medcom.id, Jakarta: Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik pidato Presiden Joko Widodo saat Rapat Kerja Nasional PDIP pada Minggu, 10 Januari. Terutama soal keberaniannya mengeksekusi mati para terpidana narkoba.
“Menyebutkan diri sebagai pemberani kok untuk ambil nyawa orang,” kata Koordinator KontraS, Haris Azhar, di Jakarta, Senin (11/1/2015).
Haris lantas menantang Jokowi membuktikan keberaniannya mengusut kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. “Berani tidak Jokowi mendorong agar pengadilan mengadili Hendropriyono karena kasus Talangsari 1987? Berani tidak usut kasus darurat militer di Aceh? Kalau Jokowi terima tantangan ini, barulah pantas menyebut dirinya sebagai Presiden yang tidak bisa diintervensi dan pemberani,” kata dia.
Menurutnya, materi yang disampaikan Jokowi dalam Rakernas PDIP justru banyak yang tidak nyambung. “Sudah tidak ada yang bisa dijual, lalu kasus hukum mati yang dijual," kata dia.
Haris menyarankan Jokowi lebih mendengarkan para ahli sebelum menyampaikan presentasi dalam sebuah forum nasional. Hukuman mati, lanjutnya, bukanlah sebuah prestasi membanggakan bagi seorang Presiden dalam menjalankan pemerintahannya. “Hukuman mati bukan tolok ukur prestasi atau keberanian seorang Presiden," kata dia.
Pada Rakernas PDIP, Presiden Jokowi menegaskan dirinya tidak bisa diintervensi siapa pun dalam menjalankan pemerintahannya. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini lantas menunjukkan dirinya adalah seseorang yang pemberani dalam segala hal di saat orang meragukannya, salah satunya mengeksekusi mati para terpidana narkoba.
medcom.id, Jakarta: Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik pidato Presiden Joko Widodo saat Rapat Kerja Nasional PDIP pada Minggu, 10 Januari. Terutama soal keberaniannya mengeksekusi mati para terpidana narkoba.
“Menyebutkan diri sebagai pemberani kok untuk ambil nyawa orang,” kata Koordinator KontraS, Haris Azhar, di Jakarta, Senin (11/1/2015).
Haris lantas menantang Jokowi membuktikan keberaniannya mengusut kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. “Berani tidak Jokowi mendorong agar pengadilan mengadili Hendropriyono karena kasus Talangsari 1987? Berani tidak usut kasus darurat militer di Aceh? Kalau Jokowi terima tantangan ini, barulah pantas menyebut dirinya sebagai Presiden yang tidak bisa diintervensi dan pemberani,” kata dia.
Menurutnya, materi yang disampaikan Jokowi dalam Rakernas PDIP justru banyak yang tidak nyambung. “Sudah tidak ada yang bisa dijual, lalu kasus hukum mati yang dijual," kata dia.
Haris menyarankan Jokowi lebih mendengarkan para ahli sebelum menyampaikan presentasi dalam sebuah forum nasional. Hukuman mati, lanjutnya, bukanlah sebuah prestasi membanggakan bagi seorang Presiden dalam menjalankan pemerintahannya. “Hukuman mati bukan tolok ukur prestasi atau keberanian seorang Presiden," kata dia.
Pada Rakernas PDIP, Presiden Jokowi menegaskan dirinya tidak bisa diintervensi siapa pun dalam menjalankan pemerintahannya. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini lantas menunjukkan dirinya adalah seseorang yang pemberani dalam segala hal di saat orang meragukannya, salah satunya mengeksekusi mati para terpidana narkoba.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)