medcom.id, Surabaya: Biografi hanya petikan-petikan kecil dari kehidupan seseorang. Tidak mungkin suatu biografi dapat memuat semua pengalaman biologik, psikologik, sosial, kultural, dan spiritual orang itu. Bagaimana pengalamannya sejak kecil, waktu bersekolah, perkawinan, pergaulan, pekerjaan, sikap, cita-cita, harapan, keinginan, kesehatan badan, pencapaian, kegagalan, perasaan dan sebagainya.
Demikian cuplikan kata pengantar buku biografi salah satu sosok luar biasa dalam dunia pendidikan dan kedokteran Willy Fransiscus Maramis. Buku berjudul Manusia Dalam Lima Dimensi ini ditulis Leo Larantukan.
Buku ini dikatakan sebagai sebuah ‘bio-psiko-sosio-kulturo-spirituo-grafi’ karena memang manusia adalah makhluk bio-psiko-sosio-kultural-spiritual. Semua aspek itu saling mempengaruhi. Tidak ada batas yang jelas di antara apsek-aspek tersebut. Suatu hal dapat dimasukkan ke dalam dua atau lebih bidang.
Pada usia ke-91 tahun, Maramis tetap aktif mengabdi sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pria asal Manado ini pula yang membidani lahirnya Fakultas Psikologi, Fakultas Keperawatan, dan Fakultas Kedokteran di UKWMS.
Sejak kelahirannya pada 20 Juli 1926, pria yang lebih senang disapa Willy, tanpa embel-embel prof atau dok ini telah mengalami berbagai hal luar biasa dan menjadi teladan bagi banyak orang. Ia juga adalah sosok yang demokratis, idealis, dan nasionalis.
Pada acara bedah buku ini, hadir Leo Larantukan, Musa Asy’arie dan Mateus Yumarnamto sebagai pengulas dan Teodora Winda Mulia sebagai moderator. Yang menarik adalah Musa mengenal Maramis setelah membaca buku biografinya.
“Mengenal sosok Prof Maramis dari buku ini, membuat saya menyadari beliau bukan saja bisa menjadi guru dalam ilmu kedokteran, namun juga guru dalam kehidupan. Sosoknya yang terbuka, sabar, dan menerima orang-orang dari berbagai latar belakang maupun pandangan yang berbeda, ini perlu kita teladani,” kata Musa.
Musa menambahkan, karakter Maramis yang mau terus belajar dan menyesuaikan diri bahkan bisa nyambung dengan anak muda maupun berbagai golongan masyarakat ini mungkin didukung hobinya berwisata budaya. “Orang yang ‘kurang piknik’ budaya itu pemikirannya jadi sempit karena hanya bertemu dengan orang-orang yang itu saja. Maramis semasa muda sering menyetir sendiri berkeliling pulau Jawa mengajak keluarganya.”
Pengalaman-pengalaman seperti itu membuat Musa melihat banyak hal termasuk perbedaan budaya dan belajar bagaimana cara menerimanya. Menurut Musa, masyarakat perlu meniru hal ini dengan sering-sering ‘piknik’ melihat budaya masyarakat lain.
Sedangkan Margarita Maria Maramis, putri kedua Willy Fransiscus Maramis, mengatakan, ayahnya selalu menegaskan nasionalisme bukan hanya di hati, tetapi harus ditunjukkan dalam sikap dan perbuatan kita.
“Nuansa ini pula yang membuat kami berkembang dengan lebih merasa sebagai orang Indonesia daripada berasal dari suatu suku atau ras tertentu,” ujar Margarita, yang mengikuti jejak ayahnya menjadi psikiater handal.
Testimoni Margarita didukung kenyataan bahwa hingga saat ini, Maramis selalu mengikuti upacara bendera yang rutin diadakan di UKWMS. Mungkin terlihat sepele, namun bagi mahasiswa, melihat pria yang berkali-kali lipat usianya daripada mereka berdiri tegak tanpa mengeluh dan dengan khidmat di bawah terik matahari untuk mengikuti jalannya upacara dari awal hingga akhir justru menginspirasi.
Selain masih aktif menjadi Dekan Fakultas Kedokteran UKWMS, Maramis hingga kini masih aktif menjadi anggota steering committee UNESCO Asia Pacific Bioethics Network Unit Indonesia. Ia pernah menjadi asisten penatar pada Workshop on Educational Planning oleh WHO di Addis Ababa, Ethiopia-Afrika.
Maramis juga pernah menjadi anggota Tim Consortium of Health Science, mengunjungi Regional Teacher Training Center di Paradenya, Colombo (Sri Langka), Bangkok (Thailand) dan Rangoon (Myanmar). Sebelum berkarya di UKWMS, Maramis sudah dikenal Guru Besar dalam Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Karyanya tidak hanya di bidang kedokteran. Maramis adalah pendiri radio swasta pada 1967. Ia juga aktif dalam Tim Marriage Encounter Indonesia, Distrik IV Surabaya.
medcom.id, Surabaya: Biografi hanya petikan-petikan kecil dari kehidupan seseorang. Tidak mungkin suatu biografi dapat memuat semua pengalaman biologik, psikologik, sosial, kultural, dan spiritual orang itu. Bagaimana pengalamannya sejak kecil, waktu bersekolah, perkawinan, pergaulan, pekerjaan, sikap, cita-cita, harapan, keinginan, kesehatan badan, pencapaian, kegagalan, perasaan dan sebagainya.
