Presiden Joko Widodo menyambut Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud (kiri) saat tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (1/3)/ANTARA FOTO/Setpres/Agus Suparto
Presiden Joko Widodo menyambut Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud (kiri) saat tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (1/3)/ANTARA FOTO/Setpres/Agus Suparto

FOKUS

Bersalaman dengan Raja Salman

Sobih AW Adnan • 01 Maret 2017 18:05
medcom.id, Jakarta: Sedekat paman dan kemenakan, begitulah hubungan Indonesia-Arab sejak lama diibaratkan. Merujuk tradisi abad 9 misalnya, para saudagar Arab amat karib menyebut orang-orang Nusantara dengan sapaan akhwal; bermakna saudara tua dari pihak ayah.
 
Hubungan Indonesia-Arab memang bukan perkara baru. Permulaannya bisa diukur ketika mengamati perdebatan kapan kali pertama Islam masuk ke Indonesia. Ahli sejarah, C. Snouck Hurgronje pernah menyebut hubungan getol kedua negara itu mendapati puncaknya pada abad 17, melalui interaksi kuat antarutusan Kerajaan Mataram, Banten, dan Mekkah. 
 
Meski sebenarnya, keterangan itu dijadikan Hurgronje semacam bantahan atas desas-desus Islam Indonesia dihadirkan langsung dari orang-orang Jazirah. Bukan dari Gujarat di India, apalagi pedagang Tionghoa dari China.

Saudara, lama tak jumpa
 
Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim, makin menguatkan kedekatan masyarakatnya secara emosional. Ada pengaruh dari sejarah, ditambah kepentingan ibadah. Haji dan umrah, memiliki kesempatan mengunjungi negara itu dijadikan sebagai bagian dari cita-cita mulia.
 
Belum lagi cerita para pahlawan devisa. Saat ini, lebih dari satu juta tenaga kerja Indonesia (TKI) mengais rezeki di negeri nabi.
 
Sebegitu kental dan dekatnya hubungan Arab-Indonesia. Termasuk hari ini, kedatangan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz beserta rombongan dinilai penuh arti. "Ahlan wa sahlan, kemenakan."
 
Penuh arti, lantaran kabar kedatangan orang nomor 1 dari Kerajaan Arab Saudi sudah lama sepi. Terakhir, pada 1970 alias 47 tahun lalu.
 
Fokus barunya, peluang investasi. Bisik-bisik terdengar, setidaknya ada 10 poin kesepakatan yang akan dicapai Raja Salman dan Presiden Joko Widodo. 
 
Oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, poin-poin kesepakatan itu diasumsikan tak lepas dari soal kilang minyak, penerbangan, fuel (bahan bakar minyak), tol laut, dan pariwisata. Diperkirakan pula, nilainya hingga USD65 miliar. Jumlah yang menggiurkan di tengah agresifitas pembangunan di bawah kendali Joko Widodo.
 
Pertimbangan dagang dan geo-politik global
 
Pesona Indonesia, disebut pakar wacana Timur Tengah, Zuhairi Misrawi sebagai musabab tertariknya si saudara dekat itu ingin kembali menjenguk.
 
Paling tidak, kata dia, ada tiga hal yang bisa dianggap baru. Pertama, mengamati perkembangan masyarakat Indonesia yang kian demokratis pasca-reformasi, kedua, pemeluk Islam di Indonesia yang sebagian besar menganut pandangan keberagamaan moderat. 
 
"Keberagamaan moderat layak menjadi alternatif. Terutama untuk menjadi tempat menggapai solusi ketegangan-ketegangan yang sering terjadi di wilayah Teluk," begitu, ucap Zuhairi kepada Metro TV, Rabu, 1 Maret 2017.
 
Ketiga, sebagaimana yang telah disebut, yakni merespon keagresifan Presiden Joko Widodo dalam membenahi sekaligus menggenjot ranah pembangunan. Apalagi, soal infrastruktur.
 
Sementara yang terakhir, pria yang akrab disapa Gus Mis itu menyebut Arab Saudi tengah tertantang dalam kontestasi global. Ihwal Indonesia, bisa jadi, kata dia, lantaran Presiden Jokowi pernah dikabarkan menerima tawaran investasi dari Iran, yang tak lain rival dari Saudi.
 
"Jokowi ke Iran ditawari investasi USD20 miliar. Ini dalam hal geo politik Timur Tengah. Dua negara itu saling bersaing," ucap Gus Mis.
 
Yang seru, di ranah masyarakat umum, kedatangan Raja Salman juga kerap dihubungkan dengan kontestasi global. Bukan Iran, tapi Tiongkok.
 
Di media sosial, sempat beredar meme yang begitu kentara membedakan penyebutan peluang investasi Arab Saudi dan Tiongkok. Arab, fasih disebut bantuan. Sementara Tiongkok diartikan pinjaman. Mungkin, harapannya bisa menyumbang data atau bukti baru tentang isu miring kian dekatnya Pemerintah hari ini dengan negara berfaham komunis itu.
 
Sebenarnya, tak perlu ambil pusing. Berbeda dengan Raja Faisal yang menemui Presiden Soeharto guna meminta bantuan di konflik Krisis Timur Tengah lantaran agak berat melawan Israel. Hari ini, kedatangan Raja Salman murni soal dagang. Keduanya saling membutuhkan, keduanya bersalaman. 
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan