Seorang pelajar terpaksa menggunakan lilin sebagai alat bantu pencahayaan untuk belajar akibat pemadaman bergilir di Palu, Sulawesi Tengah. ( ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
Seorang pelajar terpaksa menggunakan lilin sebagai alat bantu pencahayaan untuk belajar akibat pemadaman bergilir di Palu, Sulawesi Tengah. ( ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

FOKUS

Negeri Kaya Sumber Daya yang Miskin Energi

Coki Lubis • 20 Januari 2017 20:38
medcom.id, Jakarta: Berlimpah kekayaan alam, inilah bayangan yang muncul saat kita menyebut Indonesia. Itu betul. Tapi tidak dengan ketersediaan energinya.
 
Tidak dapat disangkal, Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak dan gas (migas). Malah jadi salah satu pengimpor terbesar dunia. Bisa-bisa, perkiraan sejumlah pakar yang menyebutkan Indonesia akan alami krisis energi pada 2025 bisa terjadi.
 
Sebagaimana diketahui, sumber daya mineral tidak bisa diperbaharui. Tentu akan habis jika dimanfaatkan secara terus menerus. Batu bara, misalnya. Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) mencatat cadangan terbukti batu bara di Indonesia pada 2015 hanya 7,3 - 8,3 miliar ton.
 
Sementara, berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2010-2050, batu bara masih menjadi bahan bakar andalan untuk pembangkit listrik. Ditargetkan, batu bara dapat memenuhi sekitar 66% atau 20 gigawatt sumber energi primer pembangkit listrik di tahun 2024.
 
Dengan kebijakan tersebut, lembaga akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) memperkirakan cadangan batu bara Indonesia akan habis pada 2033-2036. Artinya, program kelistrikan nasional sebesar 35 ribu megawatt (MW) tidak mungkin tercapai bila masih mengandalkan batu bara.
 
"Hal ini kurang dari 20 tahun umur manfaat PLTU yang umumnya sekitar 20-30 tahun sejak beroperasi," Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir dalam sebuah konferensi pers pada 2016 lalu.
 
 
 
Hal serupa dialami energi fosil lainnya. Pada tahun 2014, cadangan terbukti minyak bumi sebesar 3,6 miliar barel, gas bumi sebesar 100,3 TCF. Bila diasumsikan tidak ada penemuan cadangan baru, berdasarkan rasio R/P (Reserve/Production) tahun 2014, maka minyak bumi akan habis dalam 12 tahun, gas bumi 37 tahun.
 
Gagasan lain yang muncul sebagai pengganti batu bara (PLTU) adalah pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, angin, panas bumi, hidro dan lain-lain. Namun, biayanya cukup fantastis. Selain itu, tidak bisa diandalkan untuk pemenuhan target 35 ribu MW pada tahun 2050.
 
Berdasarkan analisa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT outlook 2016), pada 2050 konstribusi EBT terhadap penyediaan energi nasional hanya bisa mencapai 13,4%, padahal KEN menargetkan bauran EBT minimal 31%.
 
Dari fakta ini, kekhawatiran akan krisis energi yang dialami Venezuela pada 2015 pun muncul. Deindustrialisasi akibat krisis energi. Mungkinkah akan terjadi di Indonesia?
 
Baca: Krisis Energi, Pekerja di Venezuela Diliburkan
 
Adalah pakar energi Kurtubi yang menilai perlunya mempertimbangkan teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). PLTN dapat menjadi solusi pemenuhan ketersediaan listrik berkelanjutan.
 
“Listrik kita memang betul-betul sangat bergantung kepada bahan bakar fosil,” katanya kepada metrotvnews.com, Selasa (17/1/2017). Sementara, sambungnya, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), energi nuklir dianggap pilihan terakhir.
 
“Padahal kita punya dasarnya. Saya kecewa dengan keputusan Dewan Energi Nasional yang memutuskan nuklir dikesampingkan,” tegas Kurtubi.
 
Baca: Jebakan Middle Income dan Kesadaran Energi

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan