Metrotvews.com, Jakarta: Terminal Peti Kemas Kalibaru tahap pertama baru saja diresmikan. Pelabuhan khusus peti kemas yang diklaim berkapasitas 1,5 juta TEUs (satuan peti kemas) menjadi bagian dari rancangan besar Pelabuhan New Priok seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai amunisi baru perdagangan Indonesia.
Presiden Joko Widodo yang terpilih pada 2014 memiliki visi untuk membuat Indonesia sebagai negara Poros Maritim. Sayang, pelabuhan sebagai salah satu senjata utama menjadi poros maritim memiliki beberapa kendala. Soal dwelling time dan kapasitas bongkar muat.
Presiden Jokowi meyakini Indonesia dapat bahwa di tengah meningkatnya kapasitas arus peti kemas di Tanjung Priok. Apalagi saat Presiden Jokowi menemukan fakta waktu tunggu bongkar muat (dwelling time) barang ekspor dan impor di pelabuhan memakan waktu yang sangat lama dan mempengaruhi biaya logistik barang. Waktunya pun mencapai 5-7 hari. Bandingkan dengan Thailand yang hanya 2-3 hari dan Malaysia yang hanya 2 hari.
Durasi bongkar muat di pelabuhan yang lambat menyebabkan kinerja dam daya saing pelabuhan Indonesia menjadi tidak bisa maksimal. Ujungnya, Indonesia merugi hingga Rp780 triliun per tahun lantaran pembengkakan biaya logistik. Menyadari kenyataan ini, wajar jika Jokowi menjadi berang dan memerintahkan pihak pelabuhan segera memperbaiki tata kelola dan administrasi demi mempersingkat dwelling time.
“Target dwelling time, saya ingin empat hari,” ujar Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (23/9/2014). Baca: Jokowi Mau Dwelling Time tak Lebih 4 Hari
Berangkat dari peristiwa amukan Jokowi di Tanjung Priok itu, Tim Satuan Tugas khusus untuk pembenahan dwelling time pun dibentuk. Penegak hukum bahkan turun tangan mengusut pihak-pihak yang dianggap menjadi biang kerok produktivitas dan arus keluar masuk barang yang rendah di pelabuhan. Selain itu, tim Panitia Kerja Khusus dari DPR RI juga dibentuk. Pembenahan dwelling time menjadi fokus utama demi meningkatkan efisiensi.
Pada Desember 2015, dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok berhasil diturunkan menjadi 4,2 hari. Kemudian, pada tahun ini PT Pelindo II melaporkan dwelling time mampu ditekan lagi
menjadi 3,2-3,5 hari.
Namun, Jokowi seperti belum puas dengan capaian itu. Ia menginstruksikan dwelling time harus bisa menjadi dua hari. Menurut Jokowi, Indonesia tidak boleh menjadi penonton dalam persaingan global. Menekan biaya logistik lewat mengurangi dwelling time dan meningkatkan kapasitas bongkar pelabuhan merupakan salah satu cara meningkatkan kekuatan ekonomi Indonesia
"Kita tidak boleh jadi penonton dalam persaingan, penonton dalam era kompetisi. Agar kita bisa memenangkan pertarungan, kompetisi. Membuat ekonomi semakin kompetitif, berdaya saing," kata dia.
Sebagaimana diketahui, selama ini pengusaha logistik dan perkapalan enggan menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan bongkar muat. Salah satu alasannya, dwelling time sangat tinggi. Pelabuhan Internasional Tanjung Priok yang dimiliki Indonesia masih kalah jauh dibandingkan pelabuhan internasional miliki negara lain soal cepatnya pengurusan izin dan bongkar muat. Baca: Berbenah Pelabuhan
Belum lagi soal kapasitas bongkar muat dan spesifikasi pelabuhan Indonesia yang membuat banyak kapal kontainer kelas di atas Panama (kapasitas lebih dari 5.000 TEUs) tidak bisa berlabuh. Karena alasan itu, rampungnya pengerjaan New Priok Container Terminal 1 yang menjadi bagian dari disain besar Pelabuhan Kalibaru menjadi salah satu jawaban untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Sebab spesifikasi Pelabuhan Kalibaru yang memiliki kedalaman minimal 16 meter lebih, bisa melayani kapal berdaya angkut hingga 18.000 TEUs yang selama ini lebih memilih Singapura dan Malaysia.
Meningkatkan kapasitas pelabuhan
Selain soal dwelling time dan tarif, kualitas dan kapasitas pelayanan pelabuhan juga menjadi hal penting. Tingkat produktivitas pelabuhan akan mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan.
“Pengusaha itu melihatnya bagaimana level of service pelabuhan, produktivitasnya, dan kebijakan tarifnya,” ujar Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia bidang logisitik Carmelita Hartoto.
Masalah produktivitas pelabuhan karena masalah kapasitas ini memang perlu disoroti. Sebab Indonesia tidak menjadi daerah tujuan kapal-kapal asing.
Berdasarkan statistik Konsil Perkapalan Dunia, Pelabuhan Tanjung Priok yang dimiliki Indonesia berada di peringkat 23 pada tahun 2014. Kapasitas volume pelabuhan sebesar 6,4juta TEUs/tahun ini bisa dikatakan cukup tinggi dibanding negara lain.
Namun pada kenyataannya, pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan utama Indonesia kalah saing dengan beberapa pelabuhan di negara Asia Tenggara lainnya. Mulai dari Singapura, Malaysia hingga Thailand.
Pelabuhan Singapura memiliki kapasitas volume pelabuhan 33,87 juta TEUs/tahun. Tanjung Priok juga kalah dari Malaysia yang memiliki Port Klang yang berkapasitas 10,95 juta TEUs/tahun dan Tanjung Pelepas yang berkapasitas 8,5 juta TEUs/tahun. Thailand juga menang dari Indonesia karena Pelabuhan Laem Chabang memiliki kapasitas 6,58 juta TEUs/tahun.
Pelabuhan Kalibaru (New Priok) seharusnya bisa membawa angin segar ke Indonesia karena NPCT 1 memiliki kapasitas 1,5 juta TEUs/tahun. Pelabuhan ini akan meningkatkan kapasitas dan daya saing Indonesia dengan pelabuhan lain.
Pengembangan New Priok ini akan terus berlanjut pada terminal 2 dan terminal 3 yang bakal dibangun di atas lahan reklamasi. Operasi Pelabuhan Kalibaru ditandai dengan peresmian NPCT 1 yang dikelola bersama antara PT Pelindo (Persero) dan Mitsui.
Pengembangan Pelabuhan Kalibaru juga terus digenjot pemerintahan Joko Widodo. Indonesia mungkin saja bisa bersaing dengan Singapura saat pengembangan pelabuhan ini selesai. Setidaknya, Pelabuhan Kalibaru menjadi amunisi Indonesia di persaingan perdagangan maritim dunia.
Metrotvews.com, Jakarta: Terminal Peti Kemas Kalibaru tahap pertama baru saja diresmikan. Pelabuhan khusus peti kemas yang diklaim berkapasitas 1,5 juta TEUs (satuan peti kemas) menjadi bagian dari rancangan besar Pelabuhan New Priok seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai amunisi baru perdagangan Indonesia.
Presiden Joko Widodo yang terpilih pada 2014 memiliki visi untuk membuat Indonesia sebagai negara Poros Maritim. Sayang, pelabuhan sebagai salah satu senjata utama menjadi poros maritim memiliki beberapa kendala. Soal dwelling time dan kapasitas bongkar muat.
Presiden Jokowi meyakini Indonesia dapat bahwa di tengah meningkatnya kapasitas arus peti kemas di Tanjung Priok. Apalagi saat Presiden Jokowi menemukan fakta waktu tunggu bongkar muat (
dwelling time) barang ekspor dan impor di pelabuhan memakan waktu yang sangat lama dan mempengaruhi biaya logistik barang. Waktunya pun mencapai 5-7 hari. Bandingkan dengan Thailand yang hanya 2-3 hari dan Malaysia yang hanya 2 hari.
Durasi bongkar muat di pelabuhan yang lambat menyebabkan kinerja dam daya saing pelabuhan Indonesia menjadi tidak bisa maksimal. Ujungnya, Indonesia merugi hingga Rp780 triliun per tahun lantaran pembengkakan biaya logistik. Menyadari kenyataan ini, wajar jika Jokowi menjadi berang dan memerintahkan pihak pelabuhan segera memperbaiki tata kelola dan administrasi demi mempersingkat
dwelling time.
“Target
dwelling time, saya ingin empat hari,” ujar Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (23/9/2014). Baca:
Jokowi Mau Dwelling Time tak Lebih 4 Hari
Berangkat dari peristiwa amukan Jokowi di Tanjung Priok itu, Tim Satuan Tugas khusus untuk pembenahan
dwelling time pun dibentuk. Penegak hukum bahkan turun tangan mengusut pihak-pihak yang dianggap menjadi biang kerok produktivitas dan arus keluar masuk barang yang rendah di pelabuhan. Selain itu, tim Panitia Kerja Khusus dari DPR RI juga dibentuk. Pembenahan
dwelling time menjadi fokus utama demi meningkatkan efisiensi.
