Cirebon: DPD RI saat ini menyusun RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat dan telah diserahkan pada DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-undang. Ini selaras dengan keinginan DPD dalam memperkuat dan memperkokoh ketahanan budaya menjadi ciri khas bangsa.
Hal tersebut dipaparkan oleh Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono pada acara Focus Group Discussion (FGD) bertema Membangun Budaya Nasional Berbasis Bahari, di Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, Sabtu, 22 Juli 2018.
Menurut Nono, ada tiga alasan DPD menginisiasi penyusunan RUU tersebut. Pertama, karena ada kekosongan payung hukum hak-hak masyarakat dan ulayat.
"Kedua, karena kepentingan ekonomi. Ketiga, memperkokoh budaya nasional. Kita sudah siap masukkan ke Baleg untuk masuk Prolegnas 2018-2019," ucap Senator Maluku tersebut.
Selain itu, lanjut Nono, DPD ingin menghidupkan kembali budaya bahari yang dimiliki bangsa. Sebab tak bisa dipungkiri perubahan kehidupan berbangsa usai reformasi telah mengubah tata nilai dan kultur.
"Ini terkait bagaimana memperkokoh budaya nasional yaitu budaya bahari. Zaman Bung Karno menyebutkan bahwa Indonesia adalah benua maritim laut yang ditaburi oleh pulau, paradigma ini harus kita dengungkan lagi karena sudah sangat bias," ucapnya.
Nono juga memaparkan bahwa dalam membangun sebuah negara perlu membangun melalui dua basis, yaitu karakter manusia dan kewilayahan.
"Membangun negara perlu membangun basis manusia yang berada pada kearifan lokal. Kemudian, basis kedua geografi atau wilayah, menyangkut juga geopolitik dan geostrategi," ujar Nono.
Kegiatan FGD ini mendapat apresiasi dari Sultan Sepuh XIV Cirebon Pangeran Radja Adipati Arif Natadiningrat. Dia menilai diskusi tersebut cocok dengan Cirebon yang berlokasi di daerah pesisir.
"Budaya bahari kita luar biasa pada masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit. Budaya bahari adalah budaya kerja keras, gotong royong, terbuka menerima segala masukan, dan toleran. Saya harapkan melalui FGD ini budaya bahari yang luntur ini mampu kembali diangkat sebagai kekuatan dan energi bangsa ini," ujar Sultan Sepuh.
Hal senada juga dikatakan oleh Sejarawan Anhar Gonggong. Dirinya menjelaskan bahwa sejarah di wilayah kerajaan seluruh dunia berada di pesisir.
"Bagaimana kita kembali menyatakan bahwa laut tidak memisahkan justru penyambung dan pemersatu dan masa depan kita ada di laut," tutur Anhar.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sejarah UGM Bambang Purwanto menekankan agar semua pihak tidak bias mengartikan budaya bahari, di mana hanya laut yang menjadi obyek utama.
"Kita jangan hanya memonopoli istilah bahari adalah budaya laut. Tapi lebih mengartikan bahari adalah air, karena wilayah kita juga ada pesisir, daratan dan air yang di daratan, semua itu budaya kita," pungkasnya.
FGD tersebut tak hanya dihadiri oleh ketiga tokoh di atas. Turut hadir para tokoh budaya, akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh Forum Silaturahmi Keraton Nusantara.
Cirebon: DPD RI saat ini menyusun RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat dan telah diserahkan pada DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-undang. Ini selaras dengan keinginan DPD dalam memperkuat dan memperkokoh ketahanan budaya menjadi ciri khas bangsa.
Hal tersebut dipaparkan oleh Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono pada acara Focus Group Discussion (FGD) bertema Membangun Budaya Nasional Berbasis Bahari, di Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, Sabtu, 22 Juli 2018.
Menurut Nono, ada tiga alasan DPD menginisiasi penyusunan RUU tersebut. Pertama, karena ada kekosongan payung hukum hak-hak masyarakat dan ulayat.
"Kedua, karena kepentingan ekonomi. Ketiga, memperkokoh budaya nasional. Kita sudah siap masukkan ke Baleg untuk masuk Prolegnas 2018-2019," ucap Senator Maluku tersebut.
Selain itu, lanjut Nono, DPD ingin menghidupkan kembali budaya bahari yang dimiliki bangsa. Sebab tak bisa dipungkiri perubahan kehidupan berbangsa usai reformasi telah mengubah tata nilai dan kultur.
"Ini terkait bagaimana memperkokoh budaya nasional yaitu budaya bahari. Zaman Bung Karno menyebutkan bahwa Indonesia adalah benua maritim laut yang ditaburi oleh pulau, paradigma ini harus kita dengungkan lagi karena sudah sangat bias," ucapnya.
Nono juga memaparkan bahwa dalam membangun sebuah negara perlu membangun melalui dua basis, yaitu karakter manusia dan kewilayahan.
"Membangun negara perlu membangun basis manusia yang berada pada kearifan lokal. Kemudian, basis kedua geografi atau wilayah, menyangkut juga geopolitik dan geostrategi," ujar Nono.
Kegiatan FGD ini mendapat apresiasi dari Sultan Sepuh XIV Cirebon Pangeran Radja Adipati Arif Natadiningrat. Dia menilai diskusi tersebut cocok dengan Cirebon yang berlokasi di daerah pesisir.
"Budaya bahari kita luar biasa pada masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit. Budaya bahari adalah budaya kerja keras, gotong royong, terbuka menerima segala masukan, dan toleran. Saya harapkan melalui FGD ini budaya bahari yang luntur ini mampu kembali diangkat sebagai kekuatan dan energi bangsa ini," ujar Sultan Sepuh.
Hal senada juga dikatakan oleh Sejarawan Anhar Gonggong. Dirinya menjelaskan bahwa sejarah di wilayah kerajaan seluruh dunia berada di pesisir.
"Bagaimana kita kembali menyatakan bahwa laut tidak memisahkan justru penyambung dan pemersatu dan masa depan kita ada di laut," tutur Anhar.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sejarah UGM Bambang Purwanto menekankan agar semua pihak tidak bias mengartikan budaya bahari, di mana hanya laut yang menjadi obyek utama.
"Kita jangan hanya memonopoli istilah bahari adalah budaya laut. Tapi lebih mengartikan bahari adalah air, karena wilayah kita juga ada pesisir, daratan dan air yang di daratan, semua itu budaya kita," pungkasnya.
FGD tersebut tak hanya dihadiri oleh ketiga tokoh di atas. Turut hadir para tokoh budaya, akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh Forum Silaturahmi Keraton Nusantara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)