Presiden Joko Widodo menyalami warga Desa Giriroto, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah/ANTARA/Yudhi Mahatma
Presiden Joko Widodo menyalami warga Desa Giriroto, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah/ANTARA/Yudhi Mahatma

FOKUS

Jokowi dan Restorasi Demokrasi

Sobih AW Adnan • 13 Juli 2017 22:34
medcom.id, Jakarta: Kepresidenan Joko Widodo lahir dari sebabak pesta demokrasi, di negeri yang demokratis. Dalam janji besar yang ia sebut Nawacita, perhatian tentang demokrasi pun tak luput dari usungan.
 
Dalam lis janji kampanye itu, Jokowi memasukkan keharusan adanya konsolidasi demokrasi pada poin kedua. Di antara sembilan butir ikrar juga tertera misi memperkuat pendidikan kebinekaan sebagai bagian penting dalam kehidupan yang demokratis.
 
'Wong Solo' yang satu ini amat yakin, memperkuat demokrasi dan merawat kebinekaan bisa menjadi penanda dari kehadiran negara dalam menjamin rasa aman, dan damai.

Ingatan ini, boleh saja dijadikan alat untuk menimbang kebijakan yang baru saja diteken Jokowi. Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas) kemarin, apakah masih dalam rangka ambil peran negara dalam mempertegas konsolidasi demokrasi, atau justru sebaliknya?
 
Ujian demokrasi
 
Pascareformasi 1998, kehidupan demokrasi di Indonesia terus berada dalam pemulihan. Makna demokrasi, yang era sebelumnya cenderung dimonopoli penguasa, melalui gerakan massa saat itu didorong agar dikembalikan sebagaimana mestinya. Demokrasi, ialah panggung bersama untuk membangun bangsa.
 
Ciri utama iklim demokrasi yang baik adalah dibukanya keran kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Meski siapapun sadar, niat baik ini bukan berarti tanpa tantangan. 
 
Hikmah positif dari penguatan demokrasi model ini memang sangat banyak. Termasuk bagi penguasa. Kebebasan berpendapat, misalnya, bisa membuat kepekaan masyarakat meningkat, utamanya dalam persoalan-persoalan sosial.
 
Kebebasan itu juga memberi ruang untuk berpikir kritis, serta membuka peran dan keterlibatan dalam pembangunan nasional. Namun jika tak diolah dengan arif, hak-hak demokrasi ini malah melahirkan ketidakstabilan dalam kehidupan bernegara.
 
Titik tengah dari baik buruk dari risiko itu ialah pertimbangan hukum dan aturan. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang dijadikan acuan utama prinsip demokrasi itu berbunyi:

"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang."


Meski pada tahun 2000, pasal ini mengalami perubahan melalui Perubahan Kedua UUD 1945. Kalimat 'ditetapkan dengan undang-undang' dihapus demi memberikan ketegasan dan jaminan konstitusional.
 
Salah satu bentuk kebebasan itu mewujud dalam bentuk ormas. Mengutip keterangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), saat ini ada 254.633 ormas yang terdaftar. Di luar itu, ada 2.477 ormas di tingkat provinsi, 1.807 di tingkat kabupaten/kotamadya, 62 di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan 250.000 ormas di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
 
Sementara ketentuan berormas diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013. Semangat dari regulasi ini adalah meminimalisir kesewenang-wenangan pemerintah dalam membatasi kegiatan perkumpulan. Bahkan, tidak bisa main paksa untuk bubar.
 
Masyarakat memang telah menemukan kemerdekaannya. Tapi tidak menjamin pula, keberadaan ormas-ormas tersebut selaras dengan cita-cita bangsa Indonesia.
 
Berkat pemaknaan kebebasan yang keliru, misalnya, ada juga ormas yang berani menolak ideologi negara berupa Pancasila. Malah, ada pula yang kesannya menggugat semangat kebinekaan yang selama ini telah terawat. 
 
Di sinilah rupanya pemerintah mulai merasa sedikit kesulitan. Salah langkah bisa menjadi bumerang. Demokrasi benar-benar memasuki babak ujian. 
 
Jokowi dan Restorasi Demokrasi
 
Berebut makna demokrasi
 
Dalam demokrasi, semua orang bisa mendaku demokratis. 
 
Demokrasi memang memiliki banyak pengertian formal. Tapi, yang penting dicatat, kepentingan demokrasi di Indonesia adalah membangun bersama dalam latar belakang identitas yang berbeda-beda.
 
Tak boleh ada egoisme kelompok. Karena demokrasi, amat mustahil hadir dari kekurangan tersebut.
 
Dalam Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan prospek (1999), John L. Esposito memasukkan egoisme kelompok dan sektarianisme ke dalam kategori sekat alias penghalang terwujudnya kehidupan demokrasi yang otonom dan proporsional.
 
Bahkan Saiful Mujani, dalam Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (2007) menyebut, demokrasi tidak asal gampang dimaknai sebagai majoritarianism. Demokasi bukan suara mayoritas yang mengabaikan kebebasan sipil.
 
Jika keegoisan kelompok semacam ini dibiarkan, maka sektarianisme, radikalisme, fundamentalisme, dan tetek bengek lainnya bisa dengan mudah membajak demokrasi demi kepentingan masing-masing.
 
Inilah keterdesakan yang diambil dalih bagi pemerintah saat menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Keterancaman gerakan yang tak cuma berniat membungkam demokrasi, namun bisa jadi membunuh Indonesia itu sendiri.
 
Perppu Ormas adalah senjata ampuh untuk menyudahi malapraktik demokrasi yang sebelumnya harus ditangani dengan alur bertele-tele. Meski sah saja jika sebagian orang juga bertanya-tanya, sejauh mana jaminan bahwa masa depan Perppu ini tetap berada di jalur demokrasi.
 
Jokowi sudah merestorasi, tapi perlu juga memberikan 'garansi.'
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan