medcom.id, Jakarta: Pimpinan DPR RI menyatakan bahwa mulai Januari 2016, kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri oleh anggota dewan dikurangi. Satu-satunya alasan anggota DPR diizinkan melakukan kunker ke luar negeri hanya jika berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).
Alasan dari kebijakan tersebut ialah pengurangan kunjungan ke luar negeri dapat memangkas anggaran dan diharapkan membuat anggota dewan lebih produktif.
Kebijakan tersebut dikritisi Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Firman Soebagyo. Menurut dia, lamanya pembahasan undang-undang yang memakan waktu lebih dari tiga kali masa sidang, salah satunya disebabkan oleh pengurangan kunjungan kerja sehingga membuat anggota komisi, Panja, atau Pansus kurang mendapat referensi.
"Ternyata kita melihat, walaupun kunjungan ke luar negeri dilarang, kan juga tidak produktif. Bahkan yang saya lihat, semangat teman-teman masih kurang maksimal karena kunker salah satu fungsinya kita bisa mendapatkan banyak referensi," ujar Firman, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/10/2015).
Firman mencontohkan Undang-undang (UU) Penjaminan, yang ketika dalam masa pembahasan anggota dewan melakukan kunjungan kerja ke negara yang sudah maju, yakni Korea, Jepang, dan Italia.
"Ternyata, kunjungan kerja tersebut mempercepat proses pembahasan. Perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, akhirnya bisa terselesaikan dengan adanya referensi dari negara-negara yang sudah menjalankan selama ini," jelasnya.
Menurut Firman, pengurangan kunjungan ke luar negeri tidak serta merta membuat kinerja anggota dewan meningkat. Oleh karena itu, Firman berpendapat, dalam pembahasan beberapa RUU sebaiknya dilakukan kunker ke luar negeri. Misalnya, dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Terorisme.
"Mengenai RUU Terorisme, kita harus belajar. Kalau perlu, kita lihat ke Timur Tengah. Selain itu, mengenai RUU Karantina yang berkaitan dengan kesehatan, RUU ini perlu adanya referensi negara lain yang memiliki sistem terhadap antisipasi masalah bioterorisme. Tapi kalau tidak ada, dari mana? Kalau kita hanya mencari di internet seperti yang dikatakan LSM (lembaga swadaya masyarakat), ya tidak akan maksimal," ujar Firman.
medcom.id, Jakarta: Pimpinan DPR RI menyatakan bahwa mulai Januari 2016, kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri oleh anggota dewan dikurangi. Satu-satunya alasan anggota DPR diizinkan melakukan kunker ke luar negeri hanya jika berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).
Alasan dari kebijakan tersebut ialah pengurangan kunjungan ke luar negeri dapat memangkas anggaran dan diharapkan membuat anggota dewan lebih produktif.
Kebijakan tersebut dikritisi Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Firman Soebagyo. Menurut dia, lamanya pembahasan undang-undang yang memakan waktu lebih dari tiga kali masa sidang, salah satunya disebabkan oleh pengurangan kunjungan kerja sehingga membuat anggota komisi, Panja, atau Pansus kurang mendapat referensi.
"Ternyata kita melihat, walaupun kunjungan ke luar negeri dilarang, kan juga tidak produktif. Bahkan yang saya lihat, semangat teman-teman masih kurang maksimal karena kunker salah satu fungsinya kita bisa mendapatkan banyak referensi," ujar Firman, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/10/2015).
Firman mencontohkan Undang-undang (UU) Penjaminan, yang ketika dalam masa pembahasan anggota dewan melakukan kunjungan kerja ke negara yang sudah maju, yakni Korea, Jepang, dan Italia.
"Ternyata, kunjungan kerja tersebut mempercepat proses pembahasan. Perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, akhirnya bisa terselesaikan dengan adanya referensi dari negara-negara yang sudah menjalankan selama ini," jelasnya.
Menurut Firman, pengurangan kunjungan ke luar negeri tidak serta merta membuat kinerja anggota dewan meningkat. Oleh karena itu, Firman berpendapat, dalam pembahasan beberapa RUU sebaiknya dilakukan kunker ke luar negeri. Misalnya, dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Terorisme.
"Mengenai RUU Terorisme, kita harus belajar. Kalau perlu, kita lihat ke Timur Tengah. Selain itu, mengenai RUU Karantina yang berkaitan dengan kesehatan, RUU ini perlu adanya referensi negara lain yang memiliki sistem terhadap antisipasi masalah bioterorisme. Tapi kalau tidak ada, dari mana? Kalau kita hanya mencari di internet seperti yang dikatakan LSM (lembaga swadaya masyarakat), ya tidak akan maksimal," ujar Firman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)