medcom.id, Jakarta: Iwan Setiawan tidak pernah mengira bakal menjadi salah satu korban tragedi serangan bom bunuh diri di depan gedung Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004.
Sesaat sebelum kejadian, Iwan sedang membonceng istrinya yang hamil delapan bulan untuk periksa kandungan. Saat melintas di depan gedung Kedubes Australia, Jalan H.R. Rasuna Said, Iwan mendengar suara dentuman dan dirinya langsung terempas dari sepeda motor.
"Saat melintas gedung Plaza 89 saya dengar dentuman. Saya bersama istri terpental. Kepala belakang terasa ada yang memukul, mengenai badan trotoar atau gimana saya tidak tahu," kata Iwan dalam seminar Short Course Penguatan Persfektif Korban Terorisme di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 6 April 2017.
Saat itu Iwan mengalami nyeri di bagian kepala. Begitu juga sang istri, mengalami luka pada bagian kepala. Dalam keadaan pusing, Iwan melihat lokasi sekitar porak-poranda. Banyak pecahan kaca berserakan dan suara jeritan.
Saat itu Iwan juga mengalami luka parah di bagian mata kanannya. Ada benda yang menancap yang mengakibatkan pendarahan hebat.
Tak menyerah pada keadaan, Iwan bergegas membawa istrinya yang tergeletak ke rumah sakit terdekat, MMC. Namun, hal itu diurungkan, Iwan takut biaya pengobatan mahal.
"Saya waktu itu berjalan saling memapah, motor saya tinggal karena panik. Saat itu saya menganggur, kemudian saya pikir mahal dan mencari tempat lain," kenang Iwan.
Usai mengurungkan niatnya, Iwan kembali ke tempat semula mengambil motornya. Beruntung motornya bisa dinyalakan. Iwan mencari pertolongan di halte dekat Universitas Perbanas. Di tempat tersebut, Iwan dan Istri ditolong sejumlah pemuda.
Iwan dibawa ke rumah sakit Aini yang masih di kawasan Kuningan. "Saya dioperasi untuk mengangkat besi yang nancap, istri dilarikan ke RS Budi Kemuliaan karena kontraksi," ceritanya.
Iwan bersyukur, meski baru delamapn bulan, istrinya melahirkan normal dan anaknya selamat. "Kuasa Allah, istri lahir normal. Besoknya istri jalani perawatan dan paginya bawa anak saya yang baru lahir bersama mertua," ungkap Iwan.
Iwan harus rela kehilangan bola mata karena saraf matanya terbakar. Usai operasi, Iwan menjalani perawatan selama sekitar satu bulan. Selama itu pula Iwan mendapat mata palsu untuk menggantikan bola mata yang sudah tidak bisa diselamatkan dokter.
Sementara itu, istrinya mengalami luka serius di sejumlah tubuhnya.
"Dampak bom ke istri gendang telingan robek, tulang punggung robek dan mengalami pembusukan, itu harus dipotong dan dipen, dirawat di salah satu rumah sakit. Selesai operasi, pulangnya sering ngeluh sakit kepala dan punggung, dua tahun setelahnya dia diambil kembali ke pangkuannya (meninggal)," kenang Iwan.
Dengan sejumlah kejadian tersebut, Iwan tidak menaruh dendam kepada para pelaku. Iwan yakin semua adalah takdir dari sang pencipta.
Begitu pula ketika dipertemukan dengan Ali Fauzi Manzi, yang pernah menjadi kelompok radikal sejak 1991 hingga 2007. Ali pernah menjadi kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah (JI).
Sejak 2013, Iwan dan beberapa korban bom lain dipertemukan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) untuk misi perdamaian.
"Saya enggak dendam, saya menerima semuanya karena takdir. Saya punya prinsip seperti tukang parkir, mobilnya banyak tetapi akan diambil pemiliknya. Seperti bola bekel, makin dibanting, makin menghempas tinggi," ungkap Iwan.
Iwan berharap, AIDA menjadi salah satu lembaga besar yang sukses menciptakan perdamaian. Iwan berharap terorisme bisa benar-benar hilang dari Indonesia.
medcom.id, Jakarta: Iwan Setiawan tidak pernah mengira bakal menjadi salah satu korban tragedi serangan bom bunuh diri di depan gedung Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004.
Sesaat sebelum kejadian, Iwan sedang membonceng istrinya yang hamil delapan bulan untuk periksa kandungan. Saat melintas di depan gedung Kedubes Australia, Jalan H.R. Rasuna Said, Iwan mendengar suara dentuman dan dirinya langsung terempas dari sepeda motor.
"Saat melintas gedung Plaza 89 saya dengar dentuman. Saya bersama istri terpental. Kepala belakang terasa ada yang memukul, mengenai badan trotoar atau gimana saya tidak tahu," kata Iwan dalam seminar Short Course Penguatan Persfektif Korban Terorisme di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 6 April 2017.
Saat itu Iwan mengalami nyeri di bagian kepala. Begitu juga sang istri, mengalami luka pada bagian kepala. Dalam keadaan pusing, Iwan melihat lokasi sekitar porak-poranda. Banyak pecahan kaca berserakan dan suara jeritan.
Saat itu Iwan juga mengalami luka parah di bagian mata kanannya. Ada benda yang menancap yang mengakibatkan pendarahan hebat.
Tak menyerah pada keadaan, Iwan bergegas membawa istrinya yang tergeletak ke rumah sakit terdekat, MMC. Namun, hal itu diurungkan, Iwan takut biaya pengobatan mahal.
"Saya waktu itu berjalan saling memapah, motor saya tinggal karena panik. Saat itu saya menganggur, kemudian saya pikir mahal dan mencari tempat lain," kenang Iwan.
Usai mengurungkan niatnya, Iwan kembali ke tempat semula mengambil motornya. Beruntung motornya bisa dinyalakan. Iwan mencari pertolongan di halte dekat Universitas Perbanas. Di tempat tersebut, Iwan dan Istri ditolong sejumlah pemuda.
Iwan dibawa ke rumah sakit Aini yang masih di kawasan Kuningan. "Saya dioperasi untuk mengangkat besi yang nancap, istri dilarikan ke RS Budi Kemuliaan karena kontraksi," ceritanya.
Iwan bersyukur, meski baru delamapn bulan, istrinya melahirkan normal dan anaknya selamat. "Kuasa Allah, istri lahir normal. Besoknya istri jalani perawatan dan paginya bawa anak saya yang baru lahir bersama mertua," ungkap Iwan.
Iwan harus rela kehilangan bola mata karena saraf matanya terbakar. Usai operasi, Iwan menjalani perawatan selama sekitar satu bulan. Selama itu pula Iwan mendapat mata palsu untuk menggantikan bola mata yang sudah tidak bisa diselamatkan dokter.
Sementara itu, istrinya mengalami luka serius di sejumlah tubuhnya.
"Dampak bom ke istri gendang telingan robek, tulang punggung robek dan mengalami pembusukan, itu harus dipotong dan dipen, dirawat di salah satu rumah sakit. Selesai operasi, pulangnya sering ngeluh sakit kepala dan punggung, dua tahun setelahnya dia diambil kembali ke pangkuannya (meninggal)," kenang Iwan.
Dengan sejumlah kejadian tersebut, Iwan tidak menaruh dendam kepada para pelaku. Iwan yakin semua adalah takdir dari sang pencipta.
Begitu pula ketika dipertemukan dengan Ali Fauzi Manzi, yang pernah menjadi kelompok radikal sejak 1991 hingga 2007. Ali pernah menjadi kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah (JI).
Sejak 2013, Iwan dan beberapa korban bom lain dipertemukan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) untuk misi perdamaian.
"Saya enggak dendam, saya menerima semuanya karena takdir. Saya punya prinsip seperti tukang parkir, mobilnya banyak tetapi akan diambil pemiliknya. Seperti bola bekel, makin dibanting, makin menghempas tinggi," ungkap Iwan.
Iwan berharap, AIDA menjadi salah satu lembaga besar yang sukses menciptakan perdamaian. Iwan berharap terorisme bisa benar-benar hilang dari Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)