medcom.id, Jakarta: Di pengujung siaran berita malam, wajah yang karib dengan mata pemirsa itu muncul. Dengan begitu tenang, ia kembali mengumumkan harga-harga sembilan bahan pokok. Menteri Penerangan Harmoko, di sanalah ia selalu tampak fasih mengucap kalimat ‘sesuai petunjuk Bapak Presiden’.
“Sidang kabinet hari ini, harga cabai sesuai petunjuk Bapak Presiden harganya lima rupiah, ya... lima rupiah,” ucap Harmoko, sebagaimana ditulis dalam Kick Andy 2: Kumpulan Kisah Inspiratif.
Pemerintah dan pengendalian harga
Di era 1990-an, Orde Baru mengemas segalanya seoalah-olah berada di bawah kendali pemerintah. Sampai-sampai, urusan cabai dan kol gepeng, tak boleh ada harga yang melampaui dari apa yang telah disetujui Presiden Soeharto.
Masa berganti, keran kebebasan dibuka. Tidak boleh lagi ada monopoli, termasuk dari Badan Urusan Logistik (Bulog) yang kala itu berpotensi menjadi sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kekhawatiran serba impor yang akan dinikmati segelintir kelompok sudah tak ada lagi. Namun satu kekurangan hadir pasca-reformasi, kekuatan tangan pemerintah dalam mengendalikan harga-harga tampak berkurang. Termasuk hari ini, di saat harga cabai membumbung tinggi.
Memasuki Desember 2016, harga cabai baik rawit maupun merah mengalami kenaikan sekira Rp2.000 dari harga rata-rata Rp30.000 per kilogram (Kg). Hal itu bertahan hingga memasuki hari raya Natal dan Tahun Baru. Padahal, jika mengacu pada data dari Kementerian Pertanian (Kementan) RI 2016, kedua komoditas ini mengalami surplus sebanyak 230,9 ribu ton untuk cabai merah besar, dan 224,5 ribu ton untuk jenis cabai rawit.
Usai tahun baru, bukannya kembali ke harga normal. Hari kelima penanggalan 2017, masyarakat semakin dihebohkan dengan kenaikan harga cabai, terutama jenis rawit hingga melampaui Rp100.000 untuk tiap kilo gramnya.
Baca: Harga Cabai di Berbagai Daerah Tembus Rp100.000/Kg
Presiden Joko Widodo mengatakan, kenaikan harga terjadi karena pengaruh jumlah pasokan dan permintaan. Dia menyebut cuaca pada 2016 tidak mendukung. Akibatnya, tanaman cabai membusuk, dan banyak petani gagal panen, stok pun jadi terbatas.
“Tahun 2016 kemarin itu musim panen terburuk bagi petani, banyak petani gagal panen karena faktor cuaca,” kata Jokowi di Pasar Induk Kajen, Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (9/1/2017).
Demi mengurangi laju kenaikan harga, Jokowi menjelaskan bahwa Menteri Pertanian Amran Sulaiman tengah membagikan bibit cabai agar harga dapat terkendali di masa mendatang. Menteri Pertanian mencanangkan Gerakan Nasional Penanaman 50 juta Pohon Cabai di Pekarangan yang dipusatkan di Lapangan Tembak Divisi Infantri I Kostrad Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Jokowi juga mengatakan, dalam beberapa hari terakhir, hanya jenis cabai merah besar yang mengalami lonjakan harga cukup signifikan. “Sebenarnya kenaikan harganya masih wajar, cabai rawit merah, Rp100 ribu/kg, cabai merah dan hijau sekitar Rp45-50 ribu/kg,” kata dia.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita membenarkan bahwa harga yang terkerek hanya terjadi di cabai rawit merah. Ia menyebut hingga Rp150 ribu/Kg. Sementara harga cabai merah besar sendiri hanya Rp38 ribu/Kg, cabai merah keriting rerata Rp40 ribu/Kg, sementara cabai rawit hijau sekitar Rp32 ribu hingga Rp50 ribu/Kg.
Baca: Presiden: Kenaikan Harga Cabai Masih Wajar
Dia menjelaskan, kenaikan harga cabai rawit merah utamanya disebabkan oleh faktor iklim. Petani merasa khawatir perubahan iklim yang tak menentu sehingga ngotot memetik lebih awal. Sayangnya, hal itu malah justru membuat cabai rawit merah cepat mengalami pembusukan.
Kondisi itu, belum lagi diperparah akibat distribusi yang sering terhambat. Beban bertambah dengan pengambilan keuntungan berlebih di tingkat pedagang.
Menurut Enggar, bersama Kementan RI, pihaknya telah menyiapkan strategi jitu melalui dorongan peningkatan produksi kepada petani. Hasilnya, produksi cabai merah keriting dan cabai rawit hijau surplus.
“Tapi, disebut Dirjen Hortikultura (Kementan) jumlah pasokannya berkurang semata-mata dari iklim. Karena memang cabai rawit merah itu proses pembusukannya cepat,” kata Enggar di kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jalan MI Ridwan Rais No 5, Jakarta Pusat, Senin (9/1/2017).
Mengamputasi ‘tangan gaib’
Kemendag berjanji, upaya strategis terus dilakukan demi mengembalikan komoditas cabai ke harga normal. Saat ini, pihaknya tengah berkonsentrasi penuh pada usaha perbaikan tata niaga.
“Komunikasi diperkuat. Kemudian dipersiapkan sistem online mulai 2017 ini,” kata Enggar.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri mengatakan kenaikan harga cabai beberapa pekan terakhir justru menjadi pukulan bagi para pedagang tradisional. Pengambilan keuntungan pedagang masih terbilang wajar.
“Kami menerima dari pengepul sudah tinggi,” kata Abdulah kepada Metrotvnews.com, Senin (9/1/2017).
Harga melambung, pedagang merugi lantaran modal yang dikeluarkan makin tinggi. Padahal, kata Abdullah, hasil yang diperoleh dari penjualan tidak seimbang.
“Semisal, harusnya menjual satu ton perhari, tapi hanya bisa terjual setengah ton. Karena daya beli masyarakat menurun,” kata dia.
Yang lebih penting untuk ditindak pemerintah adalah adanya dugaan ‘tangan-tangan gaib’ yang bermain di tengah panjangnya mata rantai distribusi cabai. “Ada indikasi ‘tangan gaib’. Harga sengaja dimainkan. Targetnya keran impor dibuka,” kata dia.
Baca: Mendag Bantah Ada Mafia di Balik Tingginya Harga Cabai Rawit Merah
Terdapat beberapa cara bagi pemerintah demi memperpendek mata rantai distribusi yang ada. Menurut Abdullah, pemerintah mesti menguatkan pengawasan dan intervensi harga.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Syarkawi Rauf membenarkan bahwa selain cuaca, tingginya harga cabai dipengaruhi panjangnya mata rantai distribusi.
KPPU melakukan pemantauan ke empat pasar induk. Dari data yang terekam, rantai panjang itu dimulai dari pengepul yang menjual ke bandar Rp65 ribu/Kg. Sementara tingkat bandar menjual ke agen hingga Rp105/Kg. Agen ke pedagang menjadi Rp110/Kg. Sedangkan di tangan pedagang, cabai dijual rata-rata Rp120/Kg.
“Dari temuan kami, pengambilan keuntungan terbesar ada di pihak bandar,” kata Syarkawi kepada Metrotvnews.com, Senin (9/1/2017).
Dengan mengambil keuntungan besar, kata Syarkawi, maka di situlah letak penumpukan kekuatan pasar. “Kami terus lakukan pendalaman,” kata dia.
Dalam perhitungan tim KPPU, pengaruh cuaca buruk semestinya cuma membanderol cabai maksimal Rp80 ribu/Kg. “Tidak sampai lebih dari Rp100 ribu,” ujar dia.
Pemerintah mesti segera melakukan resi gudang. Ketika memasuki masa panen, hasilnya harus selekasnya ditampung ke gudang sehingga bisa mengatur pasokan dengan lebih baik.
Strategi berikutnya, pemerintah harus secara tegas melakukan pengendalian harga melalui penegakan hukum. Dalam hal ini, pedoman pelaksanaanya cukup mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
“Penegakan hukum dan sanksi bagi yang melanggar harus dilakukan,” kata Syarkawi.
medcom.id, Jakarta: Di pengujung siaran berita malam, wajah yang karib dengan mata pemirsa itu muncul. Dengan begitu tenang, ia kembali mengumumkan harga-harga sembilan bahan pokok. Menteri Penerangan Harmoko, di sanalah ia selalu tampak fasih mengucap kalimat ‘sesuai petunjuk Bapak Presiden’.
“Sidang kabinet hari ini, harga cabai sesuai petunjuk Bapak Presiden harganya lima rupiah, ya... lima rupiah,” ucap Harmoko, sebagaimana ditulis dalam
Kick Andy 2: Kumpulan Kisah Inspiratif.
Pemerintah dan pengendalian harga
Di era 1990-an, Orde Baru mengemas segalanya seoalah-olah berada di bawah kendali pemerintah. Sampai-sampai, urusan cabai dan kol gepeng, tak boleh ada harga yang melampaui dari apa yang telah disetujui Presiden Soeharto.
Masa berganti, keran kebebasan dibuka. Tidak boleh lagi ada monopoli, termasuk dari Badan Urusan Logistik (Bulog) yang kala itu berpotensi menjadi sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kekhawatiran serba impor yang akan dinikmati segelintir kelompok sudah tak ada lagi. Namun satu kekurangan hadir pasca-reformasi, kekuatan tangan pemerintah dalam mengendalikan harga-harga tampak berkurang. Termasuk hari ini, di saat harga cabai membumbung tinggi.
Memasuki Desember 2016, harga cabai baik rawit maupun merah mengalami kenaikan sekira Rp2.000 dari harga rata-rata Rp30.000 per kilogram (Kg). Hal itu bertahan hingga memasuki hari raya Natal dan Tahun Baru. Padahal, jika mengacu pada data dari Kementerian Pertanian (Kementan) RI 2016, kedua komoditas ini mengalami surplus sebanyak 230,9 ribu ton untuk cabai merah besar, dan 224,5 ribu ton untuk jenis cabai rawit.
Usai tahun baru, bukannya kembali ke harga normal. Hari kelima penanggalan 2017, masyarakat semakin dihebohkan dengan kenaikan harga cabai, terutama jenis rawit hingga melampaui Rp100.000 untuk tiap kilo gramnya.
Baca: Harga Cabai di Berbagai Daerah Tembus Rp100.000/Kg
Presiden Joko Widodo mengatakan, kenaikan harga terjadi karena pengaruh jumlah pasokan dan permintaan. Dia menyebut cuaca pada 2016 tidak mendukung. Akibatnya, tanaman cabai membusuk, dan banyak petani gagal panen, stok pun jadi terbatas.
“Tahun 2016 kemarin itu musim panen terburuk bagi petani, banyak petani gagal panen karena faktor cuaca,” kata Jokowi di Pasar Induk Kajen, Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (9/1/2017).
Demi mengurangi laju kenaikan harga, Jokowi menjelaskan bahwa Menteri Pertanian Amran Sulaiman tengah membagikan bibit cabai agar harga dapat terkendali di masa mendatang. Menteri Pertanian mencanangkan Gerakan Nasional Penanaman 50 juta Pohon Cabai di Pekarangan yang dipusatkan di Lapangan Tembak Divisi Infantri I Kostrad Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Jokowi juga mengatakan, dalam beberapa hari terakhir, hanya jenis cabai merah besar yang mengalami lonjakan harga cukup signifikan. “Sebenarnya kenaikan harganya masih wajar, cabai rawit merah, Rp100 ribu/kg, cabai merah dan hijau sekitar Rp45-50 ribu/kg,” kata dia.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita membenarkan bahwa harga yang terkerek hanya terjadi di cabai rawit merah. Ia menyebut hingga Rp150 ribu/Kg. Sementara harga cabai merah besar sendiri hanya Rp38 ribu/Kg, cabai merah keriting rerata Rp40 ribu/Kg, sementara cabai rawit hijau sekitar Rp32 ribu hingga Rp50 ribu/Kg.
Baca: Presiden: Kenaikan Harga Cabai Masih Wajar
Dia menjelaskan, kenaikan harga cabai rawit merah utamanya disebabkan oleh faktor iklim. Petani merasa khawatir perubahan iklim yang tak menentu sehingga ngotot memetik lebih awal. Sayangnya, hal itu malah justru membuat cabai rawit merah cepat mengalami pembusukan.
Kondisi itu, belum lagi diperparah akibat distribusi yang sering terhambat. Beban bertambah dengan pengambilan keuntungan berlebih di tingkat pedagang.
Menurut Enggar, bersama Kementan RI, pihaknya telah menyiapkan strategi jitu melalui dorongan peningkatan produksi kepada petani. Hasilnya, produksi cabai merah keriting dan cabai rawit hijau surplus.
“Tapi, disebut Dirjen Hortikultura (Kementan) jumlah pasokannya berkurang semata-mata dari iklim. Karena memang cabai rawit merah itu proses pembusukannya cepat,” kata Enggar di kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jalan MI Ridwan Rais No 5, Jakarta Pusat, Senin (9/1/2017).
Mengamputasi ‘tangan gaib’
Kemendag berjanji, upaya strategis terus dilakukan demi mengembalikan komoditas cabai ke harga normal. Saat ini, pihaknya tengah berkonsentrasi penuh pada usaha perbaikan tata niaga.
“Komunikasi diperkuat. Kemudian dipersiapkan sistem online mulai 2017 ini,” kata Enggar.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri mengatakan kenaikan harga cabai beberapa pekan terakhir justru menjadi pukulan bagi para pedagang tradisional. Pengambilan keuntungan pedagang masih terbilang wajar.
“Kami menerima dari pengepul sudah tinggi,” kata Abdulah kepada
Metrotvnews.com, Senin (9/1/2017).
Harga melambung, pedagang merugi lantaran modal yang dikeluarkan makin tinggi. Padahal, kata Abdullah, hasil yang diperoleh dari penjualan tidak seimbang.
“Semisal, harusnya menjual satu ton perhari, tapi hanya bisa terjual setengah ton. Karena daya beli masyarakat menurun,” kata dia.
Yang lebih penting untuk ditindak pemerintah adalah adanya dugaan ‘tangan-tangan gaib’ yang bermain di tengah panjangnya mata rantai distribusi cabai. “Ada indikasi ‘tangan gaib’. Harga sengaja dimainkan. Targetnya keran impor dibuka,” kata dia.
Baca: Mendag Bantah Ada Mafia di Balik Tingginya Harga Cabai Rawit Merah
Terdapat beberapa cara bagi pemerintah demi memperpendek mata rantai distribusi yang ada. Menurut Abdullah, pemerintah mesti menguatkan pengawasan dan intervensi harga.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Syarkawi Rauf membenarkan bahwa selain cuaca, tingginya harga cabai dipengaruhi panjangnya mata rantai distribusi.
KPPU melakukan pemantauan ke empat pasar induk. Dari data yang terekam, rantai panjang itu dimulai dari pengepul yang menjual ke bandar Rp65 ribu/Kg. Sementara tingkat bandar menjual ke agen hingga Rp105/Kg. Agen ke pedagang menjadi Rp110/Kg. Sedangkan di tangan pedagang, cabai dijual rata-rata Rp120/Kg.
“Dari temuan kami, pengambilan keuntungan terbesar ada di pihak bandar,” kata Syarkawi kepada
Metrotvnews.com, Senin (9/1/2017).
Dengan mengambil keuntungan besar, kata Syarkawi, maka di situlah letak penumpukan kekuatan pasar. “Kami terus lakukan pendalaman,” kata dia.
Dalam perhitungan tim KPPU, pengaruh cuaca buruk semestinya cuma membanderol cabai maksimal Rp80 ribu/Kg. “Tidak sampai lebih dari Rp100 ribu,” ujar dia.
Pemerintah mesti segera melakukan resi gudang. Ketika memasuki masa panen, hasilnya harus selekasnya ditampung ke gudang sehingga bisa mengatur pasokan dengan lebih baik.
Strategi berikutnya, pemerintah harus secara tegas melakukan pengendalian harga melalui penegakan hukum. Dalam hal ini, pedoman pelaksanaanya cukup mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
“Penegakan hukum dan sanksi bagi yang melanggar harus dilakukan,” kata Syarkawi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)