medcom.id Jakarta: Kelompok radikal dan intoleran diduga telah menanamkan ideologi anti Pancasila dan anti kebhinekaan di lingkungan sekolah. Kelompok radikal menganggap sekolah negeri merupakan lahan kosong ideologis yang mudah untuk dipenetrasi.
MAARIF Institute meriset persoalan ini di Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Riset untuk memetakan kebijakan internal sekolah apakah mengokohkan atau justru melemahkan kebhinekaan di kalangan lembaga pendidikan setingkat Sekolah Menang Atas (SMA).
Ada empat kebijakan yang dianalisis. Pertama, keputusan atau peraturan hierarkis seperti Keppres, Permen, SK Dinas. Kedua aturan-aturan hasil rapat warga sekolah. Ketiga kesempatan bersama yang sifatnya insidental. Keempat, kebiasan atau kultur yang menghegemoni sehingga mengharuskan menjadi kebijakan sekolah.
Hasil riset menunjukan bahwa belum ada kebijakan internal sekolah yang secara spesifik menguatkan kebhinekaan. Perda syariat di setiap daerah turut mempengaruhi kebijakan sekolah negeri seperti di Aceh dan beberapa daerah di Jawa Barat.
Sedangkan di Mataram, sekolah telah melakukan upaya rekognisi keberagaman dengan memberlakukan libur fakultatif untuk siswa beragama Hindu, layaknya libur Lebaran bagi Muslim atau Natal bagi siswa Kristen. Beberapa sekolah di wilayah tersebut menganggap implementasi kebijakan syariat menjadi bagian dari penguatan kebhinekaan.
"Temuan lainnya adalah kebijakan yang berasal dari aturan sekolah. Di Sukabumi, upacara bendera dilakukan dua kali dalam sebulan. Sisanya digelar acara Sluha, tadarus, dan ceramah keagamaan. Bagi yang non-Muslim berkumpul dan menunggu di kelas," kata Direktur Eksekutif MAARIF Institute Muhammad Abdullah Darraz di Jakarta Pusat, Selasa 23 Mei 2017
medcom.id Jakarta: Kelompok radikal dan intoleran diduga telah menanamkan ideologi anti Pancasila dan anti kebhinekaan di lingkungan sekolah. Kelompok radikal menganggap sekolah negeri merupakan lahan kosong ideologis yang mudah untuk dipenetrasi.
MAARIF Institute meriset persoalan ini di Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Riset untuk memetakan kebijakan internal sekolah apakah mengokohkan atau justru melemahkan kebhinekaan di kalangan lembaga pendidikan setingkat Sekolah Menang Atas (SMA).
Ada empat kebijakan yang dianalisis. Pertama, keputusan atau peraturan hierarkis seperti Keppres, Permen, SK Dinas. Kedua aturan-aturan hasil rapat warga sekolah. Ketiga kesempatan bersama yang sifatnya insidental. Keempat, kebiasan atau kultur yang menghegemoni sehingga mengharuskan menjadi kebijakan sekolah.
Hasil riset menunjukan bahwa belum ada kebijakan internal sekolah yang secara spesifik menguatkan kebhinekaan. Perda syariat di setiap daerah turut mempengaruhi kebijakan sekolah negeri seperti di Aceh dan beberapa daerah di Jawa Barat.
Sedangkan di Mataram, sekolah telah melakukan upaya rekognisi keberagaman dengan memberlakukan libur fakultatif untuk siswa beragama Hindu, layaknya libur Lebaran bagi Muslim atau Natal bagi siswa Kristen. Beberapa sekolah di wilayah tersebut menganggap implementasi kebijakan syariat menjadi bagian dari penguatan kebhinekaan.
"Temuan lainnya adalah kebijakan yang berasal dari aturan sekolah. Di Sukabumi, upacara bendera dilakukan dua kali dalam sebulan. Sisanya digelar acara Sluha, tadarus, dan ceramah keagamaan. Bagi yang non-Muslim berkumpul dan menunggu di kelas," kata Direktur Eksekutif MAARIF Institute Muhammad Abdullah Darraz di Jakarta Pusat, Selasa 23 Mei 2017
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(TRK)