medcom.id, Jakarta: Simbol keagungan bisnis minyak itu akhirnya tunduk pada rasionalitas bisnis. Saudi Aramco, perusahaan minyak terbesar di dunia milik pemerintah Saudi Arabia, memutuskan menjual sebagian sahamnya ke publik. Raja Salman bin Abdulaziz al Saud sendiri yang membuat keputusan besar ini.
Langkah melakukan initial public offering (IPO) atau penjualan saham awal tidak mendadak. Platformnya telah disiapkan rapi. Aramco dengan aset bernilai sekitar 26.000 triliun rupiah memainkan peran kunci. Perusahaan minyak simbol kebanggaan Arab Saudi itu berencana melepas lima persen sahamnya. Pasar modal di New York dan Hong Kong kabarnya dipilih menjadi tempat menjual saham.
Bukan rahasia lagi, hasil penjualan minyak yang fluktuatif dan terus merosot menjadi pangkal pelepasan saham Aramco. Pemerintah kerajaan petro dolar itu sigap merespon. Harus ada rencana besar mengurangi ketergantungan pendapatan dari minyak.
Pilihannya jelas dan tegas. Sebagian saham Aramco dilepas. Rute meraup dana publik dilempangkan. Dana investasi publik (public investment fund) diraih dengan melepas saham ke investor. Investor asing oke, investor dalam negeri Arab Saudi sendiri juga oke. Targetnya, dengan melepas 5 persen saham Aramco, dana publik sebesar 3 triliun dolar masuk ke kantong pemerintah Saudi. Defisit anggaran akibat merosotnya penjualan minyak bisa ditutup.
Apakah rute mengeruk pundi-pundi ini akan mulus? Mari kita lihat peta jalan yang dirancang pemerintah Arab Saudi.
Tahun 2015 pemerintah Saudi memutuskan pasar modal Tadawul – satu-satunya pasar modal di Arab Saudi – terbuka bagi masuknya investor asing. Langkah ini ditempuh hati-hati. Penjualan saham Aramco di Tadawul bermakna ganda. Pertama, mendorong berkembangnya Tadawul dan memperluas pasar saham dan obligasi di Saudi. Kedua, investor internasional dipersilakan masuk meramaikan pasar modal. Para investor kini punya pilihan lebih. Mereka tidak hanya berinvestasi melalui foreign direct investment. Mereka juga bisa bermain di pasar modal.
Masalahnya, apa realistis hitung-hitungan raihan 3 triliun dolar dana publik itu? Di sinilah pokok soalnya. Wood Mackenzie, sebuah perusahaan konsultan internasional terkemuka, punya perhitungan lain. Perusahaan konsultan itu memperkirakan aset Aramco “hanya”bernilai 400 miliar dolar. Dengan menjual lima persen sahamnya, Aramco akan meraup dana segar antara 20 sampai 100 miliar dolar
Tantangan
Penawaran saham ke publik sejatinya menyimpan banyak tantangan. Saudi Aramco pun tak luput. The Oxford for Energy Studies pada bulan Juli 2016 lalu memunculkan analisis menarik. Dalam tulisan bertajuk Saudi Arabia’s Vision 2030, Oil Policy and the Energy Sector, sejumlah fakta diungkap.
Dalam Visi 2030 tidak jelas kerangka waktu penawaran saham Aramco. Hanya diumumkan terjadi pada 2017-2018. Analisis itu juga menyoal cadangan minyak dan harga minyak yang berpeluang menimbulkan masalah.
Aramco tidak menguasai cadangan minyak. Perusahaan itu hanya memonopoli produksi minyak dari cadangan yang tersedia. Perhitungan nilai saham tidak didasarkan pada kejelasan informasi cadangan minyak. Harga saham potensial tidak jelas. Pasalnya, perhitungan harga saham hanya mengandalkan cash flow berbasis keuntungan per barel dari volume minyak yang diproduksi.
Keuntungan minyak per barel bersifat tidak pasti. Tergantung pada tingkat pajak dan royalti yang wajib dibayar Aramco pada pemerintah Arab Saudi. Jika pajak dan royalti yang dibayarkan tinggi keuntungan per barel bisa turun.
Penjualan saham Aramco di pasar modal luar negeri juga musti sejalan dengan banyak kewajiban. Sebut saja, soal kejelasan informasi mengenai basis produksi. Meski saham Aramco dijual atas nama perusahaan, atau di luar pemerintah Saudi, resiko tetap bisa menimpa pemerintah Saudi. Informasi basis produski yang tidak jelas bisa berakibat pemerintah saudi dianggap melanggar aturan. Di sisi lain, jika Aramco kehilangan status sebagai “perusahaan minyak nasional” ia berisiko terkena aturan anti-trust. Risiko macam itu wajib dihindari Aramco.
Risiko lainnya terkait keterbukaan informasi tata kelola. Sejatinya, dengan menguasai lima persen saham, publik tidak berdaya. Akses dan kontrol terhadap tata kelola Aramco sepenuhnya di bawah pemerintah Arab Saudi. Jauh tak tersentuh oleh publik.
Restrukturisasi Aramco
Raja Salman membuat terobosan besar dengan merestrukturisasi Saudi Aramco. Penguasa tertinggi Arab Saudi itu memisahkan Saudi Aramco dari Kementerian Minyak yang sangat berkuasa. Putra Raja Salman, Pangeran Muhammad bin Salman, ada di belakang restrukturisasi ini. Ujungnya, sebuah lembaga benama Dewan Tertinggi Saudi Aramco didirikan. Pangeran Muhammad bin Salman yang juga wakil putra mahkota memimpin dewan tertinggi itu.
Restrukturisasi Aramco sangat fokus. Targetnya, rakasa BUMN Arab Saudi itu menjadi organisasi komersial penuh. Siap bersaing dengan perusahaan minyak raksasa lainnya. Perusahaan dengan keuntungan lebih dari 1 miliar dolar per hari itu juga diberi kebebasan membuat keputusan komersial.
Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud (kiri) melambaikan tangan saat kunjungan kenegaraan, di beranda Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/3)/ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Bagaimanapun, ada ambisi besar di belakang restrukturisasi ini. Dengarlah penilaian Gaurav Agnihotri, pengamat bisnis minyak berbasis di Dubai. Dalam laman OilPrice.com Gaurav menegaskan Aramco tidak akan ragu menggenjot kapasistas produksi dan eksplorasi. Aramco berambisi mampu mengamankan pasokan minyak dunia. Tidak hanya itu. Aramco siap meredam gejolak krisis minyak kapanpun terjadi.
Seperkasa itukah Saudi Aramco?
Peneliti senior pada INSEAD Innovation and Policy Initiative, Yasser al Saleh, membuat analisa kritis. Ada pesan penting kata Yasser. Penjualan saham Aramco bukan urusan duwit semata. Ada pesan politik tidak ada lagi ada sektor bisnis yang bebas dari privatisasi. Tidak peduli menguntungkan atau tidak, telah terjadi perubahan besar. Ada cara mengelola bisnis yang sepenuhnya berbeda dengan era sejarah sebelumnya. Yasser menamai cara bisnis baru ini “revolusi Thatcherisme untuk Saudi Arabia”. Yasser merujuk pada revolusi Margaret Thatcher di Inggris yang sukses dengan kebijakan ekonomi neoliberal. Kita mahfum, paham ekonomi itu sangat memuja pasar.
Hari ini, Raja Salman mengunjungi Indonessia. Juga beberapa negara Asia lainnya. Nick Cunningham di laman OilPrice.com membuat ulasan menarik muhibah Raja Salman ini. Ia memberi judul artikelnya dengan sedikit seloroh: “Saudi King Goes East In Search Of Friends And Cash”.
Ya, Raja Saudi berkunjung ke Asia Timur untuk mencari sahabat dan mendapatkan pundi-pundi.
Beruntung Indonesia dan banyak negara Asia menerima Saudi sebagai sahabat sejati. Mungkin saja, sebutan yang tepat sedikit beda: Saudi adalah mitra bisnis sejati.
medcom.id, Jakarta: Simbol keagungan bisnis minyak itu akhirnya tunduk pada rasionalitas bisnis. Saudi Aramco, perusahaan minyak terbesar di dunia milik pemerintah Saudi Arabia, memutuskan menjual sebagian sahamnya ke publik. Raja Salman bin Abdulaziz al Saud sendiri yang membuat keputusan besar ini.
Langkah melakukan
initial public offering (IPO) atau penjualan saham awal tidak mendadak.
Platformnya telah disiapkan rapi. Aramco dengan aset bernilai sekitar 26.000 triliun rupiah memainkan peran kunci. Perusahaan minyak simbol kebanggaan Arab Saudi itu berencana melepas lima persen sahamnya. Pasar modal di New York dan Hong Kong kabarnya dipilih menjadi tempat menjual saham.
Bukan rahasia lagi, hasil penjualan minyak yang fluktuatif dan terus merosot menjadi pangkal pelepasan saham Aramco. Pemerintah kerajaan petro dolar itu sigap merespon. Harus ada rencana besar mengurangi ketergantungan pendapatan dari minyak.
Pilihannya jelas dan tegas. Sebagian saham Aramco dilepas. Rute meraup dana publik dilempangkan. Dana investasi publik (
public investment fund) diraih dengan melepas saham ke investor. Investor asing oke, investor dalam negeri Arab Saudi sendiri juga oke. Targetnya, dengan melepas 5 persen saham Aramco, dana publik sebesar 3 triliun dolar masuk ke kantong pemerintah Saudi. Defisit anggaran akibat merosotnya penjualan minyak bisa ditutup.
Apakah rute mengeruk pundi-pundi ini akan mulus? Mari kita lihat peta jalan yang dirancang pemerintah Arab Saudi.
Tahun 2015 pemerintah Saudi memutuskan pasar modal Tadawul – satu-satunya pasar modal di Arab Saudi – terbuka bagi masuknya investor asing. Langkah ini ditempuh hati-hati. Penjualan saham Aramco di Tadawul bermakna ganda.
Pertama, mendorong berkembangnya Tadawul dan memperluas pasar saham dan obligasi di Saudi.
Kedua, investor internasional dipersilakan masuk meramaikan pasar modal. Para investor kini punya pilihan lebih. Mereka tidak hanya berinvestasi melalui foreign direct investment. Mereka juga bisa bermain di pasar modal.
Masalahnya, apa realistis hitung-hitungan raihan 3 triliun dolar dana publik itu? Di sinilah pokok soalnya. Wood Mackenzie, sebuah perusahaan konsultan internasional terkemuka, punya perhitungan lain. Perusahaan konsultan itu memperkirakan aset Aramco “hanya”bernilai 400 miliar dolar. Dengan menjual lima persen sahamnya, Aramco akan meraup dana segar antara 20 sampai 100 miliar dolar
Tantangan
Penawaran saham ke publik sejatinya menyimpan banyak tantangan. Saudi Aramco pun tak luput.
The Oxford for Energy Studies pada bulan Juli 2016 lalu memunculkan analisis menarik. Dalam tulisan bertajuk
Saudi Arabia’s Vision 2030, Oil Policy and the Energy Sector, sejumlah fakta diungkap.
Dalam Visi 2030 tidak jelas kerangka waktu penawaran saham Aramco. Hanya diumumkan terjadi pada 2017-2018. Analisis itu juga menyoal cadangan minyak dan harga minyak yang berpeluang menimbulkan masalah.
Aramco tidak menguasai cadangan minyak. Perusahaan itu hanya memonopoli produksi minyak dari cadangan yang tersedia. Perhitungan nilai saham tidak didasarkan pada kejelasan informasi cadangan minyak. Harga saham potensial tidak jelas. Pasalnya, perhitungan harga saham hanya mengandalkan
cash flow berbasis keuntungan per barel dari volume minyak yang diproduksi.
Keuntungan minyak per barel bersifat tidak pasti. Tergantung pada tingkat pajak dan royalti yang wajib dibayar Aramco pada pemerintah Arab Saudi. Jika pajak dan royalti yang dibayarkan tinggi keuntungan per barel bisa turun.
Penjualan saham Aramco di pasar modal luar negeri juga musti sejalan dengan banyak kewajiban. Sebut saja, soal kejelasan informasi mengenai basis produksi. Meski saham Aramco dijual atas nama perusahaan, atau di luar pemerintah Saudi, resiko tetap bisa menimpa pemerintah Saudi. Informasi basis produski yang tidak jelas bisa berakibat pemerintah saudi dianggap melanggar aturan. Di sisi lain, jika Aramco kehilangan status sebagai “perusahaan minyak nasional” ia berisiko terkena aturan
anti-trust. Risiko macam itu wajib dihindari Aramco.
Risiko lainnya terkait keterbukaan informasi tata kelola. Sejatinya, dengan menguasai lima persen saham, publik tidak berdaya. Akses dan kontrol terhadap tata kelola Aramco sepenuhnya di bawah pemerintah Arab Saudi. Jauh tak tersentuh oleh publik.
Restrukturisasi Aramco
Raja Salman membuat terobosan besar dengan merestrukturisasi Saudi Aramco. Penguasa tertinggi Arab Saudi itu memisahkan Saudi Aramco dari Kementerian Minyak yang sangat berkuasa. Putra Raja Salman, Pangeran Muhammad bin Salman, ada di belakang restrukturisasi ini. Ujungnya, sebuah lembaga benama Dewan Tertinggi Saudi Aramco didirikan. Pangeran Muhammad bin Salman yang juga wakil putra mahkota memimpin dewan tertinggi itu.
Restrukturisasi Aramco sangat fokus. Targetnya, rakasa BUMN Arab Saudi itu menjadi organisasi komersial penuh. Siap bersaing dengan perusahaan minyak raksasa lainnya. Perusahaan dengan keuntungan lebih dari 1 miliar dolar per hari itu juga diberi kebebasan membuat keputusan komersial.
Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud (kiri) melambaikan tangan saat kunjungan kenegaraan, di beranda Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/3)/ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Bagaimanapun, ada ambisi besar di belakang restrukturisasi ini. Dengarlah penilaian Gaurav Agnihotri, pengamat bisnis minyak berbasis di Dubai. Dalam laman
OilPrice.com Gaurav menegaskan Aramco tidak akan ragu menggenjot kapasistas produksi dan eksplorasi. Aramco berambisi mampu mengamankan pasokan minyak dunia. Tidak hanya itu. Aramco siap meredam gejolak krisis minyak kapanpun terjadi.
Seperkasa itukah Saudi Aramco?
Peneliti senior pada INSEAD Innovation and Policy Initiative, Yasser al Saleh, membuat analisa kritis. Ada pesan penting kata Yasser. Penjualan saham Aramco bukan urusan duwit semata. Ada pesan politik tidak ada lagi ada sektor bisnis yang bebas dari privatisasi. Tidak peduli menguntungkan atau tidak, telah terjadi perubahan besar. Ada cara mengelola bisnis yang sepenuhnya berbeda dengan era sejarah sebelumnya. Yasser menamai cara bisnis baru ini “
revolusi Thatcherisme untuk Saudi Arabia”. Yasser merujuk pada revolusi Margaret Thatcher di Inggris yang sukses dengan kebijakan ekonomi neoliberal. Kita mahfum, paham ekonomi itu sangat memuja pasar.
Hari ini, Raja Salman mengunjungi Indonessia. Juga beberapa negara Asia lainnya. Nick Cunningham di laman
OilPrice.com membuat ulasan menarik muhibah Raja Salman ini. Ia memberi judul artikelnya dengan sedikit seloroh:
“Saudi King Goes East In Search Of Friends And Cash”.
Ya, Raja Saudi berkunjung ke Asia Timur untuk mencari sahabat dan mendapatkan pundi-pundi.
Beruntung Indonesia dan banyak negara Asia menerima Saudi sebagai sahabat sejati. Mungkin saja, sebutan yang tepat sedikit beda: Saudi adalah mitra bisnis sejati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIN, SBH)