Kepala Badan Restorasi Gambut Nizar Fuad dalam acara  Focus Group Discussion (FGD) di Kantor Redaksi Media Group, Jakarta, Selasa (1/3). Foto: MTVN/Surya Perkasa
Kepala Badan Restorasi Gambut Nizar Fuad dalam acara Focus Group Discussion (FGD) di Kantor Redaksi Media Group, Jakarta, Selasa (1/3). Foto: MTVN/Surya Perkasa

Pemerintah Kebut Restorasi Lahan Gambut

Surya Perkasa • 01 Maret 2016 23:01
medcom.id, Jakarta: Persoalan kebakaran lahan dari ekspansi lahan gambut menjadi perhatian pemerintah Joko Widodo. Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016, pemerintah tengah mengebut proses restorasi lahan gambut yang berdayaguna tinggi tapi dieksploitasi berlebihan.
 
“Saat ini kita tengah mengerjakan beberapa restorasi peat atau lahan gambut, bersama teman-teman yang sudah punya program,” kata Kepala BRG Nizar Fuad di Kantor Media Group, Selasa (1/3/2016)
 
Di sela Focus Group Discussion (FGD) Pengelolaan Lahan Gambut Lestari yang diadakan Media Research Center (MRC) Nizar menyebutkan proses restorasi lahan gambut memang wajib dilakukan dan disegerakan. Sebab, gambut punya potensi besar dan bahaya bila dibiarkan rusak.
 
Karakter hidrologi gambut yang basah dan berkubah dapat berbahaya kepada ekosistem. Permukiman di sekitar kawasan gambut dibayang-bayangi bencana banjir jika hidrologi gambut tidak dijaga.
 
“Kubah gambut memisahkan dua buah sungai. Kalau semisalnya kempes, sungai meluap akan menyebabkan banjir di lahan tersebut. Kalau misalnya ada desa, banjirnya bisa sampai bermeter-meter dalamnya,” kata dia.
 
Alumni Universitas Gadjah Mada ini juga menjelaskan, lahan gambut yang dibiarkan rusak dapat menyebabkan kerusakan ekosistem tergantung dari jenis tanah di bawah gambut. Jika gambut rusak berada di atas tanah berpasir dapat menjadi gurun, sedangkan di atas tanah lempung yang liat akan sulit untuk ditanami. Padahal, lahan gambut bernilai nilai ekonomi tinggi.
 
Tidak hanya itu, sifat tanah di lahan gambut juga ada yang mengandung sulfur dioksida. Jika kering dan dibiarkan teroksidasi, asam sulfat terbentuk dan menyebakan sumber air terkontaminasi. “Jika lahan gambut itu kalau gambutnya habis, dapat berbahaya tergantung jenis tanah di bawahnya,” kata dia.
 
Moratorium pembukaan lahan gambut yang dilakukan pemerintah sebenarnya bertujuan untuk mengatasi penurunan kondisi kubah. Jika pemberian izin tetap diberikan, lahan gambut akan mengalami subsiden hingga 1 meter lebih di tahun pertama. “Walaupun di tahun-tahun berikutnya hanya sekitar 10 cm,” pungkas Nizar.
 
Kebut pemetaan dan zonasi
 
Pemerintah yang dipimpin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dikoordinasikan oleh Badan Restorasi Gambut, juga tengah mempercepat pembuatan peta berskala besar. Peta radar topografi berskala 1:5.000 ini digunakan untuk keperluan pengelolaan lahan gambut dan proses restorasi, serta memperbaiki zonasi penggunaan lahan di Indonesia yang banyak bermasalah.
 
Nizar mengatakan, pemetaan radar yang sangat detail ini sangat diperlukan untuk pengerjaan restorasi lahan, melihat ekspansi kanal di lahan gambut, serta untuk memberikan prioritas lahan-lahan gambut yang dapat segera dikerjakan. “Bisa mengindikasikan tingkat kekeringan serta lihat kedalaman gambut, yang mengindikasikan nilai penting (lahan),” papar dia.
 
Pemetaan lahan berskala besar ini pun sebenarnya telah didorong banyak pihak, terutama pihak yang tergantung dengan ekploitasi dan penggunaan lahan. “Zonasi fungsi lahan memang perlu dipercepat,” kata Purwadi yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
 
Permasalahan zonasi dan pemetaan yang banyak tumpang tindih, baik itu lahan konservasi, lahan industri atau untuk penggunaan masyarakat. Namun, tegas Nizar, bukan berarti BRG baru bekerja setelah pemetaan lahan gambut selesai. Menurut Nizar peta berskala lebih kecil yang tersedia sudah dapat dipakai.
 
Anggaran yang belum tersedia
 
Wakil Ketua Komisi IV DPR fraksi PAN Viva Yoga Mauladi sempat mempertanyakan anggaran yang akan digunakan BRG. Menurut dia, BRG tidak mungkin tergantung kepada anggaran milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nan kecil.
 
“Untuk mengurusi lingkungan hidup dan hutan Indonesia yang luasnya puluhan juta hektare, cuma diberi jatah anggaran kurang dari 1 persen dari APBN. Nah lalu BRG memakai dana dari siapa untuk restorasi lahan? Dananya tidak kecil,” kata Viva.
 
Dalam lima tahun ke depan, BRG ditugaskan merestorasi 2 juta hektare lahan gambut. Tahun ini saja mereka diberi target “hanya” 600 ribu hektare. Nizar pun mengakui bahwa restorasi memerlukan dana tidak sedikit.
 
“Kalau kita bicara dengan pihak swasta yang pernah menghitung biaya restorasi, mereka perlu US$3.000 (setara Rp40 juta) per hektare. Kita kira-kira tidak sampai segitulah,” kata Nizar.
 
Secara hitungan kasar menggunakan biaya restorasi yang pernah dilakukan swasta, mereka membutuhkan dana sekitar USD1,8 juta (sekitar Rp24 miliar) untuk biaya restorasi 600 ribu hektare lahan. Namun, Nizar menegaskan, dana tersebut tidak terlalu bermasalah karena badan nonstruktural yang dipimpinnya ini juga “menodong” swasta dan NGO.
 
“Akan ada 600 ribu hektare yang direstorasi. Hanya setengahnya APBN. Setengahnya dari donor. Kita pelan-pelan mengarahkan sembari mengerjakan peta dan anggaran. Jadi kita pinjam tangan NGO dan swasta juga,” tegas dia.
 
BRG telah siapkan kebutuhan anggaran dan akan dikosultasikan dengan Kementerian Keuangan pada Rabu (2/3). Nizar namun masih enggan mengungkap jumlah kebutuhan anggaran yang akan masuk di APBN-P 2016 ini.
 
Pemerintahan Jokowi-JK memang masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk membenahi tata kelola lingkungan hidup. Namun mereka tetap mengejar solusi untuk permasalahan lahan dan kebakaran hutan di Indonesia.

Pemerintah Kebut Restorasi Lahan Gambut
Peserta mengikuti Focus Group Discussion (FGD) di Kantor Redaksi Media Group, Jakarta, Selasa (1/3). Foto: MI/Panca Syurkani
 
Diskusi yang digelar Media Research Center (MRC) dengan tema "Pengelolaan Lahan Gambut Lestari Untuk Meminimalisasi Titik Api 2016" menjadi salah satu alat untuk mencari solusi dengan mendudukkan bersama semua pihak berkepentingan. Acara dihadiri Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Kepala Badan Restorasi Gambut Nasir Fuad dan Kasubbid Perencanaan Darurat BNPB Eko Budiman.
 
Tak hanya pemerintah pusat, pejabat daerah juga hadir dalam kegiatan ini. Gubernur Sumsel Alex Noerdin, Gubernur Riau Arsyad Juliandi Rachman, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Kalimantan Tengah dan beberapa provinsi lain terlihat hadir.
 
Beberapa anggota dewan dari DPR dan DPRD provinsi yang terkena bencana kebakaran hutan juga hadir. Sebut saja Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron, dan Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi.
 
Dari pihak swasta tampak Managing Director Asia Pulp & Paper Group (APP) Aida Greenbury, Pakar Lingkungan UGM Tjut Sugandawaty Djohan, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi, dan Direktur PT Sinar Mas Agus Purnomo.
 
Tampak pula Pakar Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB Basuki Sumawinata, Pakar Gambut dari UGM Azwar Maas, Pakar Lingkungan UGM Tjut Sugandawaty Djohan dan Manajer Kampanye Eknas WALHI Kurniawan Sabar.
 
Sebanyak 37 stakeholder lahan gambut dan lingkungan hidup ini duduk bersama untuk berdiskusi mencari solusi. Kesimpulan dari FGD ini pun akan diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SUR)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan