Jakarta: Komitmen Media Group untuk membantu mencerdaskan anak Indonesia tak perlu diragukan. Melalui Yayasan Sukma Bangsa, Media Group sudah mendidik anak-anak Indonesia, terutama warga Aceh, sejak 12 tahun lalu.
Semua bermula dari tragedi tsunami yang menimpa Aceh pada 2004 lalu. Ratusan ribu orang menjadi korban. Banyak anak kehilangan orang tua. Tak jelas pula bagaimana masa depan mereka.
Chairman Media Group sekaligus pendiri Yayasan Sukma Bangsa, Surya Paloh, lalu mencetuskan ide memberi bantuan pendidikan terhadap mereka. Dua tahun setelah bencana dahsyat itu, Yayasan Sukma Bangsa berdiri. Yayasan ini kemudian memberikan beasiswa penuh bagi anak-anak korban tsunami.
Kini, sudah 12 tahun para siswa dididik di Yayasan Sukma Bangsa. Tak terasa, mereka sudah lulus sekolah menengah atas (SMA). Dalam waktu dekat, Surya Paloh hendak bertolak ke Aceh untuk mewisuda mereka.
Semangat apa yang ingin ditularkan Surya Paloh dari pendirian lembaga nirlaba ini? Berikut wawancara eksklusif tim liputan Metro TV, Media Indonesia, dan Medcom.id, dengan Surya Paloh.
Apa yang mendasari Media Group memilih berkontribusi di bidang pendidikan melalui Yayasan Sukma Bangsa?
Saya pikir semua sepakat pendidikan merupakan hal paling basic dan penting bagi perjalanan kehidupan umat manusia. Kita sebagai suatu bangsa tentu sepakat pendidikan menjadi skala prioritas dari berbagai kebutuhan di dalam kehidupan ini.
Dasar pemikiran itu juga merefleksikan betapa pentingnya bangsa ini mendapatkan amanah dari konstitusi untuk memperhatikan sungguh-sungguh aspek pendidikan. Maka sektor pendidikan mendapat perhatian khusus dalam Undang-Undang Dasar. Sehingga APBN pun secara khusus diberikan patokan tidak boleh kurang dari sejumlah persentase yang dikhususkan untuk sektor pendidikan.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/akWw14qk" allowfullscreen></iframe>
Yayasan Sukma Bangsa hadir diawali adanya program ‘Indonesia Menangis’. Saat itu digagas Metro TV dan Media Group pasca-tsunami di Aceh tahun 2004. Apa kemudian yang melatarbelakangi Media Group membentuk Yayasan Sukma Bangsa?
Ada ekses berkelanjutan yang tentu harus diperoleh oleh mereka yang menjadi korban atau keluarga korban, terutama anak-anak. Sejumlah guru sudah menjadi korban di sana. Bagaimana masa depan mereka? Ini sebenarnya yang mengusik perhatian saya sebagai pimpinan Media Group kala itu.
Saya berpikir bagus sekali kalau ada niat membangun yayasan yang dikhususkan dan didedikasikan untuk membantu aspek pendidikan bagi anak-anak korban tsunami. Nah, itu berjalan sampai sekarang. Sesederhana itu sebenarnya.
Tak lama setelah tragedi tsunami, mereka mendapatkan fasilitas pendidikan, seperti bebas dari segala biaya. Mereka diasramakan, mendapatkan pengajaran dari guru pengajar, bahkan sebagian besar guru datang dari pulau Jawa untuk mendidik anak-anak.
Anak-anak yang dulunya masih belum masuk SD sejak peristiwa tsunami, kini sudah lulus SMA. Nanti saya ke sana, beberapa hari lagi, untuk mewisuda mereka.
Apa harapan Anda kepada anak-anak ini?
Saya berharap mereka menjadi anak-anak yang lebih cerdas, tangguh, kuat, dan memiliki rasa percaya diri. Agar bisa melanjutkan karier dan masa depan mereka untuk menjadi sosok anak bangsa yang bisa memberikan manfaat juga bagi kepentingan masyarakat dan bangsa ini.
Mengapa Aceh menjadi perhatian serius Anda dan Media Group?
Kebetulan saja saya lahir di Aceh, tetapi saya pikir karena memang peristiwa tsunami itu adalah peristiwa yang paling mencekam dan menyedihkan. Salah satu peristiwa terbesar di belahan bumi ini. Ratusan ribu korban. Saya pikir itu luar biasa sekali. Kalau bisa kita sedikit flashback, Media Group mengambil inisiatif sebagai penggerak civil society yang mendampingi pemerintah untuk mengambil seluruh kebijakan agar bisa bergerak cepat, tanggap, membantu korban tsunami. Maka, saya bisa merasakan bagaimana hebatnya peristiwa itu sendiri.
Investasi pendidikan kan tidak murah. Lalu semangat Yayasan Sukma Bangsa ini bukan menghadirkan sekolah yang biasa, tapi menghadirkan sekolah yang ideal untuk anak-anak korban tsunami Aceh. Dari mana biayanya?
Saya anggap saja itu zakat. Sumbangannya memang hanya dari Media Group. Karena sekolah ini nirlaba. Ada kemauan, ada keinginan, ada tekad, ada keikhlasan hati, ya ini merupakan bagian dari ibadah saja.
Kalau kita pikir apakah ini rugi, menghabiskan biaya, pasti tidak ketemu. Kan kita bicara nilai kemanusiaan. Kita bicara empati, values-nya tidak bisa dinilai sekadar angka-angka.
Apakah ini terbuka bagi masyarakat yang ingin membantu atau berkontribusi di Yayasan Sukma Bangsa?
Tentunya, itu kita harapkan. Sejujurnya memang aktivitas sosial seperti ini. Kalau memang itu sungguh-sungguh kita niatkan dengan hati, sekali lagi dengan keikhlasan, apa pun terasa ringan.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/xkErmM3K" allowfullscreen></iframe>
Bisa digambarkan bagaimana anak-anak di Aceh menerima pendidikan dari Yayasan Sukma Bangsa untuk menghadirkan pendidikan yang ideal...
Banyak cerita lucu. Sekolah itu tidak diterima begitu gampang. Pernah juga didemonstrasi oleh para pemuka-pemuka agama. Kumpul ramai-ramai menolak kehadiran sekolah. Karena ada satu mata pelajaran yang dianggap tidak cocok untuk masyarakat Aceh.
Apa Pak?
Mata pelajaran kesehatan, biologi. Ada gambar-gambar yang enggak pakai pakaian tuh, dianggap kurang pas untuk adat istiadat daerah itu.
Lalu ada demonstrasi. Jadi, kita jelaskan ini mata pelajaran sekolah yang memang diperlukan. Sekolah itu ada (pendidikan) bahasa Inggris, bahasa Arab, ada Biologi.
Ketika ada kesungguhan di sana, sekarang masyarakat menganggap (sekolah) itu adalah bagian dari mereka. Saya pikir satu kepuasan tersendiri. Rakyat Aceh sekarang melihat sekolah Yayasan Sukma Bangsa ini adalah bagian dari mereka. Apalagi dengan prestasti sekolah ini yang dianggap cukup mumpuni.
Apa saja prestasinya?
Kalau ada ujian nasional, dulu siswa sekolah ini paling banyak enggak lulus. Dicek kenapa, kok sekolah lain gampang. Ternyata dia terlalu disiplin, tidak boleh main-main. Itu tahun pertama. Tahun kedua dan ketiga itu membuahkan hasil. Juga prestasi.
Misalnya dalam sektor seni budaya. Mereka mendapatkan kesempatan sampai ke luar negeri untuk ikut kompetisi tari di Beijing dan Shanghai beberapa kali. Itu membesarkan hati. Yayasan Sukma Bangsa ini bangga, apalagi dengan prestasi sekolah ini dianggap mumpuni.
Membantu Anak-anak korban konflik
Awalnya Yayasan Sukma Bangsa diperuntukkan anak-anak korban tsunami Aceh, tapi kemudian meluas untuk anak-anak korban konflik Mindanao, Filipina. Apa pertimbangannya?
Itu cerita episode tersendiri. Ada sejumlah warga negara Indonesia menjadi tawanan di Mindanao. Ini jadi pikiran bagi kita. Ini memang sebenarnya urusan pemerintah. Pemerintah berkewajiban melindungi warga bangsa ini. Tapi, saya berpikir dari waktu ke waktu belum ada nampak usaha-usaha yang cukup membesarkan hati. Sayang juga tawanan warga kita yang tersandera di Filipina belum juga bisa dibebaskan.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/gNQYPvWN" allowfullscreen></iframe>
Apa yang dilakukan?
Kita ambil inisiatif. Seingat saya, kita tentu bisa mengakses jalur komunikasi yang kita miliki dengan sejumlah teman yang ada di sana. Kita juga memetakan situasi dan keadaan untuk melaksanakan operasi tersendiri. Sebagai pimpinan Media Group, saya memerintahkan beberapa orang untuk membebaskan tawanan itu. Tetapi, saya minta tidak perlu ada yang tahu, bekerjalah secara diam. Cukup satu dua orang yang tahu. Ini bukan konsumsi pers, nanti bisa menimbulkan sesuatu yang menjadi salah pemahaman.
Maka hubungan kita buka. Upaya negosiasi dilakukan. Kita mengirimkan tim secara diam-diam. Cukup lama waktunya sampai akhirnya kita berhasil membebaskan sandera. Tapi, salah satu hal yang dimintakan oleh mereka adalah memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka. Kita sanggupi itu. Sampai sekarang ada 30 anak Mindanao yang bersekolah di Yayasan Sukma Bangsa.
Artinya pendidikan ini bisa jadi salah satu jalur komunikasi yang baik?
Harpan kita demikian. Apa pun yang penting adalah niat baik. Kalau sudah niat baik itu tidak berbalas juga, seperti yang kita harapkan, ikhlaskan saja. Kalau ada orang yang berpikir kita macam-macam, itu hak mereka.
Apa yang sebenarnya kita cari? Sensasi? Kan bukan. Untuk apa sensasi. Apa yang kita cari, perhatian dari siapa? Untuk orang seperti saya perhatian seperti apa yang dicari? Ini berbicara hati, empati, misi kemanusiaan. Ketika kita berdialog, bertanya pada diri kita sendiri, apa kita ada kesanggupan? Kalau jawabannya memang ada, kenapa tidak kita lakukan.
Anda sepakat dengan istilah, tangan kiri memberi, tangan kanan tidak boleh memberitahu?
Dalam hal ini saya pikir itu yang sebaiknya. Anak-anak ini sedang bersekolah di sana (Yayasan Sukma Bangsa). Saya pun enggak tahu apakah orang tuanya berkomunikasi sama mereka atau tidak. Tapi yang saya bisa pastikan adalah anak-anak dalam kondisi baik.
Saya dengar, ada duta besar kita di sana mulai berkunjung, melihat, mengapresiasi. Itu pun sudah baik. Mudah-mudahan ini sebagai sumbangsih kita. Sekecil apapun itu, jadi bagian kebanggaan kita hadir di negeri ini.
Ada 30 guru yang disekolahkan Yayasan Sukma Bangsa di Universitas di Finlandia untuk mendapat gelar master pendidikan. Apa tujuannya?
Itu adalah kesempatan baik. Mereka dapat gelar master dari suatu perguruan tinggi terkenal di luar negeri. Karena hubungan baik kita, kita fasilitasi para guru. Ini sumbangan kita. Mungkin ini satu kenangan yang baik juga. Di samping mereka mendapat gelar, tapi juga memberikan kebanggan bagi Yayasan Sukma Bangsa ini karena mampu memberikan kesempatan pengajar sekolah Yayasan Sukma Bangsa ini untuk bisa mendapatkan fasilitas belajar di luar negeri.
Baca: 30 Guru Yayasan Sukma Bangsa Tamatkan Pendidikan di Finlandia
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/8KyGBe2b" allowfullscreen></iframe>
Betul para guru ini sudah di wisuda April 2017?
Iya, mereka berbesar hati untuk itu. Dan saya ikut berbesar hati juga.
Bagaimana mereka berkontribusi setelah mendapat gelar master itu?
Mereka saya lihat lebih semangat, itu sudah cukup berarti.
Tapi itu biayanya tidak murah, konon lebih dari satu juta Euro?
Relatif. Biaya itu bisa mahal satu sen, tapi bisa murah juga Rp1 miliar, tergantung.
Sampai kapan Yayasan Sukma Bangsa dan Media Group berkomitmen tetap berkontribusi di bidang pendidikan?
Sampai tingkat kemampuan kita masih ada. Kecuali itu sudah tidak ada lagi kita miliki. Sepanjang kemampuan masih kita miliki, kita harus meneruskan ini. Kita harus dedikasikan ini. Tidak ada yang salah dengan ini, apalagi kita berikan dengan kesadaran tinggi dan penuh didasarkan keikhlasan hati. Jalan terus.
Apa ucapan khusus yang akan Anda berikan kepada anak-anak yang diwisuda setelah 12 tahun menempuh pendidikan di Yayasan Sukma Bangsa?
Saya harus bilang apa, kalian anak-anak saya semuanya. Sebagai orang tua saya merasa bangga kalian belajar di sekolah Yayasan Sukma Bangsa ini. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa 12 tahun kalian sudah berada di tempat ini. Saya yakin dan percaya kalian mempunyai cita-cita yang lebih tinggi bisa masuk ke universitas mana pun.
Paling tidak, kalian harus bersyukur telah mencapai tahap ini. Belum tentu saudara-saudara kalian di wilayah lain bisa memperoleh spirit dan semangat keberuntungan seperti yang kalian miliki.
Selamat kepada kalian anak-anakku, percayalah di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Tetap bersemangat, belajar terus tidak pernah henti, jadilah anak-anak Indonesia yang bangga terhadap Tanah Air-mu Indonesia.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/eN4JOe3k" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Komitmen Media Group untuk membantu mencerdaskan anak Indonesia tak perlu diragukan. Melalui Yayasan Sukma Bangsa, Media Group sudah mendidik anak-anak Indonesia, terutama warga Aceh, sejak 12 tahun lalu.
Semua bermula dari tragedi tsunami yang menimpa Aceh pada 2004 lalu. Ratusan ribu orang menjadi korban. Banyak anak kehilangan orang tua. Tak jelas pula bagaimana masa depan mereka.
Chairman Media Group sekaligus pendiri Yayasan Sukma Bangsa, Surya Paloh, lalu mencetuskan ide memberi bantuan pendidikan terhadap mereka. Dua tahun setelah bencana dahsyat itu, Yayasan Sukma Bangsa berdiri. Yayasan ini kemudian memberikan beasiswa penuh bagi anak-anak korban tsunami.
Kini, sudah 12 tahun para siswa dididik di Yayasan Sukma Bangsa. Tak terasa, mereka sudah lulus sekolah menengah atas (SMA). Dalam waktu dekat, Surya Paloh hendak bertolak ke Aceh untuk mewisuda mereka.
Semangat apa yang ingin ditularkan Surya Paloh dari pendirian lembaga nirlaba ini? Berikut wawancara eksklusif tim liputan
Metro TV,
Media Indonesia, dan
Medcom.id, dengan Surya Paloh.
Apa yang mendasari Media Group memilih berkontribusi di bidang pendidikan melalui Yayasan Sukma Bangsa?
Saya pikir semua sepakat pendidikan merupakan hal paling
basic dan penting bagi perjalanan kehidupan umat manusia. Kita sebagai suatu bangsa tentu sepakat pendidikan menjadi skala prioritas dari berbagai kebutuhan di dalam kehidupan ini.
Dasar pemikiran itu juga merefleksikan betapa pentingnya bangsa ini mendapatkan amanah dari konstitusi untuk memperhatikan sungguh-sungguh aspek pendidikan. Maka sektor pendidikan mendapat perhatian khusus dalam Undang-Undang Dasar. Sehingga APBN pun secara khusus diberikan patokan tidak boleh kurang dari sejumlah persentase yang dikhususkan untuk sektor pendidikan.
Yayasan Sukma Bangsa hadir diawali adanya program ‘Indonesia Menangis’. Saat itu digagas Metro TV dan Media Group pasca-tsunami di Aceh tahun 2004. Apa kemudian yang melatarbelakangi Media Group membentuk Yayasan Sukma Bangsa?
Ada ekses berkelanjutan yang tentu harus diperoleh oleh mereka yang menjadi korban atau keluarga korban, terutama anak-anak. Sejumlah guru sudah menjadi korban di sana. Bagaimana masa depan mereka? Ini sebenarnya yang mengusik perhatian saya sebagai pimpinan Media Group kala itu.
Saya berpikir bagus sekali kalau ada niat membangun yayasan yang dikhususkan dan didedikasikan untuk membantu aspek pendidikan bagi anak-anak korban tsunami. Nah, itu berjalan sampai sekarang. Sesederhana itu sebenarnya.
Tak lama setelah tragedi tsunami, mereka mendapatkan fasilitas pendidikan, seperti bebas dari segala biaya. Mereka diasramakan, mendapatkan pengajaran dari guru pengajar, bahkan sebagian besar guru datang dari pulau Jawa untuk mendidik anak-anak.
Anak-anak yang dulunya masih belum masuk SD sejak peristiwa tsunami, kini sudah lulus SMA. Nanti saya ke sana, beberapa hari lagi, untuk mewisuda mereka.
Apa harapan Anda kepada anak-anak ini?
Saya berharap mereka menjadi anak-anak yang lebih cerdas, tangguh, kuat, dan memiliki rasa percaya diri. Agar bisa melanjutkan karier dan masa depan mereka untuk menjadi sosok anak bangsa yang bisa memberikan manfaat juga bagi kepentingan masyarakat dan bangsa ini.
Mengapa Aceh menjadi perhatian serius Anda dan Media Group?
Kebetulan saja saya lahir di Aceh, tetapi saya pikir karena memang peristiwa tsunami itu adalah peristiwa yang paling mencekam dan menyedihkan. Salah satu peristiwa terbesar di belahan bumi ini. Ratusan ribu korban. Saya pikir itu luar biasa sekali. Kalau bisa kita sedikit
flashback, Media Group mengambil inisiatif sebagai penggerak
civil society yang mendampingi pemerintah untuk mengambil seluruh kebijakan agar bisa bergerak cepat, tanggap, membantu korban tsunami. Maka, saya bisa merasakan bagaimana hebatnya peristiwa itu sendiri.
Investasi pendidikan kan tidak murah. Lalu semangat Yayasan Sukma Bangsa ini bukan menghadirkan sekolah yang biasa, tapi menghadirkan sekolah yang ideal untuk anak-anak korban tsunami Aceh. Dari mana biayanya?
Saya anggap saja itu zakat. Sumbangannya memang hanya dari Media Group. Karena sekolah ini nirlaba. Ada kemauan, ada keinginan, ada tekad, ada keikhlasan hati, ya ini merupakan bagian dari ibadah saja.
Kalau kita pikir apakah ini rugi, menghabiskan biaya, pasti tidak ketemu. Kan kita bicara nilai kemanusiaan. Kita bicara empati,
values-nya tidak bisa dinilai sekadar angka-angka.
Apakah ini terbuka bagi masyarakat yang ingin membantu atau berkontribusi di Yayasan Sukma Bangsa?
Tentunya, itu kita harapkan. Sejujurnya memang aktivitas sosial seperti ini. Kalau memang itu sungguh-sungguh kita niatkan dengan hati, sekali lagi dengan keikhlasan, apa pun terasa ringan.
Bisa digambarkan bagaimana anak-anak di Aceh menerima pendidikan dari Yayasan Sukma Bangsa untuk menghadirkan pendidikan yang ideal...
Banyak cerita lucu. Sekolah itu tidak diterima begitu gampang. Pernah juga didemonstrasi oleh para pemuka-pemuka agama. Kumpul ramai-ramai menolak kehadiran sekolah. Karena ada satu mata pelajaran yang dianggap tidak cocok untuk masyarakat Aceh.
Apa Pak?
Mata pelajaran kesehatan, biologi. Ada gambar-gambar yang enggak pakai pakaian tuh, dianggap kurang pas untuk adat istiadat daerah itu.
Lalu ada demonstrasi. Jadi, kita jelaskan ini mata pelajaran sekolah yang memang diperlukan. Sekolah itu ada (pendidikan) bahasa Inggris, bahasa Arab, ada Biologi.
Ketika ada kesungguhan di sana, sekarang masyarakat menganggap (sekolah) itu adalah bagian dari mereka. Saya pikir satu kepuasan tersendiri. Rakyat Aceh sekarang melihat sekolah Yayasan Sukma Bangsa ini adalah bagian dari mereka. Apalagi dengan prestasti sekolah ini yang dianggap cukup mumpuni.
Apa saja prestasinya?
Kalau ada ujian nasional, dulu siswa sekolah ini paling banyak enggak lulus. Dicek kenapa, kok sekolah lain gampang. Ternyata dia terlalu disiplin, tidak boleh main-main. Itu tahun pertama. Tahun kedua dan ketiga itu membuahkan hasil. Juga prestasi.
Misalnya dalam sektor seni budaya. Mereka mendapatkan kesempatan sampai ke luar negeri untuk ikut kompetisi tari di Beijing dan Shanghai beberapa kali. Itu membesarkan hati. Yayasan Sukma Bangsa ini bangga, apalagi dengan prestasi sekolah ini dianggap mumpuni.
Membantu Anak-anak korban konflik
Awalnya Yayasan Sukma Bangsa diperuntukkan anak-anak korban tsunami Aceh, tapi kemudian meluas untuk anak-anak korban konflik Mindanao, Filipina. Apa pertimbangannya?
Itu cerita episode tersendiri. Ada sejumlah warga negara Indonesia menjadi tawanan di Mindanao. Ini jadi pikiran bagi kita. Ini memang sebenarnya urusan pemerintah. Pemerintah berkewajiban melindungi warga bangsa ini. Tapi, saya berpikir dari waktu ke waktu belum ada nampak usaha-usaha yang cukup membesarkan hati. Sayang juga tawanan warga kita yang tersandera di Filipina belum juga bisa dibebaskan.
Apa yang dilakukan?
Kita ambil inisiatif. Seingat saya, kita tentu bisa mengakses jalur komunikasi yang kita miliki dengan sejumlah teman yang ada di sana. Kita juga memetakan situasi dan keadaan untuk melaksanakan operasi tersendiri. Sebagai pimpinan Media Group, saya memerintahkan beberapa orang untuk membebaskan tawanan itu. Tetapi, saya minta tidak perlu ada yang tahu, bekerjalah secara diam. Cukup satu dua orang yang tahu. Ini bukan konsumsi pers, nanti bisa menimbulkan sesuatu yang menjadi salah pemahaman.
Maka hubungan kita buka. Upaya negosiasi dilakukan. Kita mengirimkan tim secara diam-diam. Cukup lama waktunya sampai akhirnya kita berhasil membebaskan sandera. Tapi, salah satu hal yang dimintakan oleh mereka adalah memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka. Kita sanggupi itu. Sampai sekarang ada 30 anak Mindanao yang bersekolah di Yayasan Sukma Bangsa.
Artinya pendidikan ini bisa jadi salah satu jalur komunikasi yang baik?
Harpan kita demikian. Apa pun yang penting adalah niat baik. Kalau sudah niat baik itu tidak berbalas juga, seperti yang kita harapkan, ikhlaskan saja. Kalau ada orang yang berpikir kita macam-macam, itu hak mereka.
