medcom.id, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat RI mendesak pemerintah segera menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai turunan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter (UU Dikdok). Selain dianggap sudah melebihi batas aturan perundang-undangan yang mengharuskan PP terbentuk paling lama dua tahun setelah diundangkan, RPP tersebut dinanti karena erat kaitannya dengan program Dokter Layanan Primer (DLP).
Dalam rapat Panitia Kerja (Panja) DLP di Komisi X DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 23 Januari 2017, Yayuk Sri Rahayuningsih yang merupakan anggota parlemen dari Fraksi NasDem menyatakan bahwa program DLP mensyaratakan peraturan pemerintah untuk pelaksanaannya.
Ia menjelaskan, konsekuensi atas ketidakpatuhan pemerintah yang belum juga menyelesaikan RPP adalah pelaksanaan DLP akan kian tertunda. Padahal UU Dikdok sudah berjalan lebih dari tiga tahun.
"Sebelum RPP terbit, ini tidak dilaksanakan dulu," ujar Yayuk.
Ditengarai, ada permasalahan terkait program ini. Untuk itu, pemerintah disarankan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang belum mendukung DLP. Dalam hal ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang pernah meminta agar pemerintah meninjau kembali program DLP lantaran dinilai kontraproduktif dengan program Indonesia Sehat milik Kementerian Kesehatan.
Turut hadir dalam rapat panja tersebut, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) dan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro bersama para pakar yang lain di bidang kedokteran. Laksono mengungkapkan harus ada komunikasi yang efektif di antara pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah dan IDI. Bahkan bila perlu, DPR harus dilibatkan sebagai mediator agar pembahasan mengenai DLP tidak berlarut-larut.
Perdebatan
Dokter Layanan Primer (DLP), istilah baru yang diperkenalkan dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok). Namun “pangkat” baru bagi profesi dokter ini nyatanya banyak mengundang perdebatan.
Kata tak sepakat justru banyak disuarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Lembaga profesi dokter se-Indonesia ini menyebut DLP terlalu memberatkan dokter dan merugikan pasien.
Dokter umum yang selama ini melakukan praktek di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti klinik dan puskesmas harus sekolah karena berdasarkan aturan mereka tidak lagi memiliki kualifikasi. Waktu pendidikan dokter yang kini bisa mencapai 6-7 tahun harus ditambah lagi 2-3 tahun.
“Karena berdasarkan aturan Pasal 8 ayat 2, yang memiliki kualifikasi memberikan pelayanan itu DLP. Dokter umum menjadi rawan dikriminalisasi,” kata pakar kesehatan masyarakat Hasbullah Thabrany saat berbincang dengan metrotvnews.com, Jakarta, Kamis (26/1/2017).
Guru besar ilmu kesehatan Universitas Indonesia ini menganggap pemberlakuan DLP tidak mendasak. Karena yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah peningkatan fasilitas kesehatan dan pengawasan kualitas pelayanan.
Hal ini terkait dengan argumentasi Kementerian Kesehatan yang menyebut DLP dapat menambah kompetensi diagnosa dan pelayanan kesehatan primer menjadi 155 penyakit. Naik 11 jenis penyakit dari kompetensi 4 yang harus dimilik dokter umum Indonesia.
“Yang jadi persoalan di lapangan itu kan keterbatasan alat dan fasilitas. Akhirnya rujuk-merujuk jadi hal lumrah,” kata Hasbullah yang menjabat sebagai tenaga ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional ini.
Masyarakat mau tidak mau akan terkena getahnya. Sebab, otomatis ratusan ribu dokter tak bisa menjalankan pelayanan bila UU diberlakukan sesuai dengan yang termaktub.
Hal ini pun dirasakan oleh wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satunya anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani yang menilai kompetensi bukan persoalan utama yang tengah dihadapi. Salah satunya keterbatasan tenaga kesehatan dan akses ke FKTP.
“Akses yang sulit biasanya menjadi alasan para dokter enggan praktek di sana," ujar Irma saat perdebatan DLP muncul dalam rapat Komisi IX di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, tanggal 29 September 2016 lalu.
Dari 9.815 puskesmas di Indonesia, masih terdapat 938 puskesmas yang tidak memiliki dokter umum. ebanyak 4.121 puskesmas juga tidak memiliki dokter gigi, 255 puskesmas tidak memiliki perawat, dan 364 puskesmas tidak memiliki bidan.
Sementara, dari sekira 2.184 rumah sakit di Indonesia, 29 persennya tidak memiliki dokter spesialis anak, dan 27 persennya tidak ada dokter spesialis kandungan dan kebidanan.
Ribuan dokter sudah turun ke jalan pada Oktober 2016 lalu karena menolak DLP yang tersisip dalam UU Dikdok ini. Niat para pembuat kebijakan untuk meningkatkan kualitas dinilai IDI seharusnya justru bukan dari sisi pembuatan strata spesialis baru bagi layanan primer.
Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis berpandangan lebih arif jika anggaran pendidikan dialokasikan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang sudah ada. Ia mengakui sejak pendidikan kedokteran dibuka lebar tahun 2012 lalu, masih banyak kampus berakreditasi B dan C yang belum memadai untuk menghasilkan dokter berkualitas.
“Disparitas hasil didikannya besar sekali,” ungkapnya saat berkunjung ke Media Indonesia, Senin (16/1/2017).
Program DLP ini perlu dibuka ruang diskusi untuk mencari arah kebijakan yang lebih baik. IDI yang menolak program DLP pun mengaku siap berdiskusi dengan pemerintah. Salah satu jalan bisa lewat merevisi UU Dikdok.
medcom.id, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat RI mendesak pemerintah segera menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai turunan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter (UU Dikdok). Selain dianggap sudah melebihi batas aturan perundang-undangan yang mengharuskan PP terbentuk paling lama dua tahun setelah diundangkan, RPP tersebut dinanti karena erat kaitannya dengan program Dokter Layanan Primer (DLP).
Dalam rapat Panitia Kerja (Panja) DLP di Komisi X DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 23 Januari 2017, Yayuk Sri Rahayuningsih yang merupakan anggota parlemen dari Fraksi NasDem menyatakan bahwa program DLP mensyaratakan peraturan pemerintah untuk pelaksanaannya.
Ia menjelaskan, konsekuensi atas ketidakpatuhan pemerintah yang belum juga menyelesaikan RPP adalah pelaksanaan DLP akan kian tertunda. Padahal UU Dikdok sudah berjalan lebih dari tiga tahun.
"Sebelum RPP terbit, ini tidak dilaksanakan dulu," ujar Yayuk.
Ditengarai, ada permasalahan terkait program ini. Untuk itu, pemerintah disarankan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang belum mendukung DLP. Dalam hal ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang pernah meminta agar pemerintah meninjau kembali program DLP lantaran dinilai kontraproduktif dengan program Indonesia Sehat milik Kementerian Kesehatan.
Turut hadir dalam rapat panja tersebut, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) dan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro bersama para pakar yang lain di bidang kedokteran. Laksono mengungkapkan harus ada komunikasi yang efektif di antara pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah dan IDI. Bahkan bila perlu, DPR harus dilibatkan sebagai mediator agar pembahasan mengenai DLP tidak berlarut-larut.
Perdebatan
Dokter Layanan Primer (DLP), istilah baru yang diperkenalkan dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok). Namun “pangkat” baru bagi profesi dokter ini nyatanya banyak mengundang perdebatan.
Kata tak sepakat justru banyak disuarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Lembaga profesi dokter se-Indonesia ini menyebut DLP terlalu memberatkan dokter dan merugikan pasien.
Dokter umum yang selama ini melakukan praktek di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti klinik dan puskesmas harus sekolah karena berdasarkan aturan mereka tidak lagi memiliki kualifikasi. Waktu pendidikan dokter yang kini bisa mencapai 6-7 tahun harus ditambah lagi 2-3 tahun.
“Karena berdasarkan aturan Pasal 8 ayat 2, yang memiliki kualifikasi memberikan pelayanan itu DLP. Dokter umum menjadi rawan dikriminalisasi,” kata pakar kesehatan masyarakat Hasbullah Thabrany saat berbincang dengan
metrotvnews.com, Jakarta, Kamis (26/1/2017).
Guru besar ilmu kesehatan Universitas Indonesia ini menganggap pemberlakuan DLP tidak mendasak. Karena yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah peningkatan fasilitas kesehatan dan pengawasan kualitas pelayanan.
Hal ini terkait dengan argumentasi Kementerian Kesehatan yang menyebut DLP dapat menambah kompetensi diagnosa dan pelayanan kesehatan primer menjadi 155 penyakit. Naik 11 jenis penyakit dari kompetensi 4 yang harus dimilik dokter umum Indonesia.
“Yang jadi persoalan di lapangan itu kan keterbatasan alat dan fasilitas. Akhirnya rujuk-merujuk jadi hal lumrah,” kata Hasbullah yang menjabat sebagai tenaga ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional ini.
Masyarakat mau tidak mau akan terkena getahnya. Sebab, otomatis ratusan ribu dokter tak bisa menjalankan pelayanan bila UU diberlakukan sesuai dengan yang termaktub.
Hal ini pun dirasakan oleh wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satunya anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani yang menilai kompetensi bukan persoalan utama yang tengah dihadapi. Salah satunya keterbatasan tenaga kesehatan dan akses ke FKTP.
“Akses yang sulit biasanya menjadi alasan para dokter enggan praktek di sana," ujar Irma saat perdebatan DLP muncul dalam rapat Komisi IX di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, tanggal 29 September 2016 lalu.
Dari 9.815 puskesmas di Indonesia, masih terdapat 938 puskesmas yang tidak memiliki dokter umum. ebanyak 4.121 puskesmas juga tidak memiliki dokter gigi, 255 puskesmas tidak memiliki perawat, dan 364 puskesmas tidak memiliki bidan.
Sementara, dari sekira 2.184 rumah sakit di Indonesia, 29 persennya tidak memiliki dokter spesialis anak, dan 27 persennya tidak ada dokter spesialis kandungan dan kebidanan.
Ribuan dokter sudah turun ke jalan pada Oktober 2016 lalu karena menolak DLP yang tersisip dalam UU Dikdok ini. Niat para pembuat kebijakan untuk meningkatkan kualitas dinilai IDI seharusnya justru bukan dari sisi pembuatan strata spesialis baru bagi layanan primer.
Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis berpandangan lebih arif jika anggaran pendidikan dialokasikan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang sudah ada. Ia mengakui sejak pendidikan kedokteran dibuka lebar tahun 2012 lalu, masih banyak kampus berakreditasi B dan C yang belum memadai untuk menghasilkan dokter berkualitas.
“Disparitas hasil didikannya besar sekali,” ungkapnya saat berkunjung ke
Media Indonesia, Senin (16/1/2017).
Program DLP ini perlu dibuka ruang diskusi untuk mencari arah kebijakan yang lebih baik. IDI yang menolak program DLP pun mengaku siap berdiskusi dengan pemerintah. Salah satu jalan bisa lewat merevisi UU Dikdok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)