medcom.id, Jakarta: Mendapat julukan pahlawan tanpa tanda jasa tidak membuat perut guru-guru di Indonesia aman dari rasa lapar. Kesejahteraan para guru, khususnya guru honorer masih jauh dari kata layak.
Nasib buruh pabrik pun dianggap lebih baik dibanding para guru honorer. Ibarat kata, buruh yang tidak perlu gelar sarjana saja diupah dengan upah minimum regional (UMR). Sementara guru tidak mendapat keistimewaan tersebut.
"Kalau dibandingin jauh dari kata layak. Kami ini (guru) dituntut harus lulus dengan gelar sarjana, tapi digaji jauh dari buruh," kata Kris Dwi Purnomo, 30, salah seorang guru honorer kepada Metrotvnews.com, di Jakarta, (13/12/2015).
Kris merupakan satu dari ribuan guru honorer yang datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat untuk menghadiri acara peringatan HUT ke-70 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ia jauh-jauh datang dari Sukabumi, Jawa Barat.
Sudah delapan tahun Kris menjadi guru honorer. Janji untuk diangkat sebagai PNS tinggal lah janji. Hingga kini, upahnya mengajar generasi penerus bangsa hanya Rp500 ribu sebulan.
Upah yang diterima juga tidak tentu masuk sebulan sekali. Ia mengeluhkan, kadang upahnya mengajar baru masuk dua atau tiga bulan sekali.
"Ini yang membuat guru honorer kesulitan dari segi ekonomi," paparnya.
Tak habis akal, guru di Kabupaten Sukabumi itu pun membuka usaha sampingan. Tujuannya, agar perut istri dan anaknya terpenuhi.
Kris membuka sebuah warnet di rumahnya. Ternyata, usaha sampingan ini bukan hanya dilakukan Kris seorang. Ia mengatakan, rekan guru honorer lainnya juga melakukan pekerjaan sampingan, bahkan ada yang menjadi tukang ojek di sela-selanya mengajar.
"Kalau tidak ada sampingan, anak dan istri mau makan apa?" kata pria yang sudah dikaruniai dua anak itu.
Lokasi sekolahnya tempat mengajar, di SDN Taman, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi pun masih sulit dijangkau. Murid-muridnya perlu berjalan kaki sejauh satu hingga dua kilometer dari rumahnya untuk mencapai sekolah.
Akses menuju SD itu pun tidak mudah. Akses jalan, papar Kris hanya bisa dilalui sepeda motor, dan kalau hujan, bahkan kendaraan tidak bisa lewat.
Kendati menghadapi beribu masalah sebagai guru honorer, semangat Kris dan guru lainnya tidak pernah padam. Semangat belajar yang ditunjukkan anak didiknya jadi amunisi mereka mengajar.
"Ketika melihat anak-anak itu kita terhibur dan semangat. Mereka tidak pernah lelah belajar," ucapnya.
Momen perayaan HUT PGRI ini dimanfaatkan dengan baik oleh Kris dan guru honorer lainnya. Ia meminta pemerintah bisa memerhatikan lagi kesejahteraan guru honorer.
Dalam salah satu pernyataan sikap PGRI, poin keempat juga berbicara soal kesejahteraan guru. PGRI mendesak pemerintah dan pemerintah daerah memenuhi kebutuhan guru dan meningkatkan kesejahteraan guru non-PNS.
medcom.id, Jakarta: Mendapat julukan pahlawan tanpa tanda jasa tidak membuat perut guru-guru di Indonesia aman dari rasa lapar. Kesejahteraan para guru, khususnya guru honorer masih jauh dari kata layak.
Nasib buruh pabrik pun dianggap lebih baik dibanding para guru honorer. Ibarat kata, buruh yang tidak perlu gelar sarjana saja diupah dengan upah minimum regional (UMR). Sementara guru tidak mendapat keistimewaan tersebut.
"Kalau dibandingin jauh dari kata layak. Kami ini (guru) dituntut harus lulus dengan gelar sarjana, tapi digaji jauh dari buruh," kata Kris Dwi Purnomo, 30, salah seorang guru honorer kepada
Metrotvnews.com, di Jakarta, (13/12/2015).
Kris merupakan satu dari ribuan guru honorer yang datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat untuk menghadiri acara peringatan HUT ke-70 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ia jauh-jauh datang dari Sukabumi, Jawa Barat.
Sudah delapan tahun Kris menjadi guru honorer. Janji untuk diangkat sebagai PNS tinggal lah janji. Hingga kini, upahnya mengajar generasi penerus bangsa hanya Rp500 ribu sebulan.
Upah yang diterima juga tidak tentu masuk sebulan sekali. Ia mengeluhkan, kadang upahnya mengajar baru masuk dua atau tiga bulan sekali.
"Ini yang membuat guru honorer kesulitan dari segi ekonomi," paparnya.
Tak habis akal, guru di Kabupaten Sukabumi itu pun membuka usaha sampingan. Tujuannya, agar perut istri dan anaknya terpenuhi.
Kris membuka sebuah warnet di rumahnya. Ternyata, usaha sampingan ini bukan hanya dilakukan Kris seorang. Ia mengatakan, rekan guru honorer lainnya juga melakukan pekerjaan sampingan, bahkan ada yang menjadi tukang ojek di sela-selanya mengajar.
"Kalau tidak ada sampingan, anak dan istri mau makan apa?" kata pria yang sudah dikaruniai dua anak itu.
Lokasi sekolahnya tempat mengajar, di SDN Taman, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi pun masih sulit dijangkau. Murid-muridnya perlu berjalan kaki sejauh satu hingga dua kilometer dari rumahnya untuk mencapai sekolah.
Akses menuju SD itu pun tidak mudah. Akses jalan, papar Kris hanya bisa dilalui sepeda motor, dan kalau hujan, bahkan kendaraan tidak bisa lewat.
Kendati menghadapi beribu masalah sebagai guru honorer, semangat Kris dan guru lainnya tidak pernah padam. Semangat belajar yang ditunjukkan anak didiknya jadi amunisi mereka mengajar.
"Ketika melihat anak-anak itu kita terhibur dan semangat. Mereka tidak pernah lelah belajar," ucapnya.
Momen perayaan HUT PGRI ini dimanfaatkan dengan baik oleh Kris dan guru honorer lainnya. Ia meminta pemerintah bisa memerhatikan lagi kesejahteraan guru honorer.
Dalam salah satu pernyataan sikap PGRI, poin keempat juga berbicara soal kesejahteraan guru. PGRI mendesak pemerintah dan pemerintah daerah memenuhi kebutuhan guru dan meningkatkan kesejahteraan guru non-PNS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)