Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadopsi kembali konsep manajemen adaptif dalam mengelola lingkungan. Konsep yang dipelopori Carl Walter dan Crawford Stanley Holling pada era 1980-an ini dinilai masih efektif dalam mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan manajemen adaptif mendukung proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya. Manajemen ini juga menjadi kerangka kerja untuk merumuskan solusi-solusi yang mengubah kondisi ekosistem ke arah lebih baik, sambil terus belajar dari proses perubahan ekosistem itu sendiri.
"Pendekatan ini dapat menghindari perdebatan. Para pihak yang berseteru dapat diajak berdiskusi untuk menemukan solusi. Menghindari dalih untuk tidak mengambil tindakan yang gegabah (excuse for inaction)," kata Siti.
Melalui manajemen adaptif, Siti melanjutkan, pemerintah bisa mengidentifikasi kesenjangan data dan pengetahuan. Serta, memberikan kerangka ruang dan waktu untuk menjelaskan fenomena kunci yang terjadi di lingkungan saat ini.
Pernyataan Siti tersebut dikemukakan saat meresmikan Ruang Sistem Informasi (Media Center) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup (PPKL), di Kantor KLHK, Jalan DI Panjaitan, Kebon Nanas, Jakarta Timur, Rabu, 26 Februari 2020.
"Manajemen adaptif adalah proses yang berulang dari empat komponen, yaitu belajar (learning), mendiskripsikan (describing), memprediksi (predicting) dan melaksanakan (doing)," kata dia.
Ia menjelaskan bahwa komponen belajar meliputi monitoring dan evaluasi. Mendiskripsikan meliputi kegiatan menggambarkan dan menjelaskan sistem dengan menggunakan model.
Sementara itu, memprediksi adalah upaya menguji coba model dan memasukkan rencana aksi yang akan dilakukan ke dalam model. Di sisi lain, melaksanakan (doing) adalah mengimplementasikan model dan rencana aksi yang terpilih dengan pendekatan manajemen eksperimen
"Media Center dapat berperan sebagai sarana monitoring dan evaluasi karena data yang diintegrasikan cukup banyak. Sebagian data sudah bersifat real time," ujar Siti.
Ilustrasi penanaman pohon. Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Lebih lanjut, ia mengatakan cukup banyak data yang dikumpulkan. Seperti, dalam mendiskripsikan pengelolaan lingkungan secara makro, pemerintah sudah punya laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI).
"Semakin lengkap informasi yang dimasukkan, maka semakin akurat prediksi yang dihasilkan. Semakin cepat pula pemangku kepentingan dapat memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Tinggal bagaimana kita mengemas dan mengomunikasikan kebijakan-kebijakan publik tersebut, sehingga mempunyai daya ungkit yang tinggi untuk perbaikan lingkungan," jelasnya.
Dirjen PPKL Karliansyah mengatakan data yang disajikan kepada masyarakat melalui sistem informasi pemantauan kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari inovasi, penggunaan teknologi, keterbukaan/transparansi, dan akuntabilitas kinerja KLHK.
“Sistem informasi ini diharapkan menjadi fasilitas yang lebih cepat, terintegrasi, real time, dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Sehingga dapat digunakan sebagai upaya pencegahan, penanggulangan, serta peringatan dini di bidang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan,” ujar Karliansyah.
Sebagai contoh, data pemantauan kualitas air. Saat ini datanya sudah terintegrasi dari 560 titik pemantaun manual dan 41 stasiun pemantauan real time. Pada 2024 pemantauan manual akan digantikan dengan pemantauan real time karena stasiun pemantauan yang dibangun mencapai 822 stasiun.
Kualitas udara pun sudah terpantau dari 500 titik pemantauan manual yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota. Untuk pemantauan secara real time, KLHK memfokuskan pada daerah yang terdampak kebakaran lahan dan hutan, serta daerah perkotaan yang terpapar pencemaran dari kendaraan bermotor dan industri.
"Saat ini sudah terpasang 26 stasiun pemantauan. Pada 2024 stasiun pemantauan real time ini ditargetkan menjadi 165 stasiun," katanya.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadopsi kembali konsep manajemen adaptif dalam mengelola lingkungan. Konsep yang dipelopori
Carl Walter dan
Crawford Stanley Holling pada era 1980-an ini dinilai masih efektif dalam mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan manajemen adaptif mendukung proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya. Manajemen ini juga menjadi kerangka kerja untuk merumuskan solusi-solusi yang mengubah kondisi ekosistem ke arah lebih baik, sambil terus belajar dari proses perubahan ekosistem itu sendiri.
"Pendekatan ini dapat menghindari perdebatan. Para pihak yang berseteru dapat diajak berdiskusi untuk menemukan solusi. Menghindari dalih untuk tidak mengambil tindakan yang gegabah (
excuse for inaction)," kata Siti.
Melalui manajemen adaptif, Siti melanjutkan, pemerintah bisa mengidentifikasi kesenjangan data dan pengetahuan. Serta, memberikan kerangka ruang dan waktu untuk menjelaskan fenomena kunci yang terjadi di lingkungan saat ini.
Pernyataan Siti tersebut dikemukakan saat meresmikan Ruang Sistem Informasi (Media Center) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup (PPKL), di Kantor KLHK, Jalan DI Panjaitan, Kebon Nanas, Jakarta Timur, Rabu, 26 Februari 2020.
"Manajemen adaptif adalah proses yang berulang dari empat komponen, yaitu belajar (
learning), mendiskripsikan (
describing), memprediksi (
predicting) dan melaksanakan (
doing)," kata dia.
Ia menjelaskan bahwa komponen belajar meliputi monitoring dan evaluasi. Mendiskripsikan meliputi kegiatan menggambarkan dan menjelaskan sistem dengan menggunakan model.
Sementara itu, memprediksi adalah upaya menguji coba model dan memasukkan rencana aksi yang akan dilakukan ke dalam model. Di sisi lain, melaksanakan (
doing) adalah mengimplementasikan model dan rencana aksi yang terpilih dengan pendekatan manajemen eksperimen
"Media Center dapat berperan sebagai sarana monitoring dan evaluasi karena data yang diintegrasikan cukup banyak. Sebagian data sudah bersifat
real time," ujar Siti.
Ilustrasi penanaman pohon. Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Lebih lanjut, ia mengatakan cukup banyak data yang dikumpulkan. Seperti, dalam mendiskripsikan pengelolaan lingkungan secara makro, pemerintah sudah punya laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI).
"Semakin lengkap informasi yang dimasukkan, maka semakin akurat prediksi yang dihasilkan. Semakin cepat pula pemangku kepentingan dapat memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Tinggal bagaimana kita mengemas dan mengomunikasikan kebijakan-kebijakan publik tersebut, sehingga mempunyai daya ungkit yang tinggi untuk perbaikan lingkungan," jelasnya.
Dirjen PPKL Karliansyah mengatakan data yang disajikan kepada masyarakat melalui sistem informasi pemantauan kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari inovasi, penggunaan teknologi, keterbukaan/transparansi, dan akuntabilitas kinerja KLHK.
“Sistem informasi ini diharapkan menjadi fasilitas yang lebih cepat, terintegrasi,
real time, dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Sehingga dapat digunakan sebagai upaya pencegahan, penanggulangan, serta peringatan dini di bidang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan,” ujar Karliansyah.
Sebagai contoh, data pemantauan kualitas air. Saat ini datanya sudah terintegrasi dari 560 titik pemantaun manual dan 41 stasiun pemantauan
real time. Pada 2024 pemantauan manual akan digantikan dengan pemantauan
real time karena stasiun pemantauan yang dibangun mencapai 822 stasiun.
Kualitas udara pun sudah terpantau dari 500 titik pemantauan manual yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota. Untuk pemantauan secara
real time, KLHK memfokuskan pada daerah yang terdampak kebakaran lahan dan hutan, serta daerah perkotaan yang terpapar pencemaran dari kendaraan bermotor dan industri.
"Saat ini sudah terpasang 26 stasiun pemantauan. Pada 2024 stasiun pemantauan
real time ini ditargetkan menjadi 165 stasiun," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)