ILUSTRASI: Santri di berbagai daerah memperingati Hari Santri Nasional/ANTARA/Ari Bowo Sucipto
ILUSTRASI: Santri di berbagai daerah memperingati Hari Santri Nasional/ANTARA/Ari Bowo Sucipto

Hari Santri Nasional 2017

Siapa Santri?

Sobih AW Adnan • 22 Oktober 2017 15:40
medcom.id, Jakarta: Tanda pagar #HariSantri2017 menyemburat di jagat maya. Beragam ucapan dan kegiatan di pelosok daerah pun dihadirkan dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional.
 
Ini adalah perayaan ketiga semenjak disahkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai hari besar nasional pada 2015 lalu. Pemerintah mengukuhkannya melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015 dan menjadikan 22 Oktober sebagai tanggal untuk mengenang jasa para santri dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari rongrongan penjajah.
 
Penamaan santri identik dengan peserta didik yang menuntut ilmu di pondok pesantren, sebuah institusi pengajaran tertua di Indonesia.  Lantas, apakah hari ini cuma dikhususkan bagi murid yang pernah belajar di lembaga tradisional yang ada sejak abad 12 tersebut?

Manut kiai
 
Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama mencatat, jumlah santri di Indonesia mencapai 3,65 juta. Mereka ada di 25.000 pondok pesantren yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Tanah Air.
 
Namun menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, sebutan santri bukan hanya diperuntukkan bagi yang sedang atau pernah belajar di pondok pesantren. Santri, bisa pula disandang oleh setiap orang yang memiliki pemahaman dan sikap hidup toleran, moderat, dan berakhlak mulia.
 
"Dengan penetapan Hari Santri, ada pemaknaan yang diperluas," jelas Menteri Lukman kepada Metrotvnews.com, Minggu 22 Oktober 2017.
 
Pun menurut Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf Amin. Katanya, santri adalah sebutan bagi semua orang yang searah sepemikiran dengan amanat kiai dan ulama.
 
“Manut kiai. Mereka itu santri walaupun dia tidak andal baca kitab kuning,” kata Kiai Ma'ruf di Gedung PBNU, Jakarta, beberapa waktu lalu.
 
Kepatuhan kepada ulama menjelma sebagai kata kunci. Termasuk wasiat para kiai terdahulu untuk tetap berpegang teguh dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.
 
Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, hal itu sesuai dengan semangat peringatan Hari Santri yang dijatuhkan pada 22 Oktober. Tanggal itu, katanya, mengacu pada peristiwa resolusi jihad yang dikumandangkan Hadaratussyeikh KH Hasyim Asy'ari untuk mempertahankan Indonesia dari serangan tentara Sekutu.
 
"Tanpa resolusi jihad dan pidato Hadaratussyeikh yang menggetarkan ini tidak akan pernah ada peristiwa 10 November di Surabaya," kata Said Aqil di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Minggu, 22 Oktober 2017.
 
Peran santri
 
Momen yang menunjukkan kiprah santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tak cuma dilakukan sekali.
 
"Pada 1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Darus Salam (negeri damai). Pernyataan ini adalah legitimasi fikih berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila," kata dia.
 
Peristiwa penting lainnya juga terjadi pada 1945. Yakni, ketika kalangan santri sepakat menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan dan kesatuan bangsa. 
 
"Berikutnya, tahun 1953, kaum santri memberi gelar Presiden Indonesia, Ir. Soekarno, sebagai Waliyyul Amri ad Dlaruri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak DI/TII sebagai bughat yang harus diperangi," jelas kiai Said.
 
Tidak cukup di situ, pada 1965 kaum santri juga mengambil posisi terdepan dalam menghadapi ancaman paham komunisme. 
 
"Pada 1983-1984, santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus nasional, mu’ahadah wathaniyah," kata dia.
 
Pada era Reformasi sekarang ini, menurut Said, santri tetap mengambil peran penting sebagai kekuatan moderat. Kiprah mereka dirasakan dalam mengawal perubahan konstitusi agar tidak melanggar kesepakatan para pendiri bangsa.
 
"NKRI adalah negara-bangsa, bukan negara agama, bukan negara suku, mengakui seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan," kata kiai asal Cirebon itu.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan