medcom.id, Jakarta: Program deradikalisasi yang digagas pemerintah sejak 2014 dinilai tak berhasil menekan aksi-aksi radikal seperti terorisme. Pengamat terorisme Al Chaidar menyebut salah satu penyebab program tak berjalan efektif adalah kurangnya pelibatan ulama.
"Ulama ini secara politis terkesan dipinggirkan dan cenderung dianggap state enemy," kata Al Chaidar dalam dialog Metro News, Selasa 28 Februari 2017.
Kecenderungan pemerintah menempatkan ulama sebagai bagian tak penting dari pemerintah membuat ulama enggan merespon ketika dimintai fatwanya untuk menghadapi kelompok radikal. Padahal, ulama punya keahlian untuk memberikan pemahaman bahwa kelompok yang diikuti justru melanggar hukum.
Sementara itu, kelompok radikal yang berkembang di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ini tak lepas dari paham wahabi.
"Paham wahabi secara garis besar yang masuk ke Indonesia cukup menciptakan ketegangan dengan kultur dan sosial di Indonesia," katanya.
Al Chaidar merinci, setidaknya ada tiga jenis wahabi. Wahabi sururi, yang ajarannya antiperang, antikekerasan, bahkan antijihad. Paham ini lebih sering menyinggung urusan ibadah seperti bid'ah.
Kemudian wahabi jihadi, paham wahabi yang dianut salah satunya oleh Osama bin Laden, serta yang dianggap paling mengerikan, paham takfiri atau paham yang dengan mudah mengkafirkan orang yang keyakinannya tidak sama dengan lingkungan di sekitarnya.
"Jadi pemikiran-pemikiran ini sudah lama kemudian dibungkus lagi menjadi sangat radikal itu tahun 1960-an dan itu diserap oleh gerakan-gerakan Islam seperti Taliban," katanya.
Meskipun urusan keyakinan dan ideologi radikal sangat sulit untuk diberantas, setidaknya ada langkah lain yang diharapkan efektif menekan aksi-aksi teror.
"Yang paling tepat itu kontrol wacana, karena ketiganya memasukkan ajarannya melalui wacana pemahaman dan tiap mereka itu memiliki pemahaman latar belakang kekuasaan Fiqh syariat yang sangat kuat.
medcom.id, Jakarta: Program deradikalisasi yang digagas pemerintah sejak 2014 dinilai tak berhasil menekan aksi-aksi radikal seperti terorisme. Pengamat terorisme Al Chaidar menyebut salah satu penyebab program tak berjalan efektif adalah kurangnya pelibatan ulama.
"Ulama ini secara politis terkesan dipinggirkan dan cenderung dianggap state enemy," kata Al Chaidar dalam dialog
Metro News, Selasa 28 Februari 2017.
Kecenderungan pemerintah menempatkan ulama sebagai bagian tak penting dari pemerintah membuat ulama enggan merespon ketika dimintai fatwanya untuk menghadapi kelompok radikal. Padahal, ulama punya keahlian untuk memberikan pemahaman bahwa kelompok yang diikuti justru melanggar hukum.
Sementara itu, kelompok radikal yang berkembang di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ini tak lepas dari paham wahabi.
"Paham wahabi secara garis besar yang masuk ke Indonesia cukup menciptakan ketegangan dengan kultur dan sosial di Indonesia," katanya.
Al Chaidar merinci, setidaknya ada tiga jenis wahabi. Wahabi sururi, yang ajarannya antiperang, antikekerasan, bahkan antijihad. Paham ini lebih sering menyinggung urusan ibadah seperti bid'ah.
Kemudian wahabi jihadi, paham wahabi yang dianut salah satunya oleh Osama bin Laden, serta yang dianggap paling mengerikan, paham takfiri atau paham yang dengan mudah mengkafirkan orang yang keyakinannya tidak sama dengan lingkungan di sekitarnya.
"Jadi pemikiran-pemikiran ini sudah lama kemudian dibungkus lagi menjadi sangat radikal itu tahun 1960-an dan itu diserap oleh gerakan-gerakan Islam seperti Taliban," katanya.
Meskipun urusan keyakinan dan ideologi radikal sangat sulit untuk diberantas, setidaknya ada langkah lain yang diharapkan efektif menekan aksi-aksi teror.
"Yang paling tepat itu kontrol wacana, karena ketiganya memasukkan ajarannya melalui wacana pemahaman dan tiap mereka itu memiliki pemahaman latar belakang kekuasaan Fiqh syariat yang sangat kuat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MEL)