Dia mencontohkan, pada Januari umumnya hoaks yang akan disebarkan berkaitan dengan penolakan perayaan hari kasih sayang yang biasanya dirayakan pada Februari. Atau jika di bulan September, isu-isu yang berhubungan dengan PKI akan kembali diembuskan.
"Ada semacam tren yang berulang, ada jadwalnya. Jadi dari tahun-tahun sebelumnya memang seperti itu," ujar Ari, dalam Metro Pagi Primetime, Kamis 28 September 2017.
Ari mengatakan korban yang termakan hoaks bisa siapa saja. Bahkan mereka yang dinilai cukup intelek, berpendidikan, dan memiliki sederet titel membanggakan bukan jaminan tak menjadi korban hoaks. Sebab, ada satu hal yang menurut Ari cukup sulit untuk ditangani; faktor emosi.
"Jadi mau seintelel, se-educated apapun kalau dia sudah emosi sisi-sisi lainnya pasti tergantikan dengan sisi emosionalnya itu," katanya.
Ari menyebut hoaks atau ujaran kebencian yang umumnya beredar di media sosial sulit diberantas. Selain faktor emosi yang tak bisa dikendalikan, kesulitan lain yang dihadapi adalah keseimbangan antara kebebasan berpendapat dengan represif.
Ketika penegak hukum, misalnya, melakukan penindakan atas dugaan ujaran kebencian atau penyebaran hoaks, yang akan diteriakkan kemudian bukanlah keadilan melainkan represif bahwa tindakan yang dilakukan penegak hukum melanggar kebebasan pendapat.
Meski begitu, Ari optimistis bahwa meski tak bisa hilang, penyebaran hoaks bisa diredam. Syaratnya, jangan lagi membiasakan diri hanya membaca judul kemudian asal share.
Kemudian, bedakan tipe-tipe media yang menyebarkan informasi, apakah media itu masuk dalam kategori kredibel, non kredibel atau hanya media opini.
"Karena yang sering terjadi, masyarakat kesulitan membedakan tiga tipe ini. Bahkan ada bagian dari upaya penyebaran hoaks menggunakan sumber kredibel yang kemudian dijadikan non kredibel," jelas Ari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id