Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama. (MI/Arya Manggala)
Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama. (MI/Arya Manggala)

Jurus HMP untuk Jatuhkan Ahok

Sobih AW Adnan • 03 Juni 2016 20:43
medcom.id, Jakarta: Banyak jalan menuju Roma. Mungkin inilah yang menjadi semangat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk kembali menggulirkan hak menyatakan pendapat (HMP). Sudah hampir sepekan upaya mengumpulkan tandatangan anggota parlemen dilakukan. Penggalangan dukungan yang sempat jalan di tempat pada 2015 lalu itu digulirkan kembali, tujuannya menggoyang Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dari kursi kekuasaannya.
 
Perlu diketahui, HMP merupakan hak anggota DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Hak interpelasi untuk Ahok pernah digulirkan legislatif di tahun yang sama, namun secara seketika dibatalkan dan diganti dengan hak angket. Alasannya, Ahok dianggap telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Jika merujuk pada aturan itu, menurut mereka, Ahok telah bersalah karena menerapkan sistem E-Budgeting dan menyerahkan draft Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tanpa melalui kesepakatan DPRD DKI Jakarta. Baca: Mayoritas DPRD Sepakat Hak Angket, Ahok Tak Peduli
 
Proses hak angket terus berjalan hingga meraup kesepakatan 75% anggota DPRD DKI. Kurang puas, legislatif pun mengembangkan prosesnya menjadi HMP dengan menambahkan anggapan pelanggaran etika dan norma Ahok sebagai pemimpin. Karena Ahok dianggap kerap melemparkan pernyataan yang kontroversial dan kasar. Sayangnya, HMP pun harus terhenti jelang babak akhir.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Pasal 336 ayat 1 huruf b dijelaskan, untuk menggelar paripurna HMP membutuhkan kehadiran minimal tiga perempat atau sekurangnya 80 anggota dari jumlah total anggota DPRD DKI sebanyak 106 orang. HMP juga membutuhkan dukungan dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir. Namun saat dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) kala itu, Fraksi PDI-P yang memiliki anggota terbanyak, yakni 28 orang, dan Fraksi Partai Hanura 10 anggota 'ngadat' tidak memberikan dukungan. Dengan total 38 anggota yang menolak, maka mudah ditebak paripurna HMP tidak akan mencapau kuorum. Peta kekuatan pun mendadak lesu, begitu juga HMP pun; mati suri. Baca: Bamus Tunda Pembahasan HMP Ahok
 
Kini, gairah itu membara kembali. Dengan bermodal desakan dari  Aliansi Masyarakat Jakarta Utara (AMJU), HMP dihidupkan lagi dan sudah terbubuhkan 18 tanda tangan anggota dewan dari empat fraksi. Selain peta politik yang berubah, perbedaan juga tampak dengan bertambahnya tuntutan dengan memasukkan isu-isu paling baru, yakni kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, reklamasi Teluk jakarta, dan rencana penggusuran Kampung Luar Batang. Baca: 18 Anggota DPRD DIK Sepakat Gunakan HMP
 
"Proses (HMP) terus berjalan. Prinsipnya, kita terus mengumpulkan tanda tangan sampai terkumpul 20 orang untuk kemudian diajukan ke ketua DPRD dan meminta digelar rapim (rapat pimpinan). Dalam rapim itu dibuat rapat Bamus, setelah itu dijadwalkan paripurna untuk menyampaikan usul ini," kata anggota Fraksi Gerindra DPRD DKI Syarif kepada metrotvnews.com, Jumat (3/6/2016).
 
Kelanjutan atau baru?
 
Sebagai pelopor dan sosok yang paling getol mendorong HMP sejak tahun lalu, Syarif memastikan proses yang sedang dihidupkannya kembali tersebut adalah kelanjutan dari HMP yang sempat mandek. Syarif merasa tak sepakat, jika HMP kali ini dianggap tak elok oleh beberapa pihak dan harus kembali mengulang menggunakan hak interpelasi.
 
"Ini kelanjutan dari HMP yang lama. Tapi ada tambahan, karena ada aspirasi baru dari AMJU. Tidak harus mengulang, karena HMP kemarin itu bukan gagal, hanya belum sampai menyampaikan usulan. Ceritanya, baru sampai lobi, tapi dari PDIP tidak mengagendakan di rapim, kemudian terpending. Jadi kemarin itu bukan gagal, tapi belum diajukan," kata Syarif.
 
Menurut Syarif, dia dan rekan-rekannya merasa penting untuk kembali mendorong HMP demi perbaikan pemerintahan Ibu Kota. Ada dua opsi yang nantinya akan diusulkan. Pertama, kata Syarif, Gubernur diberhentikan. Atau yang kedua, Gubernur bersedia melakukan perbaikan-perbaikan dalam batas waktu dan pengawasan.
 
"Perbaikan yang dimaksud adalah tunduk pada peraturan, tidak lagi menggunakan Pergub, kemudian meminta maaf atas pernyataan-pernyataan yang melanggar etika dan norma. Seperti saat Gubernur bersama ketua DPRD menghadap Presiden tahun lalu, Gubernur sendiri yang mengatakan siap melakukan perbaikan dengan menunjuk juru bicara untuk menghindari pelanggaran etika dan norma melalui pernyataan-pernyataan kontroversial. Bahkan, katanya itu yang minta Presiden sendiri. Nyatanya, arah ke sana tidak ada. Maka kita yang terus dorong," papar dia.
 
Syarif menyadari menggulirkan HMP hingga menghasilkan putusan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Hak yang bisa berujung pemakzulan itu harus disahkan lewat rapat paripurna yang dihadiri sedikitnya tiga perempat atau 75 persen dari 106 anggota DPRD DKI. Sederhanyanya harus ada 80 orang dan dua pertiga di dalamnya, yakni 53 anggota, berkenan menyepakati usulan.
 
"Ya, ke depan memang berat. Tapi soal opsi tadi saya tidak bisa mewakili pendapat banyak orang. Kalau atas nama Partai Gerindra ya tentu dari awal sudah meminta Ahok mundur, kalau tidak bisa mundur ya dimundurkan melalui mekanisme yang ada melalui HMP. Kami akan terus mendorong," kata Syarif.
 
Selain itu Syarif juga memantapkan pendapat bahwa HMP merupakan bagian dari respon terhadap aspirasi warga DKI Jakarta dalam hal ini diwakili AMJU. Meski banyak juga aspirasi positif mengenai kinerja Ahok, kata dia, itu tidak bisa menghalangi proses dan tahapan HMP.
 
"Suara masyarakat yang positif juga banyak. Tapi mekanismenya kan sudah melalui jalur komisi, tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan (HMP) karena beda persoalan," kata Syarif.
 
HMP dan good governance
 
Pakar hukum dan tata negara Refly Harun menyayangkan bergulirnya HMP oleh para anggota DPRD DKI Jakarta demi menurunkan Ahok dari jabatan Gubernur. Menurut Refly, sebagai lembaga legislatif, DPRD semestinya lebih mengedepankan prinsip pembangunan good governance dibanding kepentingan-kepentingan politik.
 
"Kalau dilihat dari hubungan Gubernur DKI dan DPRD ini memang sentimen dari awal. Pasti dicari-cari kesalahannya. Ini lebih ke motif politik," kata Refly kepada metrotvnews.com. Jumat (3/6/2016).
 
HMP, kata Refly, memang bagian dari hak legislatif. Namun ketika menempuh proses tersebut semestinya DPRD sudah memastikan bukti dan fakta dari kesalahan Gubernur. Proses ini, ujar dia, tidak bisa hanya berdasarkan pada kekuatan asumsi belaka.
 
"Ini kesannya subjektivitas, main politik, karena memang DPRD lembaga politik, ujungnya kuat-kuatan. Makanya, objektivitasnya ada di Mahkamah Agung (MA). Di sana nanti bisa objektif misal bisa mengukur HMP ini masuk akal atau tidak," kata dia.
 
DPRD yang keukeuh HMP ini merupakan kelanjutan dari proses yang terhenti sebelumnya juga menurut Refly kurang tepat. Meskipun semua hak yang dimiliki DPRD tidak mesti diproses secara berurutan, namun menurut dia kesinambungan usulan disarankan tetap ada agar tidak terkesan sesukanya memanfaatkan hak-hak yang ada.
 
"Menurut saya ini enggak fair. Karena (HMP) ini terkait hal-hal baru yang sebelumnya enggak ada. Kalau mau, mereka harus kembali ke angket lagi," ujar dia.
 
HMP dan hak-hak yang dimiliki DPRD dalam memantau kebijakan ekskutif sekelas Gubernur memang dibangun secara prosedural. Namun menurut Refly, secara substansi semua itu harus dikembalikan pada semangat penataan pemerintah yang baik, bukan pada kepentingan politik yang justru pada akhirnya mengaburkan sisi prosedural.
 
"Sebenarnya DPRD bisa menekankan kembali di ke tahap-tahap sebelumnya, meskipun tidak harus berurutan. Misal dimulai dari hak bertanya, interpelasi, angket, dan seterusnya. Jika ini dianggap lanjutan dari proses sebelumnya ya maka tidak nyambung," kata Refly.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan