medcom.id, Jakarta: Mantan Komandan Pasukan Khusus Prabowo Subianto menyelesaikan kampanye akbar untuk pemilu legislatif pekan lalu. Namun, kemuculan calon presiden dari Partai Gerindra yang berkampanye dengan gaya militer ini mengundang keprihatinan aktivis hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, bahkan luar negeri.
Berdasarkan berita yang dilansir NYTimes, aktivis HAM di Indonesia menyebut Ketua Umum Partai Gerindra itu dituntut atas dugaan penculikan aktivis pro demokrasi di akhir 1990-an di mana Presiden Soeharto yang pada saat itu adalah mertuanya dituntut mundur oleh rakyat.
Meski berita negatif tentangnya menyebar luas, Prabowo melenggang maju. Ia percaya diri menggaungkan diri sebagai calon presiden periode 2014-2019.
Upaya Prabowo untuk menjadi presiden dengan berbagai kasus kemanusiaan di belakangnya mengusik pemerintahan Amerika Serikat di bawah pimpinan Barack Obama.
"Sensitivitas berasal dari hubungan yang sangat erat antara militer AS dan Indonesia selama kekejaman militer Indonesia dilakukan, " kata Profesor Ilmu Politik di Universitas Northwestern , Jeffrey Winters.
Indonesia, jelas pakar politik Indonesia itu, menjadi negara yang sangat strategis sehingga Indonesia menjadi penting bagi AS ketika terjadi kebekuan hubungan antarkedua negara.
Pada 2006, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis laporan yang menyebutkan sebelas orang termasuk Prabowo harus dituntut dalam kasus penculikan para aktivis. Kasus itu juga yang mengakhiri karir militer Prabowo. Lulusan program pelatihan militer AS pada 1980 lalu ini dibergentikan pada Agustus 1998.
"Hal utama tentang Prabowo adalah, dia tidak pernah diteliti apalagi dituntut untuk daftar panjang hal-hal yang dikaitkan dengan dia, " kata mantan Direktur Program Human Rights First, sebuah organisasi yang berbasis di Amerika Serikat, Matthew Easton. Menurut Easton, tanggung jawab komando Prabowo lah yang sesungguhnya perlu diselidiki.
Tapi Prabowo punya pandangan lain. Menurutnya, ia hanya dijadikan kambing hitam atas pelanggaran yang dilakukan oleh militer selama 32 tahun Soeharto berkuasa.
"Saya tidak pernah didakwa untuk apa pun, itu adalah sindiran-sindiran, selalu tuduhan," katanya, dalam sebuah wawancara.
"Kritik selalu mengatakan saya ancaman bagi demokrasi, bla, bla, bla. Saya percaya pada demokrasi dan hak asasi manusia," tegasnya.
Prabowo diketahui berusaha menemui pihak AS. Sayangnya, perwakilan AS, Robert O Blake menegaskan tidak akan menemui Prabowo sebelum pemilu terlaksana. Namun, Blake menyatakan siap menjalin kerjasama dengan siapapun yang nantinya terpilih.(NYT)
medcom.id, Jakarta: Mantan Komandan Pasukan Khusus Prabowo Subianto menyelesaikan kampanye akbar untuk pemilu legislatif pekan lalu. Namun, kemuculan calon presiden dari Partai Gerindra yang berkampanye dengan gaya militer ini mengundang keprihatinan aktivis hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, bahkan luar negeri.
Berdasarkan berita yang dilansir NYTimes, aktivis HAM di Indonesia menyebut Ketua Umum Partai Gerindra itu dituntut atas dugaan penculikan aktivis pro demokrasi di akhir 1990-an di mana Presiden Soeharto yang pada saat itu adalah mertuanya dituntut mundur oleh rakyat.
Meski berita negatif tentangnya menyebar luas, Prabowo melenggang maju. Ia percaya diri menggaungkan diri sebagai calon presiden periode 2014-2019.
Upaya Prabowo untuk menjadi presiden dengan berbagai kasus kemanusiaan di belakangnya mengusik pemerintahan Amerika Serikat di bawah pimpinan Barack Obama.
"Sensitivitas berasal dari hubungan yang sangat erat antara militer AS dan Indonesia selama kekejaman militer Indonesia dilakukan, " kata Profesor Ilmu Politik di Universitas Northwestern , Jeffrey Winters.
Indonesia, jelas pakar politik Indonesia itu, menjadi negara yang sangat strategis sehingga Indonesia menjadi penting bagi AS ketika terjadi kebekuan hubungan antarkedua negara.
Pada 2006, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis laporan yang menyebutkan sebelas orang termasuk Prabowo harus dituntut dalam kasus penculikan para aktivis. Kasus itu juga yang mengakhiri karir militer Prabowo. Lulusan program pelatihan militer AS pada 1980 lalu ini dibergentikan pada Agustus 1998.
"Hal utama tentang Prabowo adalah, dia tidak pernah diteliti apalagi dituntut untuk daftar panjang hal-hal yang dikaitkan dengan dia, " kata mantan Direktur Program Human Rights First, sebuah organisasi yang berbasis di Amerika Serikat, Matthew Easton. Menurut Easton, tanggung jawab komando Prabowo lah yang sesungguhnya perlu diselidiki.
Tapi Prabowo punya pandangan lain. Menurutnya, ia hanya dijadikan kambing hitam atas pelanggaran yang dilakukan oleh militer selama 32 tahun Soeharto berkuasa.
"Saya tidak pernah didakwa untuk apa pun, itu adalah sindiran-sindiran, selalu tuduhan," katanya, dalam sebuah wawancara.
"Kritik selalu mengatakan saya ancaman bagi demokrasi, bla, bla, bla. Saya percaya pada demokrasi dan hak asasi manusia," tegasnya.
Prabowo diketahui berusaha menemui pihak AS. Sayangnya, perwakilan AS, Robert O Blake menegaskan tidak akan menemui Prabowo sebelum pemilu terlaksana. Namun, Blake menyatakan siap menjalin kerjasama dengan siapapun yang nantinya terpilih.(NYT)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)