foto: Antara/dok.
foto: Antara/dok.

Simposium Pengadilan Konstitusi Asia

Sidang Sengketa Hasil Pemilu 2004, Unjuk Taji Pertama MK

Satria Sakti Utama • 15 Agustus 2015 12:32
Sejak tahun lalu hingga 2016 mendatang, Mahkamah Konstitusi (MK) RI menjabat sebagai Presiden Association of Asian Constitutional Court (AACC), asosiasi para hakim konstitusi di Asia. Pada 14-17 Agustus 2015, MKRI menjadi tuan rumah simposium AACC. Sehubungan dengan kegiatan penting ini, medcom.id menghadirkan serangkaian tulisan tentang sepak terjang MK dan simposium AACC di Jakarta. 
 

Metrotvnews.com, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga pengadilan paling muda di Indonesia. Kelahirannya telah direncanakan sejak 2001, namun baru dua tahun kemudian MK resmi lahir yang ditandai dengan disahkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan pemerintah.
 
Berdasar payung hukum tersebut, jelas bahwa wilayah hukum yang menjadi wewenang MK jauh berbeda dibandingkan Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sesuai namanya, maka MK hanya mengadili perkara yang berkaitan dengan aturan undang-undang yang disahkan negara.

Persisnya yang dimaksud adalah isi aturan UU yang dianggap merugikan hak konstitusi warga negara atau melanggar isi konstitusi sebagaimana dinyatakan UUD 1945. Maka pihak penggugat harus dapat membuktikan kepada majelis MK bahwa hak-hak konstitusinya dirugikan oleh isi dari UU yang dia gugat. 
 
Putusan majelis hakim MK pun bersifat final dan mengikat. Artinya tidak ada peluang hukum untuk meminta proses banding terhadap perkara yang telah MK putuskan. Sebab di atas MK tak ada lagi lembaga pengadilan yang lebih tinggi dibanding MK, seperti MA terhadap PN dan PT.
 
Masyarakat mulai mengenal MK pada pertengahan 2004, yaitu dalam rangkaian sidang sengketa hasil Pemilu dan Pilpres 2004. Putusan sidang-sidang marathon MK yang ketika itu dipimpin oleh Jimly Ashidiqqie mengubah drastis estimasi perolehan kursi partai politik peserta Pemilu 2004, baik kursi di DPR-RI serta di DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 
 
Rentetan putusan majelis hakim MK kala itu membuka mata politisi bahwa betapa dahsyat dampak putusan MK terhadap 'hajat hidup' mereka. Melalui kewenangannya di DPR, mereka merevisi klausul tentang rekrutmen hakim MK yang mengharamkan para bakal calon punya sejarah aktif menjadi kader di partai politik.
 
Tentu ada penentangan. Kelompok penentangnya menilai dalih bahwa mayoritas perkara yang MK tangani berkenaan dengan politik dan karenanya wajar ada hakim yang politikus, sebagai tidak relevam. 
 
Komprominya adalah 'menyesuaikan' aturan itu menjadi telah non-aktif sebagai kader partai politik selama beberapa tahun. Hasilnya adalah terpilihnya secara beruntun Mahfud MD (mantan kader PKB), Akil Muchtar (mantan kader Partai Golkar) dan Hamdan Zoelva (mantan kader PBB) sebagai Ketua MK.
 
Peran mengadili sengketa hasil ini kemudian diperluas untuk pemilihan kepala daerah. Namun ini wewenang ini sempat dicabut gara-gara skandal suap yang melibatkan Akil Muchtar (Ketua MK per 3 April 2013 hingga 5 Oktober 2013) jadi penyebabnya. Namun oleh UU 1/2015 tentang Penetapan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota mengamanatkan MK menangani sengketa Pilkada.
 
Di luar kasus sengketa hasil Pemilu, Pilpres dan Pilkada, ada banyak kasus-kasus konstitusi yang MK tangani. Tidak sedikit yang mendapat perhatian besar, baik karena konsekwensi dari keputusannya atau keunikan kasus yang MK tangani. 
 
Putusan pembatalan penerapan UU 16/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terhadap pelaku peristiwa peledakan Bom Bali adalah satu yang fenomenal. Seluruh mata lembaga penegak hukum seluruh dunia melotot melihat berita putusan itu di televisi, sebab dipikirnya para pelaku pemboman akan bebas dari jerat hukum. Kesalahpahaman ini akibat belum dipahaminya amar putusan majelis hakim MK pada Juli 2003 itu secara utuh.
 
Sedangkan gugatan 'unik' yang ditangani majelis hakim MK salah satunya adalah permohonan judicial review oleh Ignatius Ryan Tumiwa terhadap Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Agustus 2014.
 
Pria lulusan S2 yang berniat bunuh diri ini meminta pasal dalam KUHP yang tidak melegalkan bunuh diri dibatalkan. Belakangan warga Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, yang hidup menyendiri dan tidak punya pendapatan tetap itu mencabut gugatannya kemudian dirawat di rumah sakit jiwa.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan