medcom.id, Jakarta: Begitu seorang menteri berhenti dari jabatannya, tetangganya saling berbisik, "Coba taksir, bapak kita itu bakal dijadikan Dubes atau anggota DPA?"
Sepenggal kelakar itu dilempar kolomnis, Mahbub Djunaidi, yang dimuat Merdeka pada 6 Oktober 1981. Bukan mengada-ada, karena memang jabatan Duta Besar (Dubes) era Orde Baru (Orba) amat lekat dengan kesan buangan.
Di masa itu, masyhur bahasa politik 'didubeskan'. Bagi menteri dan pejabat lembaga tinggi yang tak lagi disukai Presiden Soeharto, siap-siap saja angkat koper ke luar negeri.
Anggapan itu nyatanya masih mengendap di benak orang-orang meski Orba telah lama tumbang. Tengok saja, penolakan Kompol Susno Duadji ketika mendengar isu akan diangkat menjadi Dubes di Negeri Jiran, Malaysia.
"Kalau tawaran jadi Dubes itu saya terima, berarti saya dibuang," ujar Susno, seperti dikutip IzHarry Agusjaya Moenzir dalam Bukan Testimoni Susno (2010).
Tapi belakangan, pamor Dubes sedikit bergeser. Bukan lagi buangan. Bahkan, boleh jadi lebih bergengsi dengan bukti bukan menghindar, malah ada juga yang meminta. Yang masih sama cuma satu, pengangkatan para pejabat Dubes tak bisa lari dari wasangka politik. Terlebih ihwal jatah dan bagi-bagi.
Misalnya saja, Tantowi Yahya. Dia tak menampik sama sekali bahwa jabatannya sebagai Dubes untuk Selandia Baru merupakan jatah dari Presiden Joko Widodo untuk Partai Golongan Karya (Golkar). Tentu semua tahu, partai berlambang beringin itu telah merapat ke Pemerintah belakangan hari.
"Golkar memiliki hak sama dengan parpol lain yang sudah lebih dulu bergabung. Termasuk dapat jatah sebagai Dubes," kata Tantowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin 13 Maret 2017.
Presiden Joko Widodo menyampaikan selamat kepada Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) untuk Selandia Baru Tantowi Yahya seusai dilantik di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/3)/MI/PANCA SYURKANI
Ini yang menarik. Padahal sejatinya, Dubes bukan jabatan sembarang. Ia menempati posisi sentral sebagai pejabat diplomatik yang ditugaskan ke pemerintahan asing berdaulat. Dubes adalah representasi dari negara yang diwakilinya.
Yang namanya mewakili negara, tentu harus memiliki kecakapan makro. Bukan satu-dua bidang belaka, melainkan total keseluruhan urusan pemerintahan. Meski ketika mentok, atau menyentuh babak memutus kebijakan, tentu kepala pemerintahan yang mengetuk palu.
Intinya, jika menilik Pasal 29 Ayat 2 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Dubes adalah perwakilan pribadi Presiden selaku representasi rakyat untuk berhubungan dengan negara akreditasi dan mengambil manfaat semaksimal mungkin darinya.
Sampai pada titik ini, sudah waktunya pos jabatan Dubes jauh dari anggapan sebagai sisa deal terakhir dalam transaksi politik.
Khusus di soal jumlah, penerus misi internasional Indonesia ini memiliki angka yang tidak sederhana. Saat ini, ada 99 Kedutaan Besar (Kedubes) yang tersebar di berbagai negara dan organisasi internasional. Jika ditambah 17 penugasan baru, maka jatuhnya akan lebih besar dibanding kebanyakan negara selain Amerika Serikat, Rusia, Jepang, dan Tiongkok.
Lalu, seimbangkah jumlah itu dengan kepentingan luar negeri Indonesia yang ingin dicapai? Harus.
Ketika melepas 17 Dubes baru, Presiden Joko Widodo menitipkan setidaknya empat hal penting. Pertama, penjagaan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini berkaitan dengan adanya sejumlah upaya negara lain yang mengklaim perairan atau kepulauan milik Indonesia.
Kedua, perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, baik yang terjerat perkara atau tidak. Ini, bisa saja menimbang kasus pembunuhan saudara tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un, Kim Jong-Nam, yang menyeret warga Tangerang, Siti Aisyah.
Ketiga, diplomasi dan kerjasama ekonomi. Indonesia masih perlu mengembangkan kerjasama ekonomi dengan mitra yang sebenarnya memiliki potensi besar tetapi dirasa kurang dimaksimalkan. Khususnya di Afrika, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Amerika Latin.
Sementara yang terakhir, memastikan Indonesia memiliki peranan penting di dunia.
Nah, soal ini, agaknya Indonesia mesti belajar dari saudara tua, India. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja, India mampu mewarnai dengan menyerukan reformasi Dewan Keamanan (DK) PBB selama beberapa dekade. Di sana, India nyaris sendirian memperjuangkan isu keterwakilan wilayah dalam struktur keanggotaan PBB. Kemampuan dan kegigihan para Diplomat India, tak diragukan lagi.
Tapi, tak usahlah melempar mimpi terlampau jauh. Seriusi saja seabrek pekerjaan rumah (PR) semisal di Malaysia dan Arab Saudi. Di dua negara itu, banyak WNI yang nasib hidupnya digantungkan pada lobi-lobi diplomasi.
Di Arab Saudi, misalnya. Dari 1,6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ada, 25 WNI di antaranya terancam hukuman pancung, serta tak sedikit lainnya mengalami tindak kekerasan.
Maka, jika menimbang tugas dan PR yang berat, jelas, Dubes bukanlah orang-orang buangan. Mereka orang-orang yang butuh diantar, bila perlu diawasi. Agar tidak ada lagi oknum keluarga pejabat tinggi yang menganggapnya cuma sarana antar-jemput saat pelesiran ke luar negeri.
medcom.id, Jakarta: Begitu seorang menteri berhenti dari jabatannya, tetangganya saling berbisik, "Coba taksir, bapak kita itu bakal dijadikan Dubes atau anggota DPA?"
Sepenggal kelakar itu dilempar kolomnis, Mahbub Djunaidi, yang dimuat
Merdeka pada 6 Oktober 1981. Bukan mengada-ada, karena memang jabatan Duta Besar (Dubes) era Orde Baru (Orba) amat lekat dengan kesan buangan.
Di masa itu, masyhur bahasa politik 'didubeskan'. Bagi menteri dan pejabat lembaga tinggi yang tak lagi disukai Presiden Soeharto, siap-siap saja angkat koper ke luar negeri.
Anggapan itu nyatanya masih mengendap di benak orang-orang meski Orba telah lama tumbang. Tengok saja, penolakan Kompol Susno Duadji ketika mendengar isu akan diangkat menjadi Dubes di Negeri Jiran, Malaysia.
"Kalau tawaran jadi Dubes itu saya terima, berarti saya dibuang," ujar Susno, seperti dikutip IzHarry Agusjaya Moenzir dalam
Bukan Testimoni Susno (2010).
Tapi belakangan, pamor Dubes sedikit bergeser. Bukan lagi buangan. Bahkan, boleh jadi lebih bergengsi dengan bukti bukan menghindar, malah ada juga yang meminta. Yang masih sama cuma satu, pengangkatan para pejabat Dubes tak bisa lari dari wasangka politik. Terlebih ihwal jatah dan bagi-bagi.
Misalnya saja, Tantowi Yahya. Dia tak menampik sama sekali bahwa jabatannya sebagai Dubes untuk Selandia Baru merupakan jatah dari Presiden Joko Widodo untuk Partai Golongan Karya (Golkar). Tentu semua tahu, partai berlambang beringin itu telah merapat ke Pemerintah belakangan hari.
"Golkar memiliki hak sama dengan parpol lain yang sudah lebih dulu bergabung. Termasuk dapat jatah sebagai Dubes," kata Tantowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin 13 Maret 2017.
Presiden Joko Widodo menyampaikan selamat kepada Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) untuk Selandia Baru Tantowi Yahya seusai dilantik di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/3)/MI/PANCA SYURKANI
Ini yang menarik. Padahal sejatinya, Dubes bukan jabatan sembarang. Ia menempati posisi sentral sebagai pejabat diplomatik yang ditugaskan ke pemerintahan asing berdaulat. Dubes adalah representasi dari negara yang diwakilinya.
Yang namanya mewakili negara, tentu harus memiliki kecakapan makro. Bukan satu-dua bidang belaka, melainkan total keseluruhan urusan pemerintahan. Meski ketika mentok, atau menyentuh babak memutus kebijakan, tentu kepala pemerintahan yang mengetuk palu.
Intinya, jika menilik Pasal 29 Ayat 2 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Dubes adalah perwakilan pribadi Presiden selaku representasi rakyat untuk berhubungan dengan negara akreditasi dan mengambil manfaat semaksimal mungkin darinya.
Sampai pada titik ini, sudah waktunya pos jabatan Dubes jauh dari anggapan sebagai sisa
deal terakhir dalam transaksi politik.
Khusus di soal jumlah, penerus misi internasional Indonesia ini memiliki angka yang tidak sederhana. Saat ini, ada 99 Kedutaan Besar (Kedubes) yang tersebar di berbagai negara dan organisasi internasional. Jika ditambah 17 penugasan baru, maka jatuhnya akan lebih besar dibanding kebanyakan negara selain Amerika Serikat, Rusia, Jepang, dan Tiongkok.
Lalu, seimbangkah jumlah itu dengan kepentingan luar negeri Indonesia yang ingin dicapai? Harus.
Ketika melepas 17 Dubes baru, Presiden Joko Widodo menitipkan setidaknya empat hal penting.
Pertama, penjagaan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini berkaitan dengan adanya sejumlah upaya negara lain yang mengklaim perairan atau kepulauan milik Indonesia.
Kedua, perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, baik yang terjerat perkara atau tidak. Ini, bisa saja menimbang kasus pembunuhan saudara tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un, Kim Jong-Nam, yang menyeret warga Tangerang, Siti Aisyah.
Ketiga, diplomasi dan kerjasama ekonomi. Indonesia masih perlu mengembangkan kerjasama ekonomi dengan mitra yang sebenarnya memiliki potensi besar tetapi dirasa kurang dimaksimalkan. Khususnya di Afrika, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Amerika Latin.
Sementara yang terakhir, memastikan Indonesia memiliki peranan penting di dunia.
Nah, soal ini, agaknya Indonesia mesti belajar dari saudara tua, India. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja, India mampu mewarnai dengan menyerukan reformasi Dewan Keamanan (DK) PBB selama beberapa dekade. Di sana, India nyaris sendirian memperjuangkan isu keterwakilan wilayah dalam struktur keanggotaan PBB. Kemampuan dan kegigihan para Diplomat India, tak diragukan lagi.
Tapi, tak usahlah melempar mimpi terlampau jauh. Seriusi saja seabrek pekerjaan rumah (PR) semisal di Malaysia dan Arab Saudi. Di dua negara itu, banyak WNI yang nasib hidupnya digantungkan pada lobi-lobi diplomasi.
Di Arab Saudi, misalnya. Dari 1,6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ada, 25 WNI di antaranya terancam hukuman pancung, serta tak sedikit lainnya mengalami tindak kekerasan.
Maka, jika menimbang tugas dan PR yang berat, jelas, Dubes bukanlah orang-orang buangan. Mereka orang-orang yang butuh diantar, bila perlu diawasi. Agar tidak ada lagi oknum keluarga pejabat tinggi yang menganggapnya cuma sarana antar-jemput saat pelesiran ke luar negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)