Demikian cuplikan kata pengantar buku biografi salah satu sosok luar biasa dalam dunia pendidikan dan kedokteran Willy Fransiscus Maramis. Buku berjudul Manusia Dalam Lima Dimensi ini ditulis Leo Larantukan.
Buku ini dikatakan sebagai sebuah ‘bio-psiko-sosio-kulturo-spirituo-grafi’ karena memang manusia adalah makhluk bio-psiko-sosio-kultural-spiritual. Semua aspek itu saling mempengaruhi. Tidak ada batas yang jelas di antara apsek-aspek tersebut. Suatu hal dapat dimasukkan ke dalam dua atau lebih bidang.
Pada usia ke-91 tahun, Maramis tetap aktif mengabdi sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pria asal Manado ini pula yang membidani lahirnya Fakultas Psikologi, Fakultas Keperawatan, dan Fakultas Kedokteran di UKWMS.
Sejak kelahirannya pada 20 Juli 1926, pria yang lebih senang disapa Willy, tanpa
embel-embel prof atau dok ini telah mengalami berbagai hal luar biasa dan menjadi teladan bagi banyak orang. Ia juga adalah sosok yang demokratis, idealis, dan nasionalis.
Pada acara bedah buku ini, hadir Leo Larantukan, Musa Asy’arie dan Mateus Yumarnamto sebagai pengulas dan Teodora Winda Mulia sebagai moderator. Yang menarik adalah Musa mengenal Maramis setelah membaca buku biografinya.
“Mengenal sosok Prof Maramis dari buku ini, membuat saya menyadari beliau bukan saja bisa menjadi guru dalam ilmu kedokteran, namun juga guru dalam kehidupan. Sosoknya yang terbuka, sabar, dan menerima orang-orang dari berbagai latar belakang maupun pandangan yang berbeda, ini perlu kita teladani,” kata Musa.
Musa menambahkan, karakter Maramis yang mau terus belajar dan menyesuaikan diri bahkan bisa
nyambung dengan anak muda maupun berbagai golongan masyarakat ini mungkin didukung hobinya berwisata budaya. “Orang yang ‘kurang piknik’ budaya itu pemikirannya jadi sempit karena hanya bertemu dengan orang-orang yang itu saja. Maramis semasa muda sering menyetir sendiri berkeliling pulau Jawa mengajak keluarganya.”
Pengalaman-pengalaman seperti itu membuat Musa melihat banyak hal termasuk perbedaan budaya dan belajar bagaimana cara menerimanya. Menurut Musa, masyarakat perlu meniru hal ini dengan sering-sering ‘piknik’ melihat budaya masyarakat lain.
Sedangkan Margarita Maria Maramis, putri kedua Willy Fransiscus Maramis, mengatakan, ayahnya selalu menegaskan nasionalisme bukan hanya di hati, tetapi harus ditunjukkan dalam sikap dan perbuatan kita.
“Nuansa ini pula yang membuat kami berkembang dengan lebih merasa sebagai orang Indonesia daripada berasal dari suatu suku atau ras tertentu,” ujar Margarita, yang mengikuti jejak ayahnya menjadi psikiater handal.
Testimoni Margarita didukung kenyataan bahwa hingga saat ini, Maramis selalu mengikuti upacara bendera yang rutin diadakan di UKWMS. Mungkin terlihat sepele, namun bagi mahasiswa, melihat pria yang berkali-kali lipat usianya daripada mereka berdiri tegak tanpa mengeluh dan dengan khidmat di bawah terik matahari untuk mengikuti jalannya upacara dari awal hingga akhir justru menginspirasi.
Selain masih aktif menjadi Dekan Fakultas Kedokteran UKWMS, Maramis hingga kini masih aktif menjadi anggota steering committee UNESCO Asia Pacific Bioethics Network Unit Indonesia. Ia pernah menjadi asisten penatar pada Workshop on Educational Planning oleh WHO di Addis Ababa, Ethiopia-Afrika.
Maramis juga pernah menjadi anggota Tim Consortium of Health Science, mengunjungi Regional Teacher Training Center di Paradenya, Colombo (Sri Langka), Bangkok (Thailand) dan Rangoon (Myanmar). Sebelum berkarya di UKWMS, Maramis sudah dikenal Guru Besar dalam Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Karyanya tidak hanya di bidang kedokteran. Maramis adalah pendiri radio swasta pada 1967. Ia juga aktif dalam Tim Marriage Encounter Indonesia, Distrik IV Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(TRK)