medcom.id, Jakarta: Indonesia tengah menjelang integrasi menyeluruh Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir 2015. Kelak akses pasar akan lebih terbuka. Bahkan, Kementerian Perdagangan mencatat saat ini sekitar 99 persen perdagangan barang intra ASEAN sudah menikmati tarif nol persen (zero tariff).
Ini menjadi tantangan bagi Indonesia karena mayoritas negara-negara tetangga sudah mengakar jiwa pedagang yang kuat. Hal tersebut diungkapkan Ketua Product Development and Management Association (PDMA) Indonesia Andi Ilham Said dalam acara gathering PDMA Indonesia & MASTEL bertajuk "Win The Competition Through Smart Product Management."
Acara dihadiri Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P. Santosa dan Deputi Chief Marketing Officer XL Axiata Kuncono Wibowo. "Sebagian besar dari yang kita janji membuka pasar ialah negara-negara pedagang," ujar Andi saat membuka acara di Gedung PPM Manajemen, Jakarta, Selasa (20/5/2014).
Menurut Andi, hal itu bisa terlihat dari kontribusi ekspor-impor terhadap produk domestik bruto (PDB). Hasil olahan data PDMA, pada 2011 kontribusi ekspor-impor Indonesia hanya sebesar 45 persen dari PDB yang berjumlah 847 miliar dolar AS. Sementara Singapura sebesar 298 persen dari 260 miliar dolar AS, Thailand 132 persen dari 346 miliar dolar AS, Vietnam 161 persen dari 124 miliar dolar AS, dan Kamboja 113 persen dari 13 miliar dolar AS.
Adapun Filipina 48 persen dari 225 miliar dolar AS, Laos 52 persen dari 9 miliar dolar AS, dan Myanmar 36 persen dari 45 miliar dolar AS. "Indonesia hanya unggul dari Myanmar," kata Andi.
Jika tidak bisa menyikapi, Indonesia hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri. Pasalnya, arus barang dan jasa akan bergerak masif melihat potensi pasar Indonesia yang mencakup sekitar 40 persen dari total penduduk ASEAN. Tak terkecuali, industri telekomunikasi.
"Dampak dari Masyarakat Ekonomi ASEAN ke industri telekomunikasi, kompetitor lebih banyak, capital flow akan banyak mengalir, human capital akan lebih tersedia, serta product life cycle akan semakin pendek kerena bukan dilakukan dalam negara, tapi wilayah," kata Andi.
Ia mengungkapkan, penting bagi pelaku usaha memperhatikan inovasi. Sebab, berdasarkan hasil riset Center of Innovation and Collaboration PPM Manajemen 2013 terhadap 200 perusahaan, secara umum lebih dari 50 persen perusahaan partisipan riset meluncurkan inovasi produk (barang maupun jasa). Di mana 48,3 persen di antaranya merupakan produk yang betul-betul baru bagi pasar tempat perusahaan berbisnis.
Sementara dari aspek geografis, 41,5 persen perusahaan menampilkan inovasi yang sama sekali baru bagi pasar Indonesia, 6,8 persen baru bagi pasar Asia, dan 4,8 persen baru bahkan di dunia. Data ini menunjukkan tingkat kreativitas perusahaan Indonesia yang tidak hanya menampilkan inovasi ikutan (perusahaan sebagai imitator), namun juga kreasi baru secara global.
"Kunci sukses menghadapi MEA ialah inovasi. Dari 200 perusahaan yang disurvei, hampir setengahnya sudah melakukan inovasi," ujar Andi.
Namun, lanjutnya, inovasi masih bersifat lokal. Padahal dalam persaingan di kancah global memerlukan inovasi yang mendunia. Sebab perusahaan Indonesia masih mengalami sejumlah hambatan seperti biaya, pengetahuan, dan pasar. Inovasi diketahui membutuhkan modal yang besar dan rentan peniruan. Ditambah, inovasi kerap sepi peminat dari kalangan industri.
"Kemarin teman dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mematenkan sekitar 20 inovasi, tapi karena tidak ada yang pakai jadi hutang 2 miliar ke HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Dia bikin inovasi malah berutang, kan kacau itu. Jadi betul-betul yang dipatenkan dibutuhkan oleh industri," tutur Andi.
Deputi Chief Marketing Officer XL Axiata Kuncono Wibowo mengungkapkan, industri telekomunikasi memerlukan inovasi untuk menyikapi pasar yang sudah jenuh. Saat ini, pemegang kartu SIM (subscriber identity module) sudah melebihi jumlah penduduk Indonesia. Di sisi pelanggan, pertumbuhannya hanya sekitar 5 persen per tahun.
"Program inovatif dengan cara mengenal pelanggan. Misalnya, tarif Rp546 per menit di 2007 sekarang Rp 107 di 2012. Ini produk kreatif yang membuat kita growth lebih cepat dari industri," tutur Kuncono.
medcom.id, Jakarta: Indonesia tengah menjelang integrasi menyeluruh Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir 2015. Kelak akses pasar akan lebih terbuka. Bahkan, Kementerian Perdagangan mencatat saat ini sekitar 99 persen perdagangan barang intra ASEAN sudah menikmati tarif nol persen (zero tariff).
Ini menjadi tantangan bagi Indonesia karena mayoritas negara-negara tetangga sudah mengakar jiwa pedagang yang kuat. Hal tersebut diungkapkan Ketua Product Development and Management Association (PDMA) Indonesia Andi Ilham Said dalam acara gathering PDMA Indonesia & MASTEL bertajuk "Win The Competition Through Smart Product Management."
Acara dihadiri Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P. Santosa dan Deputi Chief Marketing Officer XL Axiata Kuncono Wibowo. "Sebagian besar dari yang kita janji membuka pasar ialah negara-negara pedagang," ujar Andi saat membuka acara di Gedung PPM Manajemen, Jakarta, Selasa (20/5/2014).
Menurut Andi, hal itu bisa terlihat dari kontribusi ekspor-impor terhadap produk domestik bruto (PDB). Hasil olahan data PDMA, pada 2011 kontribusi ekspor-impor Indonesia hanya sebesar 45 persen dari PDB yang berjumlah 847 miliar dolar AS. Sementara Singapura sebesar 298 persen dari 260 miliar dolar AS, Thailand 132 persen dari 346 miliar dolar AS, Vietnam 161 persen dari 124 miliar dolar AS, dan Kamboja 113 persen dari 13 miliar dolar AS.
Adapun Filipina 48 persen dari 225 miliar dolar AS, Laos 52 persen dari 9 miliar dolar AS, dan Myanmar 36 persen dari 45 miliar dolar AS. "Indonesia hanya unggul dari Myanmar," kata Andi.
Jika tidak bisa menyikapi, Indonesia hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri. Pasalnya, arus barang dan jasa akan bergerak masif melihat potensi pasar Indonesia yang mencakup sekitar 40 persen dari total penduduk ASEAN. Tak terkecuali, industri telekomunikasi.
"Dampak dari Masyarakat Ekonomi ASEAN ke industri telekomunikasi, kompetitor lebih banyak, capital flow akan banyak mengalir, human capital akan lebih tersedia, serta product life cycle akan semakin pendek kerena bukan dilakukan dalam negara, tapi wilayah," kata Andi.
Ia mengungkapkan, penting bagi pelaku usaha memperhatikan inovasi. Sebab, berdasarkan hasil riset Center of Innovation and Collaboration PPM Manajemen 2013 terhadap 200 perusahaan, secara umum lebih dari 50 persen perusahaan partisipan riset meluncurkan inovasi produk (barang maupun jasa). Di mana 48,3 persen di antaranya merupakan produk yang betul-betul baru bagi pasar tempat perusahaan berbisnis.
Sementara dari aspek geografis, 41,5 persen perusahaan menampilkan inovasi yang sama sekali baru bagi pasar Indonesia, 6,8 persen baru bagi pasar Asia, dan 4,8 persen baru bahkan di dunia. Data ini menunjukkan tingkat kreativitas perusahaan Indonesia yang tidak hanya menampilkan inovasi ikutan (perusahaan sebagai imitator), namun juga kreasi baru secara global.
"Kunci sukses menghadapi MEA ialah inovasi. Dari 200 perusahaan yang disurvei, hampir setengahnya sudah melakukan inovasi," ujar Andi.
Namun, lanjutnya, inovasi masih bersifat lokal. Padahal dalam persaingan di kancah global memerlukan inovasi yang mendunia. Sebab perusahaan Indonesia masih mengalami sejumlah hambatan seperti biaya, pengetahuan, dan pasar. Inovasi diketahui membutuhkan modal yang besar dan rentan peniruan. Ditambah, inovasi kerap sepi peminat dari kalangan industri.
"Kemarin teman dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mematenkan sekitar 20 inovasi, tapi karena tidak ada yang pakai jadi hutang 2 miliar ke HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Dia bikin inovasi malah berutang, kan kacau itu. Jadi betul-betul yang dipatenkan dibutuhkan oleh industri," tutur Andi.
Deputi Chief Marketing Officer XL Axiata Kuncono Wibowo mengungkapkan, industri telekomunikasi memerlukan inovasi untuk menyikapi pasar yang sudah jenuh. Saat ini, pemegang kartu SIM (subscriber identity module) sudah melebihi jumlah penduduk Indonesia. Di sisi pelanggan, pertumbuhannya hanya sekitar 5 persen per tahun.
"Program inovatif dengan cara mengenal pelanggan. Misalnya, tarif Rp546 per menit di 2007 sekarang Rp 107 di 2012. Ini produk kreatif yang membuat kita growth lebih cepat dari industri," tutur Kuncono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DOR)