medcom.id, Jakarta: Pemerintah diminta lebih serius memerhatikan pembangunan pemuda. Selama ini, pembangunan pemuda masih dirasa belum maksimal.
Direktur Eksekutif Merial Institute, M. Arief Rosyid Hasan mengatakan, sejak tahun 2012 Indonesia menghadapi tahapan bonus demografi berupa meningkatnya jumlah usia produktif dalam struktur kependudukan nasional. Tahapan ini akan berlangsung hingga tahun 2035.
Namun, momentum bonus demografi ini belum disiapkan dengan baik. Bahkan sampai saat ini pemerintah belum memiliki kerangka kebijakan yang integral dan terukur dalam pembangunan kelompok usia pemuda.
"Baik dalam sektor pendidikan, kesehatan, maupun ketenagakerjaan," kata Arief dalam siaran pers yang diterima Metrotvnews.com, Kamis, 26 Oktober 2017.
Padahal, lanjut dia, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, momentum bonus demografi akan berakhir sebagai window of disaster. Alih-alih menjadi penggerak produktivitas, penduduk usia kerja yang jumlahnya sangat besar malah akan menjadi beban sosial dan ekonomi di masa mendatang.
Momentum lain yang juga penting adalah Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadi kerangka acuan pembangunan global hingga tahun 2030. Sebanyak 6 dari 17 target SDGs berhubungan dengan pembangunan pemuda, antara lain; pendidikan, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan.
Sementara itu, pada tahun 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pemuda Indonesia mencapai jumlah 62.061.400 jiwa. Bisa dikatakan bahwa 1 dari 4 penduduk Indonesia berusia 15-30 tahun.
Namun, pemuda lebih banyak tinggal di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Angkanya mencapai 53,8 persen di tahun 2016.
Urbanisasi pemuda, lanjutnya, terjadi karena kesenjangan pertumbuhan ekonomi antara desa dan kota. Selain itu, perubahan pola minat lapangan kerja dari sektor pertanian ke sektor industri juga berpengaruh.
"Namun urbanisasi bermasalah karena terjadi secara cepat dan tidak terencana dengan baik. Tidak ada jaminan sosial dasar (kesehatan, pendidikan, perumahan) yang memadai bagi mobilitas penduduk ini," ungkapnya.
Fakta ini seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah, setelah selama ini terus menggenjot pembangunan desa. Setidaknya, dapat diambil kesimpulan sementara, besarnya anggaran dana desa belum cukup untuk meningkatkan minat pemuda untuk hidup di desa.
Ia menambahkan, pembangunan kepemudaan berkaitan dengan tiga isu utama: pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Laporan Susenas 2016 yang dirilis BPS menunjukkan tantangan peningkatan di sektor pendidikan dan kesehatan.
"Namun sektor tenaga kerja masih menghadapi tantangan pengangguran yang semakin besar," tegas Arief.
Lahirnya Keppres 66/2017 tentang Koordinasi Lintas Sektor Pelayanan Kepemudaan seharusnya menjadi kabar gembira bagi stakeholder kepemudaan. Keppres mengamanatkan koordinasi pembangunan kepemudaan dipimpin langsung Presiden dan Wakil Presiden. Namun, dalam pelaksanaanya, hingga saat ini terasa belum optimal.
"Pemerintah hingga saat ini belum menyusun Indeks Pembangunan Pemuda (youth development index)," tuturnya.
Padahal, dua negara tetangga, Timor Leste sudah memiliki IPP. Sedangkan, Malaysia bahkan sejak tahun 1985 IPP telah menjadi alat ukur dan acuan dalam memetakan masalah yang ada.
Oleh karena itu, ia menyebut, di masa tiga tahun Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, usaha-usaha pembangunan pemuda perlu dikoordinasikan secara serius menyusun sebuah Kebijakan Nasional Kepemudaan (youth national policy). Kebijakan tersebut secara utuh berisi arahan dan target bangsa untuk mencapai visi SDGs 2030 maupun bonus demografi 2035.
medcom.id, Jakarta: Pemerintah diminta lebih serius memerhatikan pembangunan pemuda. Selama ini, pembangunan pemuda masih dirasa belum maksimal.
Direktur Eksekutif Merial Institute, M. Arief Rosyid Hasan mengatakan, sejak tahun 2012 Indonesia menghadapi tahapan bonus demografi berupa meningkatnya jumlah usia produktif dalam struktur kependudukan nasional. Tahapan ini akan berlangsung hingga tahun 2035.
Namun, momentum bonus demografi ini belum disiapkan dengan baik. Bahkan sampai saat ini pemerintah belum memiliki kerangka kebijakan yang integral dan terukur dalam pembangunan kelompok usia pemuda.
"Baik dalam sektor pendidikan, kesehatan, maupun ketenagakerjaan," kata Arief dalam siaran pers yang diterima
Metrotvnews.com, Kamis, 26 Oktober 2017.
Padahal, lanjut dia, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, momentum bonus demografi akan berakhir sebagai
window of disaster. Alih-alih menjadi penggerak produktivitas, penduduk usia kerja yang jumlahnya sangat besar malah akan menjadi beban sosial dan ekonomi di masa mendatang.
Momentum lain yang juga penting adalah
Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadi kerangka acuan pembangunan global hingga tahun 2030. Sebanyak 6 dari 17 target SDGs berhubungan dengan pembangunan pemuda, antara lain; pendidikan, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan.
Sementara itu, pada tahun 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pemuda Indonesia mencapai jumlah 62.061.400 jiwa. Bisa dikatakan bahwa 1 dari 4 penduduk Indonesia berusia 15-30 tahun.
Namun, pemuda lebih banyak tinggal di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Angkanya mencapai 53,8 persen di tahun 2016.
Urbanisasi pemuda, lanjutnya, terjadi karena kesenjangan pertumbuhan ekonomi antara desa dan kota. Selain itu, perubahan pola minat lapangan kerja dari sektor pertanian ke sektor industri juga berpengaruh.
"Namun urbanisasi bermasalah karena terjadi secara cepat dan tidak terencana dengan baik. Tidak ada jaminan sosial dasar (kesehatan, pendidikan, perumahan) yang memadai bagi mobilitas penduduk ini," ungkapnya.
Fakta ini seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah, setelah selama ini terus menggenjot pembangunan desa. Setidaknya, dapat diambil kesimpulan sementara, besarnya anggaran dana desa belum cukup untuk meningkatkan minat pemuda untuk hidup di desa.
Ia menambahkan, pembangunan kepemudaan berkaitan dengan tiga isu utama: pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Laporan Susenas 2016 yang dirilis BPS menunjukkan tantangan peningkatan di sektor pendidikan dan kesehatan.
"Namun sektor tenaga kerja masih menghadapi tantangan pengangguran yang semakin besar," tegas Arief.
Lahirnya Keppres 66/2017 tentang Koordinasi Lintas Sektor Pelayanan Kepemudaan seharusnya menjadi kabar gembira bagi
stakeholder kepemudaan. Keppres mengamanatkan koordinasi pembangunan kepemudaan dipimpin langsung Presiden dan Wakil Presiden. Namun, dalam pelaksanaanya, hingga saat ini terasa belum optimal.
"Pemerintah hingga saat ini belum menyusun Indeks Pembangunan Pemuda (
youth development index)," tuturnya.
Padahal, dua negara tetangga, Timor Leste sudah memiliki IPP. Sedangkan, Malaysia bahkan sejak tahun 1985 IPP telah menjadi alat ukur dan acuan dalam memetakan masalah yang ada.
Oleh karena itu, ia menyebut, di masa tiga tahun Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, usaha-usaha pembangunan pemuda perlu dikoordinasikan secara serius menyusun sebuah Kebijakan Nasional Kepemudaan (
youth national policy). Kebijakan tersebut secara utuh berisi arahan dan target bangsa untuk mencapai visi SDGs 2030 maupun bonus demografi 2035.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DMR)