Pada Desember 2015,
dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok berhasil diturunkan menjadi 4,2 hari. Kemudian, pada tahun ini PT Pelindo II melaporkan
dwelling time mampu ditekan lagi
menjadi 3,2-3,5 hari.
Namun, Jokowi seperti belum puas dengan capaian itu. Ia menginstruksikan
dwelling time harus bisa menjadi dua hari. Menurut Jokowi, Indonesia tidak boleh menjadi penonton dalam persaingan global. Menekan biaya logistik lewat mengurangi
dwelling time dan meningkatkan kapasitas bongkar pelabuhan merupakan salah satu cara meningkatkan kekuatan ekonomi Indonesia
"Kita tidak boleh jadi penonton dalam persaingan, penonton dalam era kompetisi. Agar kita bisa memenangkan pertarungan, kompetisi. Membuat ekonomi semakin kompetitif, berdaya saing," kata dia.
Sebagaimana diketahui, selama ini pengusaha logistik dan perkapalan enggan menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan bongkar muat. Salah satu alasannya,
dwelling time sangat tinggi. Pelabuhan Internasional Tanjung Priok yang dimiliki Indonesia masih kalah jauh dibandingkan pelabuhan internasional miliki negara lain soal cepatnya pengurusan izin dan bongkar muat. Baca:
Berbenah Pelabuhan
Belum lagi soal kapasitas bongkar muat dan spesifikasi pelabuhan Indonesia yang membuat banyak kapal kontainer kelas di atas Panama (kapasitas lebih dari 5.000 TEUs) tidak bisa berlabuh. Karena alasan itu, rampungnya pengerjaan New Priok Container Terminal 1 yang menjadi bagian dari disain besar Pelabuhan Kalibaru menjadi salah satu jawaban untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Sebab spesifikasi Pelabuhan Kalibaru yang memiliki kedalaman minimal 16 meter lebih, bisa melayani kapal berdaya angkut hingga 18.000 TEUs yang selama ini lebih memilih Singapura dan Malaysia.
Meningkatkan kapasitas pelabuhan
Selain soal
dwelling time dan tarif, kualitas dan kapasitas pelayanan pelabuhan juga menjadi hal penting. Tingkat produktivitas pelabuhan akan mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan.
“Pengusaha itu melihatnya bagaimana
level of service pelabuhan, produktivitasnya, dan kebijakan tarifnya,” ujar Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia bidang logisitik Carmelita Hartoto.
Masalah produktivitas pelabuhan karena masalah kapasitas ini memang perlu disoroti. Sebab Indonesia tidak menjadi daerah tujuan kapal-kapal asing.
Berdasarkan statistik Konsil Perkapalan Dunia, Pelabuhan Tanjung Priok yang dimiliki Indonesia berada di peringkat 23 pada tahun 2014. Kapasitas volume pelabuhan sebesar 6,4juta TEUs/tahun ini bisa dikatakan cukup tinggi dibanding negara lain.
Namun pada kenyataannya, pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan utama Indonesia kalah saing dengan beberapa pelabuhan di negara Asia Tenggara lainnya. Mulai dari Singapura, Malaysia hingga Thailand.
Pelabuhan Singapura memiliki kapasitas volume pelabuhan 33,87 juta TEUs/tahun. Tanjung Priok juga kalah dari Malaysia yang memiliki Port Klang yang berkapasitas 10,95 juta TEUs/tahun dan Tanjung Pelepas yang berkapasitas 8,5 juta TEUs/tahun. Thailand juga menang dari Indonesia karena Pelabuhan Laem Chabang memiliki kapasitas 6,58 juta TEUs/tahun.
Pelabuhan Kalibaru (New Priok) seharusnya bisa membawa angin segar ke Indonesia karena NPCT 1 memiliki kapasitas 1,5 juta TEUs/tahun. Pelabuhan ini akan meningkatkan kapasitas dan daya saing Indonesia dengan pelabuhan lain.
Pengembangan New Priok ini akan terus berlanjut pada terminal 2 dan terminal 3 yang bakal dibangun di atas lahan reklamasi. Operasi Pelabuhan Kalibaru ditandai dengan peresmian NPCT 1 yang dikelola bersama antara PT Pelindo (Persero) dan Mitsui.
Pengembangan Pelabuhan Kalibaru juga terus digenjot pemerintahan Joko Widodo. Indonesia mungkin saja bisa bersaing dengan Singapura saat pengembangan pelabuhan ini selesai. Setidaknya, Pelabuhan Kalibaru menjadi amunisi Indonesia di persaingan perdagangan maritim dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)