medcom.id, Jakarta: Pembacaan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk hasil sidang dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU RI dan Bawaslu RI akan dibacakan pada waktu yang sama dengan pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pilpres yang diajukan Tim Hukum Prabowo-Hatta.
Langkah ini diambil untuk menghindari saling memengaruhi proses pengambilan keputusan kedua lembaga tersebut. Konflik pun diharapkan dapat dihindari.
“Jadwal putusan akan bareng dengan di MK, supaya tidak saling pengaruh-mempengaruhi. Bisa beda jam. Bisa duluan bisa juga belakangan. Tapi harinya sama," ucap Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie di Kantor DKPP, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2014).
Jimly mengaku, berdasarkan peraturan yang berlaku DKPP tidak memiliki batas khusus atau batas kadaluarsa dalam memproses suatu perkara yang berkaitan perilaku penyelenggara pemilu. Berbeda hal dengan MK yang berdasarkan UU harus diajukan 3 x 24 jam sesudah keputusan KPU.
Dengan demikian, lanjut Jimly, pihaknya dapat mengupayakan kasus terkait pilpres dapat diprioritaskan. Setelah DKPP dan MK membacakan pada 21 Agustus 2014 mendatang, kasus pilpres dapat selesai dan dapat menghasilkan pemerintahan baru.
“Jadi kalau bisa, sesudah putusan MK, urusan Pilpres ini selesai. Semua ketegangan, semua kekecewaan berakhir. Jadi kami mengambil momentum itu untuk menyelesaikan juga semua kasus-kasus kode etik penyelenggara Pemilu yang terkait dengan Pilpres (berbarangan dengan di MK-red),” tukasnya.
Jumly menegaskan DKPP yakin dapat membacakan putusan pada hari yang sama dengan MK, kendati kerap mendapatkan desakan dari berbagai pihak agar pembacaan dipercepat.
Jimly mengatakan bahwa DKPP yang hanya berwenang menilai perilaku penyelenggara pemilu. Ia tidak ingin kasus seperti Pilkada Depok beberapa waktu lalu kembali terulang.
“Contohnya waktu memberhentikan Ketua KPU Depok. Pemilukada sudah terjadi 2 tahun sebelumnya. Baru ditemukan pelanggaran berat di kemudian hari, sehingga dipecat. Tapi hasil Pemilukadanya tidak bisa diganggu gugat karena sudah berakhir dengan putusan MK yang memenangkan si Walikota sekarang. Tidak bisa gara-gara Ketua KPU diberhentikan, maka Walikotanya juga harus diberhentikan. Ini tidak bisa begitu. Ini dua hal yang berbeda. Proses dan hasil Pemilukada sudah selesai di MK,” tutup Jimly.
medcom.id, Jakarta: Pembacaan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk hasil sidang dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU RI dan Bawaslu RI akan dibacakan pada waktu yang sama dengan pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pilpres yang diajukan Tim Hukum Prabowo-Hatta.
Langkah ini diambil untuk menghindari saling memengaruhi proses pengambilan keputusan kedua lembaga tersebut. Konflik pun diharapkan dapat dihindari.
“Jadwal putusan akan bareng dengan di MK, supaya tidak saling pengaruh-mempengaruhi. Bisa beda jam. Bisa duluan bisa juga belakangan. Tapi harinya sama," ucap Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie di Kantor DKPP, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2014).
Jimly mengaku, berdasarkan peraturan yang berlaku DKPP tidak memiliki batas khusus atau batas kadaluarsa dalam memproses suatu perkara yang berkaitan perilaku penyelenggara pemilu. Berbeda hal dengan MK yang berdasarkan UU harus diajukan 3 x 24 jam sesudah keputusan KPU.
Dengan demikian, lanjut Jimly, pihaknya dapat mengupayakan kasus terkait pilpres dapat diprioritaskan. Setelah DKPP dan MK membacakan pada 21 Agustus 2014 mendatang, kasus pilpres dapat selesai dan dapat menghasilkan pemerintahan baru.
“Jadi kalau bisa, sesudah putusan MK, urusan Pilpres ini selesai. Semua ketegangan, semua kekecewaan berakhir. Jadi kami mengambil momentum itu untuk menyelesaikan juga semua kasus-kasus kode etik penyelenggara Pemilu yang terkait dengan Pilpres (berbarangan dengan di MK-red),” tukasnya.
Jumly menegaskan DKPP yakin dapat membacakan putusan pada hari yang sama dengan MK, kendati kerap mendapatkan desakan dari berbagai pihak agar pembacaan dipercepat.
Jimly mengatakan bahwa DKPP yang hanya berwenang menilai perilaku penyelenggara pemilu. Ia tidak ingin kasus seperti Pilkada Depok beberapa waktu lalu kembali terulang.
“Contohnya waktu memberhentikan Ketua KPU Depok. Pemilukada sudah terjadi 2 tahun sebelumnya. Baru ditemukan pelanggaran berat di kemudian hari, sehingga dipecat. Tapi hasil Pemilukadanya tidak bisa diganggu gugat karena sudah berakhir dengan putusan MK yang memenangkan si Walikota sekarang. Tidak bisa gara-gara Ketua KPU diberhentikan, maka Walikotanya juga harus diberhentikan. Ini tidak bisa begitu. Ini dua hal yang berbeda. Proses dan hasil Pemilukada sudah selesai di MK,” tutup Jimly.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)