Perbedaan Kebijakan Green Car Ciptakan Peluang Pasar yang Besar

medcom.id, Jakarta: Perusahaan konsultan Frost & Sullivan memprediksikan perbedaan kebijakan segmen 'Green Car' di ASEAN akan memberi peluang untuk pertumbuhan pasar di masa depan. Associate Director Automotive Practice Asia Pacific Frost & Sullivan Dushyant Sinha dalam keterangannya di Jakarta, baru-baru ini mengatakan, tiga negara otomotif terbesar di ASEAN yaitu Thailand, Malaysia, dan Indonesia memiliki kebijakan bahwa semua kendaraan dibuat dengan tingkat emisi rendah dan jarak tempuh yang tinggi. Namun, ia menambahkan bahwa pendekatan dan fokus kebijakan di setiap negara sangat berbeda. 'Eco Car' di Thailand merupakan produk dengan persyaratan investasi dengan memberi penambahan nilai PPH dan bea cukai kendaraan, sedangkan untuk produk 'EEVs' Malaysia diharapkan dapat mencakup jangkauan luas dengan penyesuaian berdasarkan seberapa strategis investasi tersebut. Sementara itu dua negara ASEAN lain yang turut membanggakan manufaktur lokal adalah Vietnam dan Filipina. Menurut dia, dua negara ini juga bermain dengan berbagai inisiatif kebijakan untuk meningkatkan investasi, seperti Filipina dengan 'Hybrid Incentive Bill' akan menjadi suatu hukum dan diharapkan dapat lebih mendukung inisiatif kelas bawah seperti 'e-Jeepney'. Sejauh ini, ia mengatakan dorongan kuat dari kebijakan membuat Green Car di Thailand lebih unggul dari Indonesia dan Malaysia, meski dalam keberlanjutannya akan menjadi tantangan utama selama dekade berikutnya. Sementara itu, Dushyant mengatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir, pasar otomotif Indonesia yang telah ramai dengan berita tentang kebijakan pemerintah untuk 'Low Cost Green Car' (LCGC) memang sudah ditangkap oleh industri. Namun, masih banyak membutuhkan dukungan untuk mengejar Thailand sebagai produsen terbesar untuk mobil ini. Pemerintah, menurut dia, telah mengumumkan kebijakan Green Car pada tahun 2013 dengan tujuan untuk mendongkrak volume industri. Meskipun beberapa kalangan tidak setuju dengan kebijakan ini karena meningkatkan kemacetan lalu lintas, namun kebijakan tersebut berjalan. Dushyant mengatakan bahwa program LCGC juga bisa berubah menjadi 'game changer' di sektor otomotif Indonesia, mengubah lanskap pasar domestik dan meningkatkan penjualan, baik di pasar domestik dan luar negeri dalam jangka panjang. Peningkatan permintaan untuk mobil ini bisa dilihat sebanyak 40-50 persen. Meski berbagai inisiatif fiskal terkait program ini dapat mengakibatkan potensi kerugian hingga 80 juta dolar AS, namun ini akan dapat diimbangi oleh peningkatan investasi sebesar 12,5 persen di sektor otomotif. Selain itu, menurut dia, investasi tambahan juga dapat menambahkan lebih dari delapan persen pada sektor tenaga kerja. Secara  keseluruhan, kebijakan LCGC kemungkinan juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 0,3 persen. (Ant)