Jakarta: Efek kekerasan pada perempuan memengaruhi sejumlah hal. Perempuan harus menanggung stigma hingga tekanan mental serta menderita akibat kekerasan.
“Akibat kekerasan yang terjadi kerap menimbulkan efek berantai,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Atnike Nova, dalam diskusi virtual, Senin, 28 Desember 2020.
Atnike mengatakan sosok perempuan diberi peran sosial mengurus anak dan suami. Dampak akibat kekerasan yang dialami membuat perempuan tak maksimal menjalankan peran sosialnya.
“Kemudian pascakonflik kekerasan, perempuan cenderung tidak mendapat akses ekonomi atau politik,” ujar dia.
(Baca: Pandemi Covid-19 dan Kekerasan pada Perempuan di Indonesia)
Bahkan, muncul stigma di masyarakat pada perempuan yang mengalami kekerasan. Misalnya, korban peristiwa 1965-1966. Mereka dicap Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) atau hantu perempuan yang tak bermoral.
Stigma lainnya, pengacau keamanan pada korban tragedi Tanjung Priok 1984. Kemudian, penjarah bagi korban kerusuhan Mei 1998.
“Trauma fisik dan psikis juga dialami korban dan keluarganya,” ujar Atnike.
Atnike menuturkan dalam beberapa kasus, anggota keluarga yang mengalami trauma juga harus dirawat oleh perempuan. Baik itu istri, anak, maupun saudara.
“Pada akhirnya perempuan menjadi tulang punggung sekaligus penanggung beban dampak berantai,” tutur dia.
Jakarta: Efek
kekerasan pada perempuan memengaruhi sejumlah hal. Perempuan harus menanggung stigma hingga tekanan mental serta menderita akibat kekerasan.
“Akibat kekerasan yang terjadi kerap menimbulkan efek berantai,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Atnike Nova, dalam diskusi virtual, Senin, 28 Desember 2020.
Atnike mengatakan sosok perempuan diberi peran sosial mengurus anak dan suami. Dampak akibat kekerasan yang dialami membuat perempuan tak maksimal menjalankan peran sosialnya.
“Kemudian pascakonflik kekerasan, perempuan cenderung tidak mendapat akses ekonomi atau politik,” ujar dia.
(Baca:
Pandemi Covid-19 dan Kekerasan pada Perempuan di Indonesia)
Bahkan, muncul stigma di masyarakat pada perempuan yang mengalami kekerasan. Misalnya, korban peristiwa 1965-1966. Mereka dicap Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) atau hantu perempuan yang tak bermoral.
Stigma lainnya, pengacau keamanan pada korban tragedi Tanjung Priok 1984. Kemudian, penjarah bagi korban kerusuhan Mei 1998.
“Trauma fisik dan psikis juga dialami korban dan keluarganya,” ujar Atnike.
Atnike menuturkan dalam beberapa kasus, anggota keluarga yang mengalami trauma juga harus dirawat oleh perempuan. Baik itu istri, anak, maupun saudara.
“Pada akhirnya perempuan menjadi tulang punggung sekaligus penanggung beban dampak berantai,” tutur dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)