medcom.id, Jakarta: Mukari, sudah kenyang asam garam ikut berjuang melawan penjajah. Meski harus kehilangan salah satu kakinya, tak patah arang Dia untuk terus berjuang.
Tergabung dalam pasukan terlatih yang Ia sebut Polisi Istimewa membuat Mukari semakin mudah memasuki medan perang. Kini, di hari tuanya Ia tak berdaya, usia yang terus bertambah membuat Mukari khawatir masa tuanya akan sia-sia.
"Kalau melihat sekarang, saya tidak ada apa-apanya. Ditanya (pemerintah) saja tidak," ungkap Mukari dengan terbata saat berbincang dalam program Selamat Pagi Indonesia.
Duduk sebagai veteran, Mukari setidaknya punya posisi strategis di Korps Cacat Veteran Indobesia di Surabaya. Sudah beberapa tahun Ia dipercaya sebagai ketua perhimpunan para veteran yang mengalami cacat akibat perang.
Dengan semangat kemerdekaan, Mukari kembali membuka lembar demi lembar bagaimana Ia ikut berjuang melawan penjajahan.
Sekitar 1944 Dia masuk dalam pendidikan kepolisian, Ia mengaku tak paham mengapa saat itu dimasukkan ke sekolah kemudian dijadikan pasukan. Yang Ia ingat, dirinya pernah menjadi bagian pengamanan saat peristiwa pemberontakan kecil-kecilan terjadi di Surabaya.
Selang beberapa tahun, dengan pengalaman yang cukup mumpuni untuk berperang, Mukari berangkat menuju medan perang di daerah Madiun, Jawa Timur. Peristiwa pemberontakan yang bertubi-tubi termasuk pemberontakan PKI tahun 1948 akhirnya merenggut karier Mukari sebagai pasukan. Salah satu kakinya hancur akibat perang dan cacat selamanya.
Meski kini mengalami cacat permanen, pengalamannya berperang melawan penjajah adalah suatu kebanggaan yang masih Ia kenang hingga saat ini.
"Pasukan yang disiapkan itu Polisi Istimewa (PI), karena Kami terdidik, semua terlatih, jadi perang itu biasa. Saya senang, gembira ikut perang karena saya ingin negara kita bebas dari penjajah," katanya.
Pasca-kehilangan salah satu kaki akibat perang, Mukari mengatakan perhatian pemerintah tak luntur. Ia termasuk salah satu veteran yang diberikan rumah karena dianggap berjasa dalam peperangan.
"Zaman pak Harto (Presiden Soeharto) para anggota cacat veteran itu diberikan rumah sekalipun itu kecil, ukuran 36. Yang dapat (rumah) memang hanya yang cacat karena perang," ungkap Mukari.
Mukari menuturkan, dulu, Polisi Istimewa sangat jarang yang mengalami cacat usai perang. Ia mengibaratkan dari 100 pasukan, paling tidak hanya 10 anggota yang mengalami cacat, sisanya lebih banyak yang gugur di medan perang.
Dalam kondisi cacat pun, korps yang dulu menaunginya tetap memberikan tugas kepada Mukari meski tak lagi mengokang senjata di hadapan penjajah.
"Di polisi tidak ada yang cacat. Sekalipun ada tetap bekerja di kantor, tidak menjadi pasukan. Tenaga kami masih dibutuhkan oleh dinas. Kami pun tidak diberikan gelar cacat veteran hanya dapat istilah cacat karena perang," katanya.
Kini, tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan Mukari selain tetap berada di markas Korps Cacat Veteran Indonesia di Surabaya. Ia berharap di sisa usianya, pemerintah bisa lebih memikirkan nasib para veteran yang mengalami kesulitan hidup.
"Harapan Kami mohon perhatian kepada para pejuang yang jumlahnya tinggal sedikit. Kami sudah tua mohon diperhatikan jangan dibiarkan. Orang-orang seperti saya mungkin tidak terlalu gelisah tetapi para janda-janda yang sudah tua, mau dapat apa-apa saja susah, tolong diperhatikan," ungkapnya.
medcom.id, Jakarta: Mukari, sudah kenyang asam garam ikut berjuang melawan penjajah. Meski harus kehilangan salah satu kakinya, tak patah arang Dia untuk terus berjuang.
Tergabung dalam pasukan terlatih yang Ia sebut Polisi Istimewa membuat Mukari semakin mudah memasuki medan perang. Kini, di hari tuanya Ia tak berdaya, usia yang terus bertambah membuat Mukari khawatir masa tuanya akan sia-sia.
"Kalau melihat sekarang, saya tidak ada apa-apanya. Ditanya (pemerintah) saja tidak," ungkap Mukari dengan terbata saat berbincang dalam program Selamat Pagi Indonesia.
Duduk sebagai veteran, Mukari setidaknya punya posisi strategis di Korps Cacat Veteran Indobesia di Surabaya. Sudah beberapa tahun Ia dipercaya sebagai ketua perhimpunan para veteran yang mengalami cacat akibat perang.
Dengan semangat kemerdekaan, Mukari kembali membuka lembar demi lembar bagaimana Ia ikut berjuang melawan penjajahan.
Sekitar 1944 Dia masuk dalam pendidikan kepolisian, Ia mengaku tak paham mengapa saat itu dimasukkan ke sekolah kemudian dijadikan pasukan. Yang Ia ingat, dirinya pernah menjadi bagian pengamanan saat peristiwa pemberontakan kecil-kecilan terjadi di Surabaya.
Selang beberapa tahun, dengan pengalaman yang cukup mumpuni untuk berperang, Mukari berangkat menuju medan perang di daerah Madiun, Jawa Timur. Peristiwa pemberontakan yang bertubi-tubi termasuk pemberontakan PKI tahun 1948 akhirnya merenggut karier Mukari sebagai pasukan. Salah satu kakinya hancur akibat perang dan cacat selamanya.
Meski kini mengalami cacat permanen, pengalamannya berperang melawan penjajah adalah suatu kebanggaan yang masih Ia kenang hingga saat ini.
"Pasukan yang disiapkan itu Polisi Istimewa (PI), karena Kami terdidik, semua terlatih, jadi perang itu biasa. Saya senang, gembira ikut perang karena saya ingin negara kita bebas dari penjajah," katanya.
Pasca-kehilangan salah satu kaki akibat perang, Mukari mengatakan perhatian pemerintah tak luntur. Ia termasuk salah satu veteran yang diberikan rumah karena dianggap berjasa dalam peperangan.
"Zaman pak Harto (Presiden Soeharto) para anggota cacat veteran itu diberikan rumah sekalipun itu kecil, ukuran 36. Yang dapat (rumah) memang hanya yang cacat karena perang," ungkap Mukari.
Mukari menuturkan, dulu, Polisi Istimewa sangat jarang yang mengalami cacat usai perang. Ia mengibaratkan dari 100 pasukan, paling tidak hanya 10 anggota yang mengalami cacat, sisanya lebih banyak yang gugur di medan perang.
Dalam kondisi cacat pun, korps yang dulu menaunginya tetap memberikan tugas kepada Mukari meski tak lagi mengokang senjata di hadapan penjajah.
"Di polisi tidak ada yang cacat. Sekalipun ada tetap bekerja di kantor, tidak menjadi pasukan. Tenaga kami masih dibutuhkan oleh dinas. Kami pun tidak diberikan gelar cacat veteran hanya dapat istilah cacat karena perang," katanya.
Kini, tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan Mukari selain tetap berada di markas Korps Cacat Veteran Indonesia di Surabaya. Ia berharap di sisa usianya, pemerintah bisa lebih memikirkan nasib para veteran yang mengalami kesulitan hidup.
"Harapan Kami mohon perhatian kepada para pejuang yang jumlahnya tinggal sedikit. Kami sudah tua mohon diperhatikan jangan dibiarkan. Orang-orang seperti saya mungkin tidak terlalu gelisah tetapi para janda-janda yang sudah tua, mau dapat apa-apa saja susah, tolong diperhatikan," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)