Apa yang sebenarnya kita cari? Sensasi? Kan bukan. Untuk apa sensasi. Apa yang kita cari, perhatian dari siapa? Untuk orang seperti saya perhatian seperti apa yang dicari? Ini berbicara hati, empati, misi kemanusiaan. Ketika kita berdialog, bertanya pada diri kita sendiri, apa kita ada kesanggupan? Kalau jawabannya memang ada, kenapa tidak kita lakukan.
Anda sepakat dengan istilah, tangan kiri memberi, tangan kanan tidak boleh memberitahu?
Dalam hal ini saya pikir itu yang sebaiknya. Anak-anak ini sedang bersekolah di sana (Yayasan Sukma Bangsa). Saya pun enggak tahu apakah orang tuanya berkomunikasi sama mereka atau tidak. Tapi yang saya bisa pastikan adalah anak-anak dalam kondisi baik.
Saya dengar, ada duta besar kita di sana mulai berkunjung, melihat, mengapresiasi. Itu pun sudah baik. Mudah-mudahan ini sebagai sumbangsih kita. Sekecil apapun itu, jadi bagian kebanggaan kita hadir di negeri ini.
Ada 30 guru yang disekolahkan Yayasan Sukma Bangsa di Universitas di Finlandia untuk mendapat gelar master pendidikan. Apa tujuannya?
Itu adalah kesempatan baik. Mereka dapat gelar master dari suatu perguruan tinggi terkenal di luar negeri. Karena hubungan baik kita, kita fasilitasi para guru. Ini sumbangan kita. Mungkin ini satu kenangan yang baik juga. Di samping mereka mendapat gelar, tapi juga memberikan kebanggan bagi Yayasan Sukma Bangsa ini karena mampu memberikan kesempatan pengajar sekolah Yayasan Sukma Bangsa ini untuk bisa mendapatkan fasilitas belajar di luar negeri.
Baca: 30 Guru Yayasan Sukma Bangsa Tamatkan Pendidikan di Finlandia
Betul para guru ini sudah di wisuda April 2017?
Iya, mereka berbesar hati untuk itu. Dan saya ikut berbesar hati juga.
Bagaimana mereka berkontribusi setelah mendapat gelar master itu?
Mereka saya lihat lebih semangat, itu sudah cukup berarti.
Tapi itu biayanya tidak murah, konon lebih dari satu juta Euro?
Relatif. Biaya itu bisa mahal satu sen, tapi bisa murah juga Rp1 miliar, tergantung.
Sampai kapan Yayasan Sukma Bangsa dan Media Group berkomitmen tetap berkontribusi di bidang pendidikan?
Sampai tingkat kemampuan kita masih ada. Kecuali itu sudah tidak ada lagi kita miliki. Sepanjang kemampuan masih kita miliki, kita harus meneruskan ini. Kita harus dedikasikan ini. Tidak ada yang salah dengan ini, apalagi kita berikan dengan kesadaran tinggi dan penuh didasarkan keikhlasan hati. Jalan terus.
Apa ucapan khusus yang akan Anda berikan kepada anak-anak yang diwisuda setelah 12 tahun menempuh pendidikan di Yayasan Sukma Bangsa?
Saya harus bilang apa, kalian anak-anak saya semuanya. Sebagai orang tua saya merasa bangga kalian belajar di sekolah Yayasan Sukma Bangsa ini. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa 12 tahun kalian sudah berada di tempat ini. Saya yakin dan percaya kalian mempunyai cita-cita yang lebih tinggi bisa masuk ke universitas mana pun.
Paling tidak, kalian harus bersyukur telah mencapai tahap ini. Belum tentu saudara-saudara kalian di wilayah lain bisa memperoleh spirit dan semangat keberuntungan seperti yang kalian miliki.
Selamat kepada kalian anak-anakku, percayalah di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Tetap bersemangat, belajar terus tidak pernah henti, jadilah anak-anak Indonesia yang bangga terhadap Tanah Air-mu Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)