medcom.id, Jakarta: Sikap tenggang rasa dan saling menghargai di masyarakat memudar. Saban tahun, jumlah laporan kasus intoleransi merangkak naik.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, pada 2014 terdapat 74 pengaduan, dan pada 2015 mencapai 89 laporan. Sementara dalam separuh 2016 saja, sudah tercatat 34 pengaduan.
Banyak faktor kasus intoleransi semakin marak. Adanya pembiaran yang selama ini dilakukan banyak pihak, baik masyarakat yang pasif, tokoh-tokoh yang tidak tegas bersikap, maupun pemerintah yang tidak optimal melakukan tindakan dini dan penegakan hukum.
Maraknya kasus intoleransi juga terjadi akibat adanya sikap ekslusivitas dari kelompok tertentu. Kelompok ini dengan mudah menuduh kelompok lain kafir atau salah. Akibatnya terjadi penghakiman massa terhadap kelompok minoritas seperti dialami kelompok Ahmadiyah, Syiah, penghayat kepercayaan, serta beberapa kelompok lainnya.
Tak kalah berpengaruh, kasus intoleransi juga marak akibat provokasi di media sosial (medsos). Ujaran kebencian di medsos bahkan menyuburkan sikap intoleran lebih massif. Contoh paling nyata adalah kerusuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara pada akhir Juli 2016.Begitu pula dengan kerusuhan di Aek Badak, Sayur Matinggi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 19 September lalu. Faktor kerusuhan di dua tempat itu tak lain akibat pernyataan di media sosial.
Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat mengatakan, bangsa ini mengalami penurunan kualitas penghormatan terhadap orang lain khususnya terkait isu agama, aliran kepercayaan, perbedaan suku, perbedaan ras, dan seterusnya. "Sikap intoleran merasuk ke sendi-sendi keberagaman bangsa ini. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan karena intoleransi menjalar menjadi sebab munculnya kekerasan," ujar Imdadun saat dihubungi Metrotvnews.com, Jumat (20/12/2016).
Secara kuntitas, kata Imdadun, kasus intoleran pada 2016 tidak mengalami peningkatan signifikan. Tapi, secara situasi, intoleransi memprihatinkan. Perlu penanganan serius dari pemerintah.
"Data perbandingan kasus intoleran ini meningkat tidak dari sisi peristiwanya, tapi dari sisi situasi. Kalau menghitung dari data pengaduan, stagnan. Dari ungkapan-ungkapan media sosial jusru meningkat sampai pada kesimpulan, kasus ini sangat serius," kata dia.
Ia menambahkan, Pancasila sebagai flatform bangsa semakin digerus kelompok-kelompok yang ingin menggantinya. Suara itu tambah hari makin santer terdengar. "Belum lagi soal kelompok yang muncul menggangu kondusifitas, ini menjadi PR (pekerjaan rumah) yang harus dijawab pada 2017," ujar Imdad.
Situasi ini tentu menimbulkan keprihatinan cukup serius. Parahnya lagi, kata Imdad, kelompok intoleran telah memasuki kampus-kampus. Tindak kekerasan tak jarang menyebabkan terjadinya pelanggaran atas kebebasan orang lain untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, berkesenian, berkebudayaan, dan kebebasan akademis.
"Terkait kebebasan akademis ini perlu saya berikan penekanan. Kampus tidak lagi menjalankan mandat sebagai garda terdepan dalam membangun nation building (pembangunan bangsa)," kata dia.
Antisipasi Dini
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola menyarankan, pemerintah segera membangun kemampuan daerah dalam mencegah kasus intoleran. Salah satunya dengan mengenalkan sistem penanganan dini.
Menurut Thamrin, penanganan yang selayaknya diamanatkan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS) belum diterapkan di daerah secara massif.
"Contohnya, kalau di sebuah daerah ada kecenderungan situasi sosial yang akan memanas, intelijen harus segera mengantisipasi. Agar konflik tidak meluas," kata Thamrin dalam acara Prime Time News di Metro TV beberapa waktu lalu.
Kelompok agama juga semestinya tidak saklek pada perkara yang bersifat simbol. Lantaran, kata Thamrin, pola ini berpotensi membuat kasus intoleran makin membesar.
"Saat ini kerap terjadi perang simbol, semisal agama satu membangun rumah ibadah lebih tinggi dari agama lain. Satunya lagi panas membangun lebih tinggi. Harusnya ini tak boleh," kata Thamrin.
Selain kesalehan pribadi, kata dia, saat ini perlu juga memupuk kesalehan atau keadaban sosial bagi tip-tiap pemeluk agama. "Intinya jangan hanya pada ibadah individu yang diutamakan, tapi juga ibadah sosial," kata Thamrin.
medcom.id, Jakarta: Sikap tenggang rasa dan saling menghargai di masyarakat memudar. Saban tahun, jumlah laporan kasus intoleransi merangkak naik.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, pada 2014 terdapat 74 pengaduan, dan pada 2015 mencapai 89 laporan. Sementara dalam separuh 2016 saja, sudah tercatat 34 pengaduan.
Banyak faktor kasus intoleransi semakin marak. Adanya pembiaran yang selama ini dilakukan banyak pihak, baik masyarakat yang pasif, tokoh-tokoh yang tidak tegas bersikap, maupun pemerintah yang tidak optimal melakukan tindakan dini dan penegakan hukum.
Maraknya kasus intoleransi juga terjadi akibat adanya sikap ekslusivitas dari kelompok tertentu. Kelompok ini dengan mudah menuduh kelompok lain kafir atau salah. Akibatnya terjadi penghakiman massa terhadap kelompok minoritas seperti dialami kelompok Ahmadiyah, Syiah, penghayat kepercayaan, serta beberapa kelompok lainnya.
Tak kalah berpengaruh, kasus intoleransi juga marak akibat provokasi di media sosial (medsos). Ujaran kebencian di medsos bahkan menyuburkan sikap intoleran lebih massif. Contoh paling nyata adalah kerusuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara pada akhir Juli 2016.Begitu pula dengan kerusuhan di Aek Badak, Sayur Matinggi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 19 September lalu. Faktor kerusuhan di dua tempat itu tak lain akibat pernyataan di media sosial.
Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat mengatakan, bangsa ini mengalami penurunan kualitas penghormatan terhadap orang lain khususnya terkait isu agama, aliran kepercayaan, perbedaan suku, perbedaan ras, dan seterusnya. "Sikap intoleran merasuk ke sendi-sendi keberagaman bangsa ini. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan karena intoleransi menjalar menjadi sebab munculnya kekerasan," ujar Imdadun saat dihubungi
Metrotvnews.com, Jumat (20/12/2016).
Secara kuntitas, kata Imdadun, kasus intoleran pada 2016 tidak mengalami peningkatan signifikan. Tapi, secara situasi, intoleransi memprihatinkan. Perlu penanganan serius dari pemerintah.
"Data perbandingan kasus intoleran ini meningkat tidak dari sisi peristiwanya, tapi dari sisi situasi. Kalau menghitung dari data pengaduan, stagnan. Dari ungkapan-ungkapan media sosial jusru meningkat sampai pada kesimpulan, kasus ini sangat serius," kata dia.
Ia menambahkan, Pancasila sebagai flatform bangsa semakin digerus kelompok-kelompok yang ingin menggantinya. Suara itu tambah hari makin santer terdengar. "Belum lagi soal kelompok yang muncul menggangu kondusifitas, ini menjadi PR (pekerjaan rumah) yang harus dijawab pada 2017," ujar Imdad.
Situasi ini tentu menimbulkan keprihatinan cukup serius. Parahnya lagi, kata Imdad, kelompok intoleran telah memasuki kampus-kampus. Tindak kekerasan tak jarang menyebabkan terjadinya pelanggaran atas kebebasan orang lain untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, berkesenian, berkebudayaan, dan kebebasan akademis.
"Terkait kebebasan akademis ini perlu saya berikan penekanan. Kampus tidak lagi menjalankan mandat sebagai garda terdepan dalam membangun nation building (pembangunan bangsa)," kata dia.
Antisipasi Dini
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola menyarankan, pemerintah segera membangun kemampuan daerah dalam mencegah kasus intoleran. Salah satunya dengan mengenalkan sistem penanganan dini.
Menurut Thamrin, penanganan yang selayaknya diamanatkan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS) belum diterapkan di daerah secara massif.
"Contohnya, kalau di sebuah daerah ada kecenderungan situasi sosial yang akan memanas, intelijen harus segera mengantisipasi. Agar konflik tidak meluas," kata Thamrin dalam acara
Prime Time News di
Metro TV beberapa waktu lalu.
Kelompok agama juga semestinya tidak saklek pada perkara yang bersifat simbol. Lantaran, kata Thamrin, pola ini berpotensi membuat kasus intoleran makin membesar.
"Saat ini kerap terjadi perang simbol, semisal agama satu membangun rumah ibadah lebih tinggi dari agama lain. Satunya lagi panas membangun lebih tinggi. Harusnya ini tak boleh," kata Thamrin.
Selain kesalehan pribadi, kata dia, saat ini perlu juga memupuk kesalehan atau keadaban sosial bagi tip-tiap pemeluk agama. "Intinya jangan hanya pada ibadah individu yang diutamakan, tapi juga ibadah sosial," kata Thamrin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)