tak Ikuti Kaidah Klinis)
"Beda dengan industri vaksin untuk mengatasi mutasi itu. Dia harus melakukan penelitian di hulu, di tengah. Keburu mutasi lagi," tutur dia.
Nidom menyampaikan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization sudah memberikan restu pengembangan vaksin berbasis dendrintik sel. Baru dua negara melakukan penelitian ini, yakni Tiongkok dan Indonesia.
"China (Tiongkok) sudah uji klinis I dan akan masuk uji klinis II," ujar dia.
Dia menyebut Indonesia perlu penyesuaian protokol atau metodelogi pengujian bila ingin mengembangkan metode itu. Sebab, tidak bisa disamakan dengan vaksin berbasis virus.
Nidom menyebut metode dendrintik sel tidak lazim digunakan untuk mengatasi penyakit bersifat infeksi, seperti covid-19. Metode ini biasa digunakan untuk mengobati kanker.
"Ini perbedaan dari metodologi, tidak ketemu filosofinya antara vaksin Nusantara dan (protokol pengujian)
Merah Putih," kata dia.
Dia mengusulkan dibuat kesepakatan protokol penelitian antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan peneliti. Sehingga, ditemukan jalan tengah yang bisa menjadi patokan dalam pengujian.
"Oleh karena itu perlu ada pendekatan. Tidak boleh kukuh dari sisinya sendiri-sendiri," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)