Jakarta: Penyair Umbu Landu Paranggi yang dijuluki Presiden Malioboro tutup usia. Seniman kebanggaan Indonesia ini mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa, 6 April 2021, di Denpasar, Bali.
Ia wafat pada usia 77 tahun di RS Bali Mandara pukul 03.55 Wita. Kabar ini disampaikan akun Instagram resmi komunitas Maiyah Kenduri Cinta @kenduricinta.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, duka kami, mengantarmu ke huma yang sejati Bapak Umbu Landu Paranggil. Pada hari Selasa 6 April 2021 pukul 03.55 WITA di RS Bali Mandara," tulisnya kemudian.” tulis @kenduricinta, Selasa, 6 April 2021.
Budayawan Emha Ainun Najib dalam esainya di laman Caknun.com berjudul "MI’RAJ SANG GURU TADABBUR", mengenang sosok yang ia akui sebagai gurunya itu. Ia menyebut bahwa Umbu menghadap Allah dalam keadaan berpuasa dari dunia.
Menurut Cak Nun, begitu ia biasa disapa oleh jemaah Maiyah, hampir seluruh usia Umbu dijalani dengan lelaku puasa atas berbagai tipuan kemewahan keduniaan. Ia juga menuturkan bahwa sosok Umbu mempunyai peran penting memproses pematangan hidupnya di usia remaja pada era 1970-an.
“Umbu adalah guru tadabur saya. Umbu adalah pemegang cambuk yang mencambuki punggung kehidupan saya sampai saya menemukan puisi sebagai ujung dari tadabur kehidupan. Sehingga narasi utamanya adalah “kehidupan puisi”,” beber Cak Nun dikutip dari laman Caknun.com, Selasa, 6 April 2021.
Pria yang juga akrab disapa Mbah Nun ini mengatakan, dalam pandangannya, Umbu adalah manusia hati, bukan manusia akal pikiran yang rewel dan ruwet.
“Atau bahkan meruwet-ruwetkan diri sebagaimana orang-orang sekolahan di abad ini,” imbuhnya.
Istri dari Novia Kolopaking ini menuturkan bahwa Umbu sangat tekun mendalami proses kejiwaan murid-muridnya. Ia, kata Cak Nun, jeli dan teliti melakukan “nahi munkar” ketika ada di antara anak-anak asuhnya mengalami kesesatan jiwa terutama kesombongan mental dan kekaburan proses rohaniahnya.
“Sebab, Umbu menemani murid-muridnya itu di tengah peradaban manusia modern yang penuh kesesatan jiwa. Yang sok, keminter, dan kemlinthi,” terangnya.
“Umbu bisa berjalan kaki puluhan kilometer dari Malioboro ke rumah anaknya di suatu kampung pelosok kalau menjumpai satu kata atau pilihan koordinat poetika yang menurut dia dialami oleh anaknya itu,” ujar Emha.
Jakarta: Penyair Umbu Landu Paranggi yang dijuluki Presiden Malioboro tutup usia. Seniman kebanggaan Indonesia ini mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa, 6 April 2021, di Denpasar, Bali.
Ia wafat pada usia 77 tahun di RS Bali Mandara pukul 03.55 Wita. Kabar ini disampaikan akun Instagram resmi komunitas Maiyah Kenduri Cinta @kenduricinta.
"
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, duka kami, mengantarmu ke huma yang sejati Bapak Umbu Landu Paranggil. Pada hari Selasa 6 April 2021 pukul 03.55 WITA di RS Bali Mandara," tulisnya kemudian.” tulis @kenduricinta, Selasa, 6 April 2021.
Budayawan Emha Ainun Najib dalam esainya di laman
Caknun.com berjudul "MI’RAJ SANG GURU TADABBUR", mengenang sosok yang ia akui sebagai gurunya itu. Ia menyebut bahwa Umbu menghadap Allah dalam keadaan berpuasa dari dunia.
Menurut Cak Nun, begitu ia biasa disapa oleh jemaah Maiyah, hampir seluruh usia Umbu dijalani dengan lelaku puasa atas berbagai tipuan kemewahan keduniaan. Ia juga menuturkan bahwa sosok Umbu mempunyai peran penting memproses pematangan hidupnya di usia remaja pada era 1970-an.
“Umbu adalah guru tadabur saya. Umbu adalah pemegang cambuk yang mencambuki punggung kehidupan saya sampai saya menemukan puisi sebagai ujung dari tadabur kehidupan. Sehingga narasi utamanya adalah “kehidupan puisi”,” beber Cak Nun dikutip dari laman
Caknun.com, Selasa, 6 April 2021.
Pria yang juga akrab disapa Mbah Nun ini mengatakan, dalam pandangannya, Umbu adalah manusia hati, bukan manusia akal pikiran yang rewel dan ruwet.
“Atau bahkan meruwet-ruwetkan diri sebagaimana orang-orang sekolahan di abad ini,” imbuhnya.
Istri dari Novia Kolopaking ini menuturkan bahwa Umbu sangat tekun mendalami proses kejiwaan murid-muridnya. Ia, kata Cak Nun, jeli dan teliti melakukan “nahi munkar” ketika ada di antara anak-anak asuhnya mengalami kesesatan jiwa terutama kesombongan mental dan kekaburan proses rohaniahnya.
“Sebab, Umbu menemani murid-muridnya itu di tengah peradaban manusia modern yang penuh kesesatan jiwa. Yang sok,
keminter, dan
kemlinthi,” terangnya.
“Umbu bisa berjalan kaki puluhan kilometer dari Malioboro ke rumah anaknya di suatu kampung pelosok kalau menjumpai satu kata atau pilihan koordinat poetika yang menurut dia dialami oleh anaknya itu,” ujar Emha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)