medcom.id, Jakarta: Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) meminta pengunduran waktu penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang sejatinya awal 2015.
Sebab, banyak palaku usaha skala usaha kecil dan menengah (UKM) kesulitan mengurus mahalnya biaya sertfifikasi.
Namun, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan memastikan penerpannya akan tetap dilakukan pada awal 2015. Kementerian Kehutanan sudah menyiapkan bantuan dana dan menggulirkan program self declaration.
"Artinya tidak ada lagi hambatan yang memberatkan mereka, tinggal mereka mau apa enggak, itu saja," ujar Zulkifli kepada Media Indonesia di Jakarta, Jumat (18/7).
Zulkifli mengungkapkan, bantuan dana yang dianggarkan Kemenhut pada APBN 2014 Rp2,5 miliar. Untuk mendapatkan bantuan sertifikasi, ia menyarankan pelaku UKM bergabung dalam wadah koperasi. Hal tersebut dirasa lebih mudah dan efisien.
Sementara program self declaration, memungkinkan industri rumah tangga dan pengrajin tidak perlu mengurus sertifikat regular. Mereka hanya perlu memiliki dokumen self declaration yang menyatakan bahwa asal usul kayu tersebut legal.
"Industrinya yang mendeklarasikan bahwa itu legal," katanya
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono menambahkan, pelaku industri yang memanfaatkan pasokan kayu dari hutan rakyat cukup mendeklarasikan kesesuaian pasokan kayu secara legal. Tidak perlu memiliki sertfikat.
"Tinggal mendeklarasikan, ada formatnya, bahwa saya memanfaatkan kayu dari hutan yang legal," tuturnya.
Selain itu, pelaku industri juga berhak melakukan pengawasan dan pengecekan legalitas kayu sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan. Hal ini untuk menghindari permasalahan yang terjadi kemudian. Ketika produk yang dijual dipermasalahkan asal-usul kayunya.
Adapun, ia mengungkapkan, bantuan dana yang dianggarkan Kemenhut pada 2013 sebesar Rp2,5 miliar sudah terserap semua. Begitupun dengan anggaran tahun ini yang dipatok dalam jumlah yang sama. Sementara untuk tahun anggaran 2015, dana yang dialokasikan sebesar Rp3 miliar.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengaku, pihaknya masih terus melakukan pembahasan dengan kementerian terkait, baik Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Kehutanan. Namun, beberapa skema penerapan SVLK sudah berjalan.
"Model yang dikembangkan sudah terbentuk, seperti yang saya kira di Jepara itu menggunakan koperasi. Di Bali menggunakan pelabuhan masuk. Jadi semua yang masuk ke Bali disertifikasi, jadi apapun yg ada di Bali sudah pasti sertifikasinya sama. Dalam waktu dekat akan dikoordinasikan lagi sejauh mana bisa diterapkan Januari (2015)," katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal AMKRI Abdul Sobur mengatakan, pihaknya akan meminta penundaan waktu penerapan SVLK UKM kepada Kementerian Perdagangan. Pasalnya, dari sekitar 5000 pelaku usaha sektor furnitur dan mebel yang berorientasi ekspor baru sekitar 800 pelaku usaha yang sudah memiliki sertifikat SVLK.
Itu pun umumnya pelaku usaha dengan skala menengah ke atas. Pelaku UKM yang jumlahnya sekitar 40% (sekitar 2000 UKM) masih kesulitan karena biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat SVLK berkisar Rp40 juta.
"Kita akan minta ditunda lagi satu tahun kalau enggak di bailout, dipercepat," tuturnya.
Pun, Abdul pesimis dalam waktu enam bulan tersisa bisa menyertifikasi semua pelaku usaha. Pasalnya, dalam waktu dua tahun saja baru sekitar 800 pelaku usaha yang bisa tersertifikasi. Penyebabnya, keterbatasan lembaga verifikasi yang hanya berjumlah 11 lembaga. Pun membutuhkan waktu pengecekan yang lama karena harus memenuhi 12 izin. Idealnya lembaga verifikasi yang ada berjumlah 20-30 lembaga.
Jika kondisi ini tetap dipaksakan, maka ada potensi kehilangan nilai ekspor yang besar. Pasalnya, menurut Abdul, satu UKM bisa mengekspor sekitar US$1 juta. (Anshar Dwi Wibowo)
medcom.id, Jakarta: Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) meminta pengunduran waktu penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang sejatinya awal 2015.
Sebab, banyak palaku usaha skala usaha kecil dan menengah (UKM) kesulitan mengurus mahalnya biaya sertfifikasi.
Namun, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan memastikan penerpannya akan tetap dilakukan pada awal 2015. Kementerian Kehutanan sudah menyiapkan bantuan dana dan menggulirkan program self declaration.
"Artinya tidak ada lagi hambatan yang memberatkan mereka, tinggal mereka mau apa enggak, itu saja," ujar Zulkifli kepada Media Indonesia di Jakarta, Jumat (18/7).
Zulkifli mengungkapkan, bantuan dana yang dianggarkan Kemenhut pada APBN 2014 Rp2,5 miliar. Untuk mendapatkan bantuan sertifikasi, ia menyarankan pelaku UKM bergabung dalam wadah koperasi. Hal tersebut dirasa lebih mudah dan efisien.
Sementara program self declaration, memungkinkan industri rumah tangga dan pengrajin tidak perlu mengurus sertifikat regular. Mereka hanya perlu memiliki dokumen self declaration yang menyatakan bahwa asal usul kayu tersebut legal.
"Industrinya yang mendeklarasikan bahwa itu legal," katanya
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono menambahkan, pelaku industri yang memanfaatkan pasokan kayu dari hutan rakyat cukup mendeklarasikan kesesuaian pasokan kayu secara legal. Tidak perlu memiliki sertfikat.
"Tinggal mendeklarasikan, ada formatnya, bahwa saya memanfaatkan kayu dari hutan yang legal," tuturnya.
Selain itu, pelaku industri juga berhak melakukan pengawasan dan pengecekan legalitas kayu sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan. Hal ini untuk menghindari permasalahan yang terjadi kemudian. Ketika produk yang dijual dipermasalahkan asal-usul kayunya.
Adapun, ia mengungkapkan, bantuan dana yang dianggarkan Kemenhut pada 2013 sebesar Rp2,5 miliar sudah terserap semua. Begitupun dengan anggaran tahun ini yang dipatok dalam jumlah yang sama. Sementara untuk tahun anggaran 2015, dana yang dialokasikan sebesar Rp3 miliar.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengaku, pihaknya masih terus melakukan pembahasan dengan kementerian terkait, baik Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Kehutanan. Namun, beberapa skema penerapan SVLK sudah berjalan.
"Model yang dikembangkan sudah terbentuk, seperti yang saya kira di Jepara itu menggunakan koperasi. Di Bali menggunakan pelabuhan masuk. Jadi semua yang masuk ke Bali disertifikasi, jadi apapun yg ada di Bali sudah pasti sertifikasinya sama. Dalam waktu dekat akan dikoordinasikan lagi sejauh mana bisa diterapkan Januari (2015)," katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal AMKRI Abdul Sobur mengatakan, pihaknya akan meminta penundaan waktu penerapan SVLK UKM kepada Kementerian Perdagangan. Pasalnya, dari sekitar 5000 pelaku usaha sektor furnitur dan mebel yang berorientasi ekspor baru sekitar 800 pelaku usaha yang sudah memiliki sertifikat SVLK.
Itu pun umumnya pelaku usaha dengan skala menengah ke atas. Pelaku UKM yang jumlahnya sekitar 40% (sekitar 2000 UKM) masih kesulitan karena biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat SVLK berkisar Rp40 juta.
"Kita akan minta ditunda lagi satu tahun kalau enggak di bailout, dipercepat," tuturnya.
Pun, Abdul pesimis dalam waktu enam bulan tersisa bisa menyertifikasi semua pelaku usaha. Pasalnya, dalam waktu dua tahun saja baru sekitar 800 pelaku usaha yang bisa tersertifikasi. Penyebabnya, keterbatasan lembaga verifikasi yang hanya berjumlah 11 lembaga. Pun membutuhkan waktu pengecekan yang lama karena harus memenuhi 12 izin. Idealnya lembaga verifikasi yang ada berjumlah 20-30 lembaga.
Jika kondisi ini tetap dipaksakan, maka ada potensi kehilangan nilai ekspor yang besar. Pasalnya, menurut Abdul, satu UKM bisa mengekspor sekitar US$1 juta. (Anshar Dwi Wibowo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADF)