medcom.id, Jakarta: Ada hantu berkeliaran di Eropa, hantu Komunisme...
Sejak mula, komunisme memang diistilahkan "hantu" oleh sang empunya sendiri. Karl Marx dan Friedrich Engels, membubuhkan kata itu pada paragraf pembuka Manifesto Komunis 1848.
Keduanya, menyindir penguasa-penguasa tradisional; paus dan tsar. Juga, para pembesar Eropa lama lainnya yang tampak terusik dengan perlawanan sebuah kelompok, lantas merasa perlu bersekutu.
Di beberapa negara, komunisme lazim menggerakkan kekuatan-kekuatan buruh dan petani melawan para pemilik modal. Mereka, memimpikan hidup tanpa kelas. Jargonnya, sama rata-sama rasa.
Gerakan buruh-tani ini, pada akhirnya sering terjebak dalam konflik kekerasan. Letupan dan bentrok dalam sejarah, diingat banyak orang dan dianggapnya sebagai catatan.
Setelah sekian lama malang melintang di tataran global, komunisme pun akhirnya tersingkir dan menepi. Episode penutup mereka, ditandai dengan remuknya Uni Soviet menjadi 14 republik independen pada 26 tahun silam.
Isu-isu kebangkitan
Pada 1975, komunisme mendapatkan kemenangan pamungkasnya di Vietnam. Namun memasuki era 1980-an, tingkat ketertarikan penduduk dunia pada ideologi ini rupanya kian rontok. Malahan, mulai dianggap sebagai cerita-cerita kekuatan masa lampau, usang, dan ketinggalan zaman.
Hal itu, makin tampak pada 1989. Betapa tidak, hanya dalam beberapa bulan saja, satu demi satu rezim komunis di Eropa Timur runtuh. Dimulai dari Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia, dan Rumania.
Pakta Warsawa, sebuah aliansi militer negara-negara Blok Timur di Eropa; bubar. Partai Komunis di Uni Soviet, kekuatan utama pengimbang Amerika Serikat (AS) pun harus rela melepaskan monopoli kekuasaan yang sudah menjadi ciri khasnya selama 73 tahun terakhir.
Kini, negara-negara penganut paham komunisme di dunia cuma tersisa beberapa. Hanya Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan Laos.
"Bahkan Tiongkok, walaupun tetap mengusung ideologi komunis, namun dalam praktiknya, juga mengadopsi ideologi kapitalisme. Begitu pula Vietnam," tulis Tohir Bawazir, dalam Jalan Tengah Demokrasi: antara Fundamentalisme dan Sekularisme (2015).
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Ketika semangat komunisme menyebar ke berbagai belahan dunia, Indonesia kebagian juga.
Pada 1914, diawali dengan kemunculan Henk Sneevliet, sosialis Hindia Belanda yang membentuk serikat tenaga kerja pelabuhan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Singkat cerita, ISDV inilah yang kelak menjelma Partai Komunis Indonesia (PKI), satu-satunya partai politik yang amat lekat dengan ideologi komunis marxisme-leninisme di Indonesia.
Pada Pemilu 1955, PKI menempati urutan keempat dari parpol pendulang suara terbanyak. Mereka berhasil memeroleh 16% pemilih dan meraih 39 dari 257 kursi yang diperebutkan. PKI juga merebut 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Hanya saja, di sepanjang sejarah partai, PKI pernah terseret dalam tiga kali pemberontakan. Pertama, pada 1926 di Jawa barat dan Sumatra Barat. Akibat aksi perlawanan kepada Kolonial Belanda ini, PKI harus rela kehilangan ribuan kader dan pengikut. Mereka dibunuh dan 13.000 orang lainnya dipenjara dan dibuang ke Digul, Papua.
Usai Indonesia merdeka, PKI kembali terlibat pemberontakan. Pada 1948, PKI dan parpol kiri lainnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Di Madiun, Jawa Timur, mereka memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia.
Selang 17 tahun berikutnya, PKI benar-benar memasuki babak akhir. Pada 30 September 1965, mereka dikabarkan gagal melakukan kudeta. Setelahnya, partai palu arit ini tidak cuma dibubarkan, bahkan menganut dan meneruskan paham ideologinya pun sangat dilarang.
PKI dicap pemerintahan Soeharto sebagai bahaya laten. Siapa yang coba-coba membangkitkannya, maka mesti siap berurusan dengan perangkat hukum dan tindakan yang memang diformalkan.
Aturan itu, terutama yang termaktub dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Jika di negara lain komunisme tak lagi laku, maka, di Indonesia, ia sekalian dijadikan hantu.
Tuduhan terlibat G-30-S/PKI dan perongrong Pancasila, bisa melayang kepada siapa saja yang dianggap berseberangan.
Luka masa lalu
Peristiwa 1965 adalah luka masa lalu. Sebab, setelah penggagalan kudeta, pemberangusan PKI tidak sebatas di tataran gerakan dan ideologi. Namun, menjurus juga pada penghilangan nyawa.
Hingga hari ini, cerita-cerita masih sangat kabur. Di sepanjang waktu, sejarah tentang PKI dan komunisme di Indonesia masih saja mengalami perdebatan.
Setelah Reformasi 1998, kesemrawutan informasi tentang PKI dan komunisme nyaris menjumpai titik terang. Seiring pintu kebebasan dibuka, usulan-usulan rekonsiliasi peristiwa 1965 mulai banyak digaungkan.
Itu pun tidak bertahan lama. Sesekali, oleh kelompok-kelompok tertentu, hantu-hantu PKI dihidupkan demi memuluskan kepentingan pribadi.
Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi mengatakan, komunisme masih menjadi satu dari tiga besar kelompok yang paling dibenci masyarakat, termasuk oleh kelompok muslim sebagai mayoritas.
Dalam sejarahnya, pandangan politik kelompok Islam dan PKI memang tak pernah seiring dan cenderung berseberangan. Maka, pola ini amat strategis dan manjur untuk diembukan dalam moment-moment tertentu.
“Dugaan saya Pilpres 2019 pun akan digunakan (isu komunisme), jadi bagian dari politik identitas, bagian dari eksploitasi emosi,” kata Burhanudin dalam Prime Time News di Metro TV, Kamis, 4 Agustus lalu.
Isu kebangkitan komunisme, kata Burhanudin, merupakan warisan propaganda rezim orde baru. Tapi, anehnya kelompok yang tidak hidup di masa itu pun, banyak yang percaya komunisme itu ada.
Komunisme, tak ubahnya isu fiktif yang banyak dijadikan senjata dalam praktik politik global yang turut menuai sukses di negara lain.
“Jadi post-truth, mulai dari Brexit kemudian menangnya Donald Trump, karena tadi mengeksploitasi isu-isu yang sebenarnya lebih berbau fiksi ketimbang fakta,” tutur dia.
Post-truth, alias pascakebenaran muncul dari perebutan pengaruh satu-dua pihak berkepentingan. Targetnya, 'fakta' yang dihasilkan dari konsep tersebut bisa diterima dengan mudah oleh publik karena lebih menguras sisi rasionalitas, bukan fakta lapangan.
Istilahnya terbilang anyar. Kamus Oxford bahkan baru memasukan lema ini pada 2016 lalu. Kata post-truth dianggap menjadi pilihan tepat bagi negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang kala itu tengah merasa diancam perpecahan akibat lebih mendahulukan emosi dibanding fakta.
Konsep ini, amat dekat dengan istilah hoaks. Maka, berjodohlah keduanya.
Baca: Ajakan Mengepung YLBHI Viral Sejak 15 September
Pengepungan kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kemarin, salah satunya. Sekelompok massa menuding YLBHI sebagai bagian dari kebangkitan PKI.
Alur sebabnya, sepele, di dalam gedung itu baru saja digelar acara bertajuk 'Asik Asik Aksi'. Sebuah kebebasan berekspresi melalui puisi, musik dan stand up comedy yang dimulai sejak pukul 15.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB.
Mungkin, yang jadi soal acara itu merupakan bentuk keprihatinan atas pembubaran seminar sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965 yang mestinya digelar sehari sebelumnya.
Oleh simpang-siur kabar yang tersebar, tema itu dianggap bagian dari agenda membangkitkan paham komunisme di Indonesia.
PKI dan komunisme, memang hantu. Ia sudah mati, tapi bisa dibangkitkan berita palsu.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/yNLeD5yb" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Ada hantu berkeliaran di Eropa, hantu Komunisme...
Sejak mula, komunisme memang diistilahkan "hantu" oleh sang empunya sendiri. Karl Marx dan Friedrich Engels, membubuhkan kata itu pada paragraf pembuka
Manifesto Komunis 1848.
Keduanya, menyindir penguasa-penguasa tradisional; paus dan tsar. Juga, para pembesar Eropa lama lainnya yang tampak terusik dengan perlawanan sebuah kelompok, lantas merasa perlu bersekutu.
Di beberapa negara, komunisme lazim menggerakkan kekuatan-kekuatan buruh dan petani melawan para pemilik modal. Mereka, memimpikan hidup tanpa kelas. Jargonnya,
sama rata-sama rasa.
Gerakan buruh-tani ini, pada akhirnya sering terjebak dalam konflik kekerasan. Letupan dan bentrok dalam sejarah, diingat banyak orang dan dianggapnya sebagai catatan.
Setelah sekian lama malang melintang di tataran global, komunisme pun akhirnya tersingkir dan menepi. Episode penutup mereka, ditandai dengan remuknya Uni Soviet menjadi 14 republik independen pada 26 tahun silam.
Isu-isu kebangkitan
Pada 1975, komunisme mendapatkan kemenangan pamungkasnya di Vietnam. Namun memasuki era 1980-an, tingkat ketertarikan penduduk dunia pada ideologi ini rupanya kian rontok. Malahan, mulai dianggap sebagai cerita-cerita kekuatan masa lampau, usang, dan ketinggalan zaman.
Hal itu, makin tampak pada 1989. Betapa tidak, hanya dalam beberapa bulan saja, satu demi satu rezim komunis di Eropa Timur runtuh. Dimulai dari Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia, dan Rumania.
Pakta Warsawa, sebuah aliansi militer negara-negara Blok Timur di Eropa; bubar. Partai Komunis di Uni Soviet, kekuatan utama pengimbang Amerika Serikat (AS) pun harus rela melepaskan monopoli kekuasaan yang sudah menjadi ciri khasnya selama 73 tahun terakhir.
Kini, negara-negara penganut paham komunisme di dunia cuma tersisa beberapa. Hanya Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba, dan Laos.
"Bahkan Tiongkok, walaupun tetap mengusung ideologi komunis, namun dalam praktiknya, juga mengadopsi ideologi kapitalisme. Begitu pula Vietnam," tulis Tohir Bawazir, dalam
Jalan Tengah Demokrasi: antara Fundamentalisme dan Sekularisme (2015).
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Ketika semangat komunisme menyebar ke berbagai belahan dunia, Indonesia kebagian juga.
Pada 1914, diawali dengan kemunculan Henk Sneevliet, sosialis Hindia Belanda yang membentuk serikat tenaga kerja pelabuhan
Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Singkat cerita, ISDV inilah yang kelak menjelma Partai Komunis Indonesia (PKI), satu-satunya partai politik yang amat lekat dengan ideologi komunis
marxisme-leninisme di Indonesia.
Pada Pemilu 1955, PKI menempati urutan keempat dari parpol pendulang suara terbanyak. Mereka berhasil memeroleh 16% pemilih dan meraih 39 dari 257 kursi yang diperebutkan. PKI juga merebut 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Hanya saja, di sepanjang sejarah partai, PKI pernah terseret dalam tiga kali pemberontakan. Pertama, pada 1926 di Jawa barat dan Sumatra Barat. Akibat aksi perlawanan kepada Kolonial Belanda ini, PKI harus rela kehilangan ribuan kader dan pengikut. Mereka dibunuh dan 13.000 orang lainnya dipenjara dan dibuang ke Digul, Papua.
Usai Indonesia merdeka, PKI kembali terlibat pemberontakan. Pada 1948, PKI dan parpol kiri lainnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Di Madiun, Jawa Timur, mereka memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia.
Selang 17 tahun berikutnya, PKI benar-benar memasuki babak akhir. Pada 30 September 1965, mereka dikabarkan gagal melakukan kudeta. Setelahnya, partai
palu arit ini tidak cuma dibubarkan, bahkan menganut dan meneruskan paham ideologinya pun sangat dilarang.
PKI dicap pemerintahan Soeharto sebagai bahaya laten. Siapa yang coba-coba membangkitkannya, maka mesti siap berurusan dengan perangkat hukum dan tindakan yang memang diformalkan.
Aturan itu, terutama yang termaktub dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Jika di negara lain komunisme tak lagi laku, maka, di Indonesia, ia sekalian dijadikan hantu.
Tuduhan terlibat G-30-S/PKI dan perongrong Pancasila, bisa melayang kepada siapa saja yang dianggap berseberangan.
Luka masa lalu
Peristiwa 1965 adalah luka masa lalu. Sebab, setelah penggagalan kudeta, pemberangusan PKI tidak sebatas di tataran gerakan dan ideologi. Namun, menjurus juga pada penghilangan nyawa.
Hingga hari ini, cerita-cerita masih sangat kabur. Di sepanjang waktu, sejarah tentang PKI dan komunisme di Indonesia masih saja mengalami perdebatan.
Setelah Reformasi 1998, kesemrawutan informasi tentang PKI dan komunisme nyaris menjumpai titik terang. Seiring pintu kebebasan dibuka, usulan-usulan rekonsiliasi peristiwa 1965 mulai banyak digaungkan.
Itu pun tidak bertahan lama. Sesekali, oleh kelompok-kelompok tertentu, hantu-hantu PKI dihidupkan demi memuluskan kepentingan pribadi.
Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi mengatakan, komunisme masih menjadi satu dari tiga besar kelompok yang paling dibenci masyarakat, termasuk oleh kelompok muslim sebagai mayoritas.
Dalam sejarahnya, pandangan politik kelompok Islam dan PKI memang tak pernah seiring dan cenderung berseberangan. Maka, pola ini amat strategis dan manjur untuk diembukan dalam moment-moment tertentu.
“Dugaan saya
Pilpres 2019 pun akan digunakan (isu komunisme), jadi bagian dari politik identitas, bagian dari eksploitasi emosi,” kata Burhanudin dalam
Prime Time News di
Metro TV, Kamis, 4 Agustus lalu.
Isu kebangkitan komunisme, kata Burhanudin, merupakan warisan propaganda rezim orde baru. Tapi, anehnya kelompok yang tidak hidup di masa itu pun, banyak yang percaya komunisme itu ada.
Komunisme, tak ubahnya isu fiktif yang banyak dijadikan senjata dalam praktik politik global yang turut menuai sukses di negara lain.
“Jadi
post-truth, mulai dari Brexit kemudian menangnya Donald Trump, karena tadi mengeksploitasi isu-isu yang sebenarnya lebih berbau fiksi ketimbang fakta,” tutur dia.
Post-truth, alias pascakebenaran muncul dari perebutan pengaruh satu-dua pihak berkepentingan. Targetnya, 'fakta' yang dihasilkan dari konsep tersebut bisa diterima dengan mudah oleh publik karena lebih menguras sisi rasionalitas, bukan fakta lapangan.
Istilahnya terbilang anyar. Kamus
Oxford bahkan baru memasukan lema ini pada 2016 lalu. Kata
post-truth dianggap menjadi pilihan tepat bagi negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang kala itu tengah merasa diancam perpecahan akibat lebih mendahulukan emosi dibanding fakta.
Konsep ini, amat dekat dengan istilah hoaks. Maka, berjodohlah keduanya.
Baca: Ajakan Mengepung YLBHI Viral Sejak 15 September
Pengepungan kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kemarin, salah satunya. Sekelompok massa menuding YLBHI sebagai bagian dari kebangkitan PKI.
Alur sebabnya, sepele, di dalam gedung itu baru saja digelar acara bertajuk
'Asik Asik Aksi'. Sebuah kebebasan berekspresi melalui puisi, musik dan
stand up comedy yang dimulai sejak pukul 15.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB.
Mungkin, yang jadi soal acara itu merupakan bentuk keprihatinan atas pembubaran seminar sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965 yang mestinya digelar sehari sebelumnya.
Oleh simpang-siur kabar yang tersebar, tema itu dianggap bagian dari agenda membangkitkan paham komunisme di Indonesia.
PKI dan komunisme, memang hantu. Ia sudah mati, tapi bisa dibangkitkan berita palsu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)