Ilustrasi. Sejumlah kaum ibu menggunakan baju kurung tradisional Minang, pada kegiatan
Ilustrasi. Sejumlah kaum ibu menggunakan baju kurung tradisional Minang, pada kegiatan

Salah Kaprah tentang Hari Ibu

20 Desember 2017 12:23
Jakarta: Hari ibu di Indonesia umumnya dikenal sebagai peringatan untuk menghargai jasa dan peran ibu dalam sebuah keluarga. Peringatan ini biasanya dilakukan dengan membebastugaskan ibu dari urusan rumah tangga dan hal-hal terkait lainnya.
 
Tapi tahukah Anda, setiap 22 Desember bukanlah hari untuk memperingati 'mothers day'?
 
"Hari ibu selama ini dimaknai oleh masyarakat Indonesia sebagai 'mothers day', padahal bukan. Sejarah hari ibu 22 Desember itu dimulai pada 1928 ketika kongres perempuan pertama digelar di Indonesia," ungkap Dirjen Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Triana Wulandari, dalam Melawan Lupa, Selasa 11 Desember 2017.

Pada masa itu, kata Triana, para perempuan di Indonesia berjuang untuk mengupayakan kesetaraan gender agar bisa berdiri sejajar dengan laki-laki. Kebangkitan gerakan masa kolonial ini ditandai dengan Kongres Perempuan pertama yang diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
 
"Kongres ini bertujuan untu memperjuangkan hak perempuan terutama dalam pendidikan dan pernikahan," katanya.
 
Dalam kongres tersebut, para perempuan Nusantara bukan hanya bicara tentang politik antikolonialisme atau nasionalisme yang muncul di Indonesia. Namun juga isu lain terkait perempuan seperti poligami, pendidikan, hingga kesehatan.
 
Sebelum Kongres Perempuan pertama digelar, organisasi-organisasi perempuan yang bersifat kedaerahan maupun keagamaan sudah lebih dulu muncul di sejumlah kota. Sebutlah Putri Mardika yang didirikan pada 1912 dan menjadi organisasi perempuan pertama di Nusantara.
 
Peneliti Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) Ruth Indiah Rahayu mengatakan sebenarnya Putri Mardika bukanlah satu-satunya organisasi perempuan yang berdiri saat itu. Pada 1908 sayap perempuan sudah berdiri di dalam organisasi Budi Utomo.
 
Dalam organisasi Budi Utomo, muncullah nama Suyatin Kartowiyono yang kemudian mendirikan Perwari, organisasi perempuan lainnya,
 
"Prosesnya cukup menarik. Dari kesadaran individu rata-rata membaca (buku) Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, mulai muncul kesadaran membentuk organisasi-organisasi perempuan dan sekolah-sekolah (untuk perempuan," kata Ruth.
 
Tak lama setelah Putri Mardika berdiri, muncul organisasi perempuan lain seperti organisasi perempuan Muhammadiyah yakni Aisyiyah disusul dengan organisasi Katolik dan Protestan.
 
Pada masa ini sejumlah organisas dan partai politik juga ikut serta mendirikan organisasi sayap perempuan untuk ikut bersinergi.
 
Komunikasi dari tahun ke tahun antargerakan perempuan yang terus menguat akhirnya mencetuskan digelarnya Kongres Perempuan pertama pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
 
Kongres yang dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan ini menghasilkan sejumlah keputusan. Di antaranya pembentukan Persatuan Perempuan Indonesia (PPI) yang merupakan federasi organisasi perempuan di Indonesia.
 
Pada dekade 1930-an gerakan perempuan kian berkembang pesat. Di era ini pula kesadaran nasionalisme para perempuan Indonesia kian tumbuh bahkan ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan.
 
"Ukuran kemajuan organisasi perempuan saat itu bisa dilihat dari segi aktivitasnya. Tidak hanya pendidikan tapi juga dalam perkawinan bahkan perempuan juga mulai menulis dan ikut masuk ke ranah sastra," ungkap Ruth.
 
Sayangnya, saat Jepang mulai menjajah Indonesia pada 1942 semua organisasi perempuan Indonesia dilarang. Kala itu Jepang hanya melegalkan satu organisasi perempuan bernama Fujinkai atau barisan perempuan besutan Jepang.
 
Fujinkai terdiri dari istri-istri masyarakat Bumiputera yang bekerja pada Jepang. Fujinkai dimobiliasai Jepang untuk pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan bangsa Nippon yang menjajah Indonesia saat itu.
 
"Perempuan yang terdidik dalam arti anak-anak pegawai pemerintah Belanda atau anggota Fujinkai juga banyak yang ditipu. Dalih disekolahkan ke luar negeri tetapi sebenarnya mereka dijadikan budak seksual," kata Ruth.
 
Akibat penjajahan Jepang, sejumlah gerakan perempuan nasional terpaksa bergerak di bawah tanah. Pada masa ini tidak sedikit aktivis yang dipenjara bahkan dibunuh oleh tentara Jepang